Oleh Ayu Sulistyowati dan Samuel Oktora
Berbagai program sudah dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, tapi masih jauh dari efektif. Demikian hasil pemantauan dan informasi yang dihimpun Kompas dengan mengambil kasus di Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Bali diambil karena merepresentasikan daerah tujuan wisata yang sudah berkembang. Sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) mewakili destinasi yang belum berkembang, tapi punya potensi.
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, 25 November 2009, Jero Wacik memaparkan tujuh program 100 harinya. Program itu antara lain menyelenggarakan Festival Musik Sasando di NTT, meningkatkan promosi pariwisata, memberdayakan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Bidang Pariwisata, dan meningkatkan sumber daya manusia pariwisata agar mempunyai daya saing.
Program-program itu sudah dijalankan, tapi belum cukup efektif. Pertengahan November 2009, misalnya, Jero Wacik menginspeksi Bandara Ngurah Rai, memperbaiki sistem pengurusan visa kedatangan wisatawan. Dalam inspeksi itu didapati 6 komputer yang tidak berfungsi dari 26 loket yang tersedia.
Program PNPM Mandiri Bidang Pariwisata juga sudah diterapkan di Kabupaten Ende, Pulau Flores, NTT. Namun, dana hibah dari program itu belum juga disalurkan ke desa yang ditetapkan. Dari 104 desa secara nasional, di NTT hanya Desa Pemo dan Koanara, di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, yang menerima program itu. Tiap desa mendapatkan dana Rp 75 juta.
”Belum ada dampak kemajuan yang dirasakan. Boleh dikatakan perkembangan sektor pariwisata di Ende belum signifikan,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Ende Djamal Alhadad, Rabu (27/1).
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina menjelaskan, sebenarnya dana PNPM Mandiri Pariwisata itu sudah siap disalurkan pada Desember 2009. ”Namun, pada tataran implementasi di lapangan harus menyesuaikan dengan faktor cuaca,” katanya.
Lewat PNPM Mandiri Pariwisata, diharapkan masyarakat di desa-desa penyangga obyek wisata utama, selain mandiri secara ekonomi, juga dapat menerapkan unsur sapta pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan penuh kenangan) atau siap menjadi desa sadar wisata yang dapat memberikan layanan prima pariwisata.
Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana Bali Agung Suryawan Wiranatha menilai, program 100 hari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tergolong biasa-biasa saja. Program terlalu fokus dengan promosi dan pemasaran ke luar negeri.
Potensi pariwisata
Sementara itu, aspek destinasi dan produk pariwisata tidak banyak diperhatikan. Padahal, banyak kualitas destinasi tidak membaik, bahkan menurun. Kemunduran itu, misalnya, terlihat pada properti hotel atau restoran yang kurang bervariasi.
”Pemerintah jangan melulu fokus promosi ke luar negeri yang sebenarnya kemajuannya hanya sedikit. Toh, kita tetap kalah dengan negara tetangga, seperti Malaysia,” katanya.
Pemerintah terlalu berharap pada Bali. Padahal, destinasi lainnya perlu diperhatikan, misalnya Danau Toba di Sumatera Utara atau Tana Toraja di Sulawesi. Pemerintah juga bisa memperlebar kerja sama lebih serius dengan kementerian lain, pemerintah daerah, atau swasta.
Potensi pariwisata di Indonesia sesungguhnya masih sangat menjanjikan, baik di daerah seperti Bali yang sudah berkembang maupun daerah lain yang belum berkembang. Selama ini pariwisata terbukti menjadi penghasil devisa nomor tiga setelah minyak dan kelapa sawit.
Presiden Direktur PT Denpasar Imperial City (pemilik Hotel Fave) Samuel Kristianto Luan menyadari peluang itu. Ia pun berinvestasi di Bali, khususnya Denpasar selatan. Ia menanamkan modal Rp 50 miliar untuk hotel bintang dua plus.
”Bahkan, beberapa teman saya antre untuk berinvestasi di industri pariwisata Bali,” ujarnya. Menurut Samuel, yang harus diperhatikan pemerintah untuk mengembangkan pariwisata di Bali adalah masalah keamanan. Soal program 100 hari, itu tidak terlalu diperhatikan.
Wisatawan mancanegara ke Pulau Bali tahun 2009 mencapai 2,2 juta orang; lebih 300.000 dari target. Jumlah wisatawan domestik ke Bali 3,3 juta orang. Devisa yang disumbang 2,7 miliar dollar AS atau 42 persen dari devisa di bidang pariwisata secara nasional. Ini jumlah tertinggi dalam sejarah kunjungan wisman ke Bali. Jumlah wisman tahun 2008 sebanyak 1,8 juta orang. Terlampauinya target kunjungan wisman itu menggembirakan para pemangku kepentingan pariwisata di Pulau Dewata. Target kunjungan tahun ini pun dipatok 2,3 juta-2,5 juta orang.
”Ini hasil kerja keras seluruh pihak di Bali. Kerja keras itu harus disyukuri sekaligus dipertahankan dengan peningkatan kualitas pariwisata yang prima,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali IB Subhiksu di Denpasar.
Daerah wisata yang belum berkembang juga tidak kalah potensialnya. Desa Pemo dan Koanara di NTT, misalnya, merupakan desa penyangga obyek wisata Danau Triwarna Kalimutu, Ende, yang tiada duanya.
Menurut Djamal, yang perlu diutamakan untuk mengembangkan pariwisata Ende secara cepat adalah membuka kesempatan luas bagi investor. Upaya ini akan turut membuka sektor ekonomi yang lain, termasuk desa-desa penyangga tadi.
Ende kalah dengan Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat, Flores). Empat investor asing sudah masuk yang antara lain membangun hotel berbintang. Investor itu memiliki jaringan luas di level internasional sehingga pariwisata Labuan Bajo turut dipromosikan.
”Padahal, pesona alam Ende itu spektakuler. Namun, mengapa belum ada investor besar yang mau masuk? Ini menjadi pertanyaan serius,” kata Djamal.
Salah satu hambatan di Ende bagi investor adalah kepastian kepemilikan tanah yang amat sulit. Pasalnya, umumnya status tanah adalah hak ulayat.
Pemerintah harus bisa memfasilitasi hal ini dan berpromosi untuk mempermudah urusan tanah. Selain itu, pemberian insentif bebas pajak untuk periode tertentu bagi investor juga dapat menjadi salah satu terobosan.
Program kerja 100 hari perlu terus diperbaiki dan tidak perlu takut dengan kritik. Hal ini juga yang diingatkan Presiden Yudhoyono saat memberikan sambutan dalam pelantikan kabinet.
Sumber: http://cetak.kompas.com
Berbagai program sudah dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, tapi masih jauh dari efektif. Demikian hasil pemantauan dan informasi yang dihimpun Kompas dengan mengambil kasus di Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Bali diambil karena merepresentasikan daerah tujuan wisata yang sudah berkembang. Sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) mewakili destinasi yang belum berkembang, tapi punya potensi.
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, 25 November 2009, Jero Wacik memaparkan tujuh program 100 harinya. Program itu antara lain menyelenggarakan Festival Musik Sasando di NTT, meningkatkan promosi pariwisata, memberdayakan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Bidang Pariwisata, dan meningkatkan sumber daya manusia pariwisata agar mempunyai daya saing.
Program-program itu sudah dijalankan, tapi belum cukup efektif. Pertengahan November 2009, misalnya, Jero Wacik menginspeksi Bandara Ngurah Rai, memperbaiki sistem pengurusan visa kedatangan wisatawan. Dalam inspeksi itu didapati 6 komputer yang tidak berfungsi dari 26 loket yang tersedia.
Program PNPM Mandiri Bidang Pariwisata juga sudah diterapkan di Kabupaten Ende, Pulau Flores, NTT. Namun, dana hibah dari program itu belum juga disalurkan ke desa yang ditetapkan. Dari 104 desa secara nasional, di NTT hanya Desa Pemo dan Koanara, di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, yang menerima program itu. Tiap desa mendapatkan dana Rp 75 juta.
”Belum ada dampak kemajuan yang dirasakan. Boleh dikatakan perkembangan sektor pariwisata di Ende belum signifikan,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Ende Djamal Alhadad, Rabu (27/1).
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina menjelaskan, sebenarnya dana PNPM Mandiri Pariwisata itu sudah siap disalurkan pada Desember 2009. ”Namun, pada tataran implementasi di lapangan harus menyesuaikan dengan faktor cuaca,” katanya.
Lewat PNPM Mandiri Pariwisata, diharapkan masyarakat di desa-desa penyangga obyek wisata utama, selain mandiri secara ekonomi, juga dapat menerapkan unsur sapta pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan penuh kenangan) atau siap menjadi desa sadar wisata yang dapat memberikan layanan prima pariwisata.
Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana Bali Agung Suryawan Wiranatha menilai, program 100 hari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tergolong biasa-biasa saja. Program terlalu fokus dengan promosi dan pemasaran ke luar negeri.
Potensi pariwisata
Sementara itu, aspek destinasi dan produk pariwisata tidak banyak diperhatikan. Padahal, banyak kualitas destinasi tidak membaik, bahkan menurun. Kemunduran itu, misalnya, terlihat pada properti hotel atau restoran yang kurang bervariasi.
”Pemerintah jangan melulu fokus promosi ke luar negeri yang sebenarnya kemajuannya hanya sedikit. Toh, kita tetap kalah dengan negara tetangga, seperti Malaysia,” katanya.
Pemerintah terlalu berharap pada Bali. Padahal, destinasi lainnya perlu diperhatikan, misalnya Danau Toba di Sumatera Utara atau Tana Toraja di Sulawesi. Pemerintah juga bisa memperlebar kerja sama lebih serius dengan kementerian lain, pemerintah daerah, atau swasta.
Potensi pariwisata di Indonesia sesungguhnya masih sangat menjanjikan, baik di daerah seperti Bali yang sudah berkembang maupun daerah lain yang belum berkembang. Selama ini pariwisata terbukti menjadi penghasil devisa nomor tiga setelah minyak dan kelapa sawit.
Presiden Direktur PT Denpasar Imperial City (pemilik Hotel Fave) Samuel Kristianto Luan menyadari peluang itu. Ia pun berinvestasi di Bali, khususnya Denpasar selatan. Ia menanamkan modal Rp 50 miliar untuk hotel bintang dua plus.
”Bahkan, beberapa teman saya antre untuk berinvestasi di industri pariwisata Bali,” ujarnya. Menurut Samuel, yang harus diperhatikan pemerintah untuk mengembangkan pariwisata di Bali adalah masalah keamanan. Soal program 100 hari, itu tidak terlalu diperhatikan.
Wisatawan mancanegara ke Pulau Bali tahun 2009 mencapai 2,2 juta orang; lebih 300.000 dari target. Jumlah wisatawan domestik ke Bali 3,3 juta orang. Devisa yang disumbang 2,7 miliar dollar AS atau 42 persen dari devisa di bidang pariwisata secara nasional. Ini jumlah tertinggi dalam sejarah kunjungan wisman ke Bali. Jumlah wisman tahun 2008 sebanyak 1,8 juta orang. Terlampauinya target kunjungan wisman itu menggembirakan para pemangku kepentingan pariwisata di Pulau Dewata. Target kunjungan tahun ini pun dipatok 2,3 juta-2,5 juta orang.
”Ini hasil kerja keras seluruh pihak di Bali. Kerja keras itu harus disyukuri sekaligus dipertahankan dengan peningkatan kualitas pariwisata yang prima,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali IB Subhiksu di Denpasar.
Daerah wisata yang belum berkembang juga tidak kalah potensialnya. Desa Pemo dan Koanara di NTT, misalnya, merupakan desa penyangga obyek wisata Danau Triwarna Kalimutu, Ende, yang tiada duanya.
Menurut Djamal, yang perlu diutamakan untuk mengembangkan pariwisata Ende secara cepat adalah membuka kesempatan luas bagi investor. Upaya ini akan turut membuka sektor ekonomi yang lain, termasuk desa-desa penyangga tadi.
Ende kalah dengan Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat, Flores). Empat investor asing sudah masuk yang antara lain membangun hotel berbintang. Investor itu memiliki jaringan luas di level internasional sehingga pariwisata Labuan Bajo turut dipromosikan.
”Padahal, pesona alam Ende itu spektakuler. Namun, mengapa belum ada investor besar yang mau masuk? Ini menjadi pertanyaan serius,” kata Djamal.
Salah satu hambatan di Ende bagi investor adalah kepastian kepemilikan tanah yang amat sulit. Pasalnya, umumnya status tanah adalah hak ulayat.
Pemerintah harus bisa memfasilitasi hal ini dan berpromosi untuk mempermudah urusan tanah. Selain itu, pemberian insentif bebas pajak untuk periode tertentu bagi investor juga dapat menjadi salah satu terobosan.
Program kerja 100 hari perlu terus diperbaiki dan tidak perlu takut dengan kritik. Hal ini juga yang diingatkan Presiden Yudhoyono saat memberikan sambutan dalam pelantikan kabinet.
Sumber: http://cetak.kompas.com