Oleh Baskoro Daru Tjahjono
Berabad-abad candi ini terkubur dalam tanah yang sangat keras di lembah sebelah baratdaya Merapi. Tak seorangpun tahu—paling tidak sampai awal 2004—bahwa di dalam tanah di bawah kebun salak di Dusun Losari itu ada candinya, walau pun sudah lama pula tanah di kebun salak itu dikenal sebagai sawah candi. Mungkin sawah candi hanya akan menjadi cerita tutur turun temurun yang tidak bermakna jika Muhammad Badri –pemilik lahan—tidak menemukan batu-batu candi di tanah tersebut pada tahun 2004.
Ketika itu Muhammad Badri dibantu tetangga-tetangganya sedang membuat saluran irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya. Melalui tengah kebun salaknya dibuatlah saluran yang tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dalam. Di tengah penggalian itu tiba-tiba ditemukan beberapa buah batu candi. Setelah digali semakin dalam ternyata batu-batu itu semakin banyak. Batu-batu yang berserakan itu kemudian dikumpulkan dan diamankan ke rumahnya. Akhirnya penggalian itu sampai pada struktur bangunan yang masih tersusun rapi dengan lubang persegi di tengah. Muhammad Badri tak berani mengutak-atik lagi apalagi mengangkatnya.
Berita itu pun sampailah kepada tim penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang kebetulan sedang melakukan penelitian di Situs Candi Singo Barong (Situs Mantingan) tahun 2005—2 km di sebelah baratlaut Situs Candi Losari. Situs itu pun kemudian ditinjau, pertama-tama tim mengunjungi rumah Muhammad Badri yang terletak di Dusun Kadipolo, Desa Salam, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Tim sedikit tertegun ketika memandang batu-batu candi yang tersusun rapi seperti atap candi di halaman rumah Muhammad Badri. Tuan rumah pun menyambut kedatangan tim dengan ramah dan menjelaskan bahwa batu-batu itu dikumpulkan dari kebun salaknya yang terletak di Dusun Losari.
Batu-batu itu memang bagian dari atap candi tetapi bentuk aslinya tidak seperti susunan itu, karena Muhammad Badri memang hanya sekadar menyusunnya—tanpa mengetahui susunan aslinya—agar tidak terpencar-pencar. Ketika tim diajak ke situs barulah diketahui bahwa batu-batu bagian atap candi tersebut diambil dari atas struktur bangunan yang kemungkinan merupakan tubuh candi. Melihat struktur bangunan itu maka dalam benak telah terbayang adanya sebuah bangunan candi yang masih utuh dari kaki hingga tubuh candi. Hanya bagian atapnya saja yang sudah terbongkar, tentu ini menarik untuk diekskavasi.
Namun di benak Nurhadi Rangkuti—salah seorang anggota tim penelitian, sekarang Kepala Balai Arkeologi Palembang—apa yang dipikirkannya berbeda dengan para peneliti lainnya. Dia menerawang jauh, sesekali mengerjitkan dahinya dan memandang batu-batu yang tersusun rapi di halaman rumah itu. Muhammad Badri, seorang guru SMP Negeri 12 Magelang, di rumahnya terdapat batu-batu candi. Maka jadilah sebuah tulisan di Harian Kompas tanggal 15 Agustus 2005, dengan judul: “Candi Pak Guru”. Rupanya apa yang terlintas di benak Nurhadi Rangkuti telah dituangkan ke dalam tulisan di Harian Kompas tersebut. Dia mengaitkan antara temuan situs baru tersebut dengan penemu, profesi penemunya, dan kemungkinannya sebagai muatan lokal dalam pengajaran di sekolah-sekolah.
Tahun 2006 ada tawaran dari sebuah yayasan swasta di Jakarta yaitu Yayasan Tahija, untuk membiayai kegiatan-kegiatan penelitian di Balai Arkeologi Yogyakarta. Kebetulan waktu itu Situs Candi Losari belum diusulkan untuk diteliti, karena keterbatasan dana pemerintah. Dan sebenarnya masih banyak sumberdaya arkeologi berupa artefak, situs-situs, mau pun kawasan yang belum diteliti dan dikelola dengan baik karena keterbatasan dana, tenaga, mau pun waktu. Oleh karena itu, peran swasta dalam penelitian mau pun pengelolaan sumberdaya arkeologi tersebut bisa menjadi salah satu alternatif. Maka gayung pun bersambut, ketika ada tawaran dari pihak swasta salah satu yang diusulkan adalah penelitian Candi Losari.
Januari 2007 jadilah kerjasama penelitian Candi Losari tahap I antara Yayasan Tahija Jakarta dengan Balai Arkeologi Yogyakarta. Yayasan Tahija sebagai penyandang dana sedangkan Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pelaksana. Dalam pelaksanaan penelitian tersebut Balai Arkeologi Yogyakarta juga melibatkan para ahli dari berbagai institusi lain yaitu: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, dan tentu saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang selaku tuan rumah.
Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa tanah tempat situs candi itu berada sangat keras dan pada musim hujan air tanahnya sangat tinggi. Kondisi tersebut menjadi hambatan dalam kegiatan ekskavasi, selain tanahnya yang sangat keras sehingga ekskavasi tidak dapat dilakukan dengan cepat setiap hari juga harus menguras air yang telah muncul pada kedalaman 1,5 m. Pada penelitian tahap I yang dilakukan selama 20 hari telah berhasil membuka 15 buah kotak ekskavasi. Ekskavasi dilakukan dengan teknik parit (trench) mengikuti lorong-lorong di antara jajaran pohon salak. Penggunaan teknik parit itu diharapkan dapat mengurangi atau meminimalkan kerusakan kebun salak akibat kegiatan ekskavasi tersebut.
Penelitian tahap I hanya berhasil menemukan sebuah candi kecil yang diperkirakan sebagai candi perwara. Candi perwara itu diekskavasi sampai kedalaman 4 m dari permukaan tanah. Candi ini berlatar belakang agama Hindu, yang tampak dari hiasan sudut atap candinya berupa ratna. Candi Hindu biasanya terdiri dari sebuah candi induk di depannya terdapat tiga buah candi perwara dan dikelilingi oleh pagar keliling. Jika candi induknya menghadap ke timur maka candi perwaranya menghadap ke barat, sebaliknya jika candi induk menghadap ke barat maka candi perwaranya menghadap ke timur. Candi perwara yang sudah ditemukan ini menghadap ke barat, jadi kemungkinan candi induknya menghadap ke timur. Namun yang belum diketahui candi perwara itu posisinya di mana? Utara, tengah, ataukah selatan? Sebab baru sebuah candi perwara yang ditemukan.
Walau pun kecil tetapi dari segi hiasannya cukup raya, dari bagian kaki sampai atap terdapat hiasan dekoratif, terutama hiasan kepala Kala yang berada di atas pintu masuk sangat bagus. Ragam hias pada kaki candi terdapat pada pelipit persegi di bagian atas dan pada panil-panil bidang kaki candi. Pada pelipit kaki candi bagian atas ragam hiasnya berupa ceplok bunga bulat dipadu dengan rumbai-rumbai. Hiasan ini terdapat pada keempat sisi kaki candi. Hanya di bagian depan kaki candi di bawah pintu masuk tidak ada hiasannya. Bidang kaki candi di bawah pelipit atas kaki candi pada setiap sisi dibagi menjadi dua panil dibatasi oleh pilaster-pilaster.
Pada panil-panil tersebut ragam hiasnya geometris yang sebenarnya juga berupa hiasan ceplok bunga tetapi berbentuk wajik atau jajaran genjang. Seperti pada hiasan pelipit atas kaki candi, maka hiasan pada panil kaki candi pada sisi depan juga ada bagian yang kosong yaitu di bawah pintu masuk. Kaki candi mempunyai tinggi 95 cm, sedangkan luasnya 258 x 258 cm². Kaki candi ini berdiri di atas batur yang tingginya 30 cm dan luas 316 x 316 cm².
Ragam hias lainnya terdapat pada tubuh candi. Ragam hias pada tubuh candi terdapat pada pelipit persegi di bagian atas dan pada panil-panil bidang tubuh candi. Ragam hias pelipit persegi bagian atas tubuh candi ini sama dengan ragam hias pada pelipit persegi kaki candi, yaitu berupa ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai. Bidang tubuh candi juga dibagi menjadi dua panil yang dibatasi oleh pilaster-pilaster, sedangkan di bagian depan panil-panil ini berada di kanan-kiri pintu masuk. Ragam hias pada panil-panil bidang tubuh candi di sisi utara, timur, dan selatan sama berupa ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai yang dihubungkan dengan pita-pita dan memenuhi seluruh panil. Sedangkan ragam hias pada panil di kiri-kanan pintu masuk sama dengan hiasan pada panil-panil kaki candi, yaitu berupa geometris dengan hiasan ceplok bunga berbentuk wajik atau jajaran genjang. Di atas pintu masuk terdapat hiasan kala dengan rambut berupa sulur-suluran, mata melotot, hidung besar, mulut dengan rahang bawah, gigi taring hanya di rahang atas, lidah terjulur, telinga berbentuk seperti sumping, dan di kiri-kanan rahang terdapat tangan. Tubuh candi mempunyai tinggi 140 cm, sedangkan luasnya 160 x 160 cm².
Ragam hias juga terdapat pada komponen atap, antara lain berupa antefiks dan antefiks sudut, hiasan kurawal atau akolade yang di tengahnya terdapat hiasan ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai, dan hiasan sudut atap berupa ratna atau keben. Sedangkan kemuncak candinya yang kemungkinan juga berupa ratna belum ditemukan.
Dengan hanya ditemukannya sebuah candi perwara yang berukuran kecil itu membuat penasaran tim penelitian, apakah di sekitarnya masih ada candi lain ataukah hanya merupakan candi tunggal. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka pada tahun 2008 dilakukan penelitian tahap II. Penelitian ini masih bekerjasama dengan Yayasan Tahija selaku penyandang dana. Berdasarkan pengalaman tahun lalu untuk mengurangi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan—terutama banyaknya air di musim hujan—maka penelitian tahap II ini dilakukan pada musim kemarau. Penelitian dilaksanakan selama 20 hari dari tanggal 5 sampai dengan 28 Agustus 2008.
Namun dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini Balai Arkeologi Yogyakarta tidak berdiri sendiri, karena ada berbagai instansi yang berkompeten terhadap situs ini. Oleh karena itu dalam penelitian mengungkap Situs Candi Losari tahap II ini juga melibatkan berbagai instansi yang berkompeten tersebut, antara lain: Pemerintah Kabupaten Magelang—dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang—adalah instansi yang paling berkompeten karena sebagai yang empunya wilayah dan sebagai pihak yang nantinya akan memanfaatkan keberadaan situs Candi Losari ini. Keterlibatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang juga didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berdasarkan tugas pokok dan fungsinya sangat berkompeten untuk menyelamatkan, melestarikan, dan memugar Candi Losari tersebut. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada sebagai institusi akademik tentu sangat berkompeten untuk mengembangkan keilmuannya melalui penelitian-penelitian, lebih-lebih dengan adanya penemuan situs baru.
BP3 dengan biaya sendiri telah melakukan pemasangan kembali komponen atap candi perwara yang telah ditemukan. Dengan terpasangnya bagian atap candi itu maka “Candi Pak Guru” telah kembali pada habitat aslinya. Walau pun belum sempurna, karena ada beberapa batu atap candi yang belum ditemukan terutama bagian kemuncaknya, namun bentuk candi secara vertikal sudah mulai tampak. Sementara itu tim penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta didukung oleh mahasiswa dan dosen Arkeologi FIB UGM mulai melakukan ekskavasi. Keterlibatan mahasiswa dan dosen Arkeologi tersebut didanai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah, yang juga membiayai pembuatan film pengetahuan tentang Candi Losari tersebut.
Tidaklah mudah untuk menggali kotak-kotak ekskavasi itu karena tanahnya yang sangat keras. Dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras untuk dapat mengungkap Candi Losari. Tidak serta merta penggalian kotak demi kotak mendapatkan hasil yang diharapkan. Lima kotak pertama gagal mendapatkan hasil, walau pun penentuan lokasi kotak telah dibantu menggunakan survei geolistrik. Kegagalan itu tidak membuat jera dan mematahkan semangat para anggota tim penelitian. Kotak-kotak baru di-lay out dan mulai digali satu persatu. Rupanya perjuangan mereka tidak sia-sia, di kotak P22 pada kedalaman 145 cm tampaklah sebongkah batu melintang utara-selatan, yang ternyata adalah bagian bawah dari relief kepala Kala. Temuan yang merupakan bagian dari ambang pintu atas candi perwara kedua itu telah menimbulkan harapan baru untuk dapat menemukan candi-candi lainnya (candi perwara ketiga dan candi induk).
Akhirnya satu demi satu bagian-bagian dari candi perwara dan candi induk itu mulai muncul. Setelah candi perwara kedua (tengah) mulai tampak pintu masuknya, maka bagian candi perwara ketiga (selatan) juga mulai tampak, namun bagian depannya sudah runtuh. Candi perwara ketiga (selatan) itu ditemukan di kotak P28 dan P30. Diperkirakan ketiga candi perwara ini memunyai ukuran yang sama. Setelah ketiga candi perwara itu ditemukan maka untuk mencari candi induknya lebih mudah, biasanya berada di depan candi perwara bagian tengah. Bagian candi induk pun mulai ditemukan, pertama-tama ditemukan runtuhan batu candi di kotak P29. Setelah kotak diperdalam dan diperpanjang ke selatan akhirnya ditemukan struktur dinding bangunan yang ternyata dinding tubuh candi induk sisi timur yang berada di sebelah kiri pintu masuk candi. Pada dinding ini ditemukan relief Mahakala, yang merupakan salah satu dewa penjaga pintu masuk candi. Selain itu di kotak P31 ditemukan struktur bangunan dinding tubuh candi induk sisi barat atau bagian belakang candi induk dan kaki candi bagian atas. Dengan ditemukannya dua sisi tubuh candi dan kaki candi bagian atas maka luas candi induk dapat diperkirakan. Tubuh candi berdenah bujursangkar dengan perkiraan luas 360 x 360 cm², sedangkan kaki candi diperkirakan luasnya 500 x 500 cm². Maka permasalahan pun telah terjawab, Candi Losari adalah sebuah kompleks candi Hindu yang terdiri dari sebuah candi induk dan 3 buah candi perwara. Yang belum berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah pagar kelilingnya. Menggali sebuah kompleks candi memang membutuhkan waktu panjang tidak bisa sekaligus, tetapi harus tahap demi tahap. Sedikit demi sedikit maka terkuaklah Candi Losari.
Sumber Tulisan:
http://arkeologijawa.com
Berabad-abad candi ini terkubur dalam tanah yang sangat keras di lembah sebelah baratdaya Merapi. Tak seorangpun tahu—paling tidak sampai awal 2004—bahwa di dalam tanah di bawah kebun salak di Dusun Losari itu ada candinya, walau pun sudah lama pula tanah di kebun salak itu dikenal sebagai sawah candi. Mungkin sawah candi hanya akan menjadi cerita tutur turun temurun yang tidak bermakna jika Muhammad Badri –pemilik lahan—tidak menemukan batu-batu candi di tanah tersebut pada tahun 2004.
Ketika itu Muhammad Badri dibantu tetangga-tetangganya sedang membuat saluran irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya. Melalui tengah kebun salaknya dibuatlah saluran yang tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dalam. Di tengah penggalian itu tiba-tiba ditemukan beberapa buah batu candi. Setelah digali semakin dalam ternyata batu-batu itu semakin banyak. Batu-batu yang berserakan itu kemudian dikumpulkan dan diamankan ke rumahnya. Akhirnya penggalian itu sampai pada struktur bangunan yang masih tersusun rapi dengan lubang persegi di tengah. Muhammad Badri tak berani mengutak-atik lagi apalagi mengangkatnya.
Berita itu pun sampailah kepada tim penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang kebetulan sedang melakukan penelitian di Situs Candi Singo Barong (Situs Mantingan) tahun 2005—2 km di sebelah baratlaut Situs Candi Losari. Situs itu pun kemudian ditinjau, pertama-tama tim mengunjungi rumah Muhammad Badri yang terletak di Dusun Kadipolo, Desa Salam, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Tim sedikit tertegun ketika memandang batu-batu candi yang tersusun rapi seperti atap candi di halaman rumah Muhammad Badri. Tuan rumah pun menyambut kedatangan tim dengan ramah dan menjelaskan bahwa batu-batu itu dikumpulkan dari kebun salaknya yang terletak di Dusun Losari.
Batu-batu itu memang bagian dari atap candi tetapi bentuk aslinya tidak seperti susunan itu, karena Muhammad Badri memang hanya sekadar menyusunnya—tanpa mengetahui susunan aslinya—agar tidak terpencar-pencar. Ketika tim diajak ke situs barulah diketahui bahwa batu-batu bagian atap candi tersebut diambil dari atas struktur bangunan yang kemungkinan merupakan tubuh candi. Melihat struktur bangunan itu maka dalam benak telah terbayang adanya sebuah bangunan candi yang masih utuh dari kaki hingga tubuh candi. Hanya bagian atapnya saja yang sudah terbongkar, tentu ini menarik untuk diekskavasi.
Namun di benak Nurhadi Rangkuti—salah seorang anggota tim penelitian, sekarang Kepala Balai Arkeologi Palembang—apa yang dipikirkannya berbeda dengan para peneliti lainnya. Dia menerawang jauh, sesekali mengerjitkan dahinya dan memandang batu-batu yang tersusun rapi di halaman rumah itu. Muhammad Badri, seorang guru SMP Negeri 12 Magelang, di rumahnya terdapat batu-batu candi. Maka jadilah sebuah tulisan di Harian Kompas tanggal 15 Agustus 2005, dengan judul: “Candi Pak Guru”. Rupanya apa yang terlintas di benak Nurhadi Rangkuti telah dituangkan ke dalam tulisan di Harian Kompas tersebut. Dia mengaitkan antara temuan situs baru tersebut dengan penemu, profesi penemunya, dan kemungkinannya sebagai muatan lokal dalam pengajaran di sekolah-sekolah.
Tahun 2006 ada tawaran dari sebuah yayasan swasta di Jakarta yaitu Yayasan Tahija, untuk membiayai kegiatan-kegiatan penelitian di Balai Arkeologi Yogyakarta. Kebetulan waktu itu Situs Candi Losari belum diusulkan untuk diteliti, karena keterbatasan dana pemerintah. Dan sebenarnya masih banyak sumberdaya arkeologi berupa artefak, situs-situs, mau pun kawasan yang belum diteliti dan dikelola dengan baik karena keterbatasan dana, tenaga, mau pun waktu. Oleh karena itu, peran swasta dalam penelitian mau pun pengelolaan sumberdaya arkeologi tersebut bisa menjadi salah satu alternatif. Maka gayung pun bersambut, ketika ada tawaran dari pihak swasta salah satu yang diusulkan adalah penelitian Candi Losari.
Januari 2007 jadilah kerjasama penelitian Candi Losari tahap I antara Yayasan Tahija Jakarta dengan Balai Arkeologi Yogyakarta. Yayasan Tahija sebagai penyandang dana sedangkan Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai pelaksana. Dalam pelaksanaan penelitian tersebut Balai Arkeologi Yogyakarta juga melibatkan para ahli dari berbagai institusi lain yaitu: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, dan tentu saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang selaku tuan rumah.
Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa tanah tempat situs candi itu berada sangat keras dan pada musim hujan air tanahnya sangat tinggi. Kondisi tersebut menjadi hambatan dalam kegiatan ekskavasi, selain tanahnya yang sangat keras sehingga ekskavasi tidak dapat dilakukan dengan cepat setiap hari juga harus menguras air yang telah muncul pada kedalaman 1,5 m. Pada penelitian tahap I yang dilakukan selama 20 hari telah berhasil membuka 15 buah kotak ekskavasi. Ekskavasi dilakukan dengan teknik parit (trench) mengikuti lorong-lorong di antara jajaran pohon salak. Penggunaan teknik parit itu diharapkan dapat mengurangi atau meminimalkan kerusakan kebun salak akibat kegiatan ekskavasi tersebut.
Penelitian tahap I hanya berhasil menemukan sebuah candi kecil yang diperkirakan sebagai candi perwara. Candi perwara itu diekskavasi sampai kedalaman 4 m dari permukaan tanah. Candi ini berlatar belakang agama Hindu, yang tampak dari hiasan sudut atap candinya berupa ratna. Candi Hindu biasanya terdiri dari sebuah candi induk di depannya terdapat tiga buah candi perwara dan dikelilingi oleh pagar keliling. Jika candi induknya menghadap ke timur maka candi perwaranya menghadap ke barat, sebaliknya jika candi induk menghadap ke barat maka candi perwaranya menghadap ke timur. Candi perwara yang sudah ditemukan ini menghadap ke barat, jadi kemungkinan candi induknya menghadap ke timur. Namun yang belum diketahui candi perwara itu posisinya di mana? Utara, tengah, ataukah selatan? Sebab baru sebuah candi perwara yang ditemukan.
Walau pun kecil tetapi dari segi hiasannya cukup raya, dari bagian kaki sampai atap terdapat hiasan dekoratif, terutama hiasan kepala Kala yang berada di atas pintu masuk sangat bagus. Ragam hias pada kaki candi terdapat pada pelipit persegi di bagian atas dan pada panil-panil bidang kaki candi. Pada pelipit kaki candi bagian atas ragam hiasnya berupa ceplok bunga bulat dipadu dengan rumbai-rumbai. Hiasan ini terdapat pada keempat sisi kaki candi. Hanya di bagian depan kaki candi di bawah pintu masuk tidak ada hiasannya. Bidang kaki candi di bawah pelipit atas kaki candi pada setiap sisi dibagi menjadi dua panil dibatasi oleh pilaster-pilaster.
Pada panil-panil tersebut ragam hiasnya geometris yang sebenarnya juga berupa hiasan ceplok bunga tetapi berbentuk wajik atau jajaran genjang. Seperti pada hiasan pelipit atas kaki candi, maka hiasan pada panil kaki candi pada sisi depan juga ada bagian yang kosong yaitu di bawah pintu masuk. Kaki candi mempunyai tinggi 95 cm, sedangkan luasnya 258 x 258 cm². Kaki candi ini berdiri di atas batur yang tingginya 30 cm dan luas 316 x 316 cm².
Ragam hias lainnya terdapat pada tubuh candi. Ragam hias pada tubuh candi terdapat pada pelipit persegi di bagian atas dan pada panil-panil bidang tubuh candi. Ragam hias pelipit persegi bagian atas tubuh candi ini sama dengan ragam hias pada pelipit persegi kaki candi, yaitu berupa ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai. Bidang tubuh candi juga dibagi menjadi dua panil yang dibatasi oleh pilaster-pilaster, sedangkan di bagian depan panil-panil ini berada di kanan-kiri pintu masuk. Ragam hias pada panil-panil bidang tubuh candi di sisi utara, timur, dan selatan sama berupa ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai yang dihubungkan dengan pita-pita dan memenuhi seluruh panil. Sedangkan ragam hias pada panil di kiri-kanan pintu masuk sama dengan hiasan pada panil-panil kaki candi, yaitu berupa geometris dengan hiasan ceplok bunga berbentuk wajik atau jajaran genjang. Di atas pintu masuk terdapat hiasan kala dengan rambut berupa sulur-suluran, mata melotot, hidung besar, mulut dengan rahang bawah, gigi taring hanya di rahang atas, lidah terjulur, telinga berbentuk seperti sumping, dan di kiri-kanan rahang terdapat tangan. Tubuh candi mempunyai tinggi 140 cm, sedangkan luasnya 160 x 160 cm².
Ragam hias juga terdapat pada komponen atap, antara lain berupa antefiks dan antefiks sudut, hiasan kurawal atau akolade yang di tengahnya terdapat hiasan ceplok bunga dipadu dengan rumbai-rumbai, dan hiasan sudut atap berupa ratna atau keben. Sedangkan kemuncak candinya yang kemungkinan juga berupa ratna belum ditemukan.
Dengan hanya ditemukannya sebuah candi perwara yang berukuran kecil itu membuat penasaran tim penelitian, apakah di sekitarnya masih ada candi lain ataukah hanya merupakan candi tunggal. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka pada tahun 2008 dilakukan penelitian tahap II. Penelitian ini masih bekerjasama dengan Yayasan Tahija selaku penyandang dana. Berdasarkan pengalaman tahun lalu untuk mengurangi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan—terutama banyaknya air di musim hujan—maka penelitian tahap II ini dilakukan pada musim kemarau. Penelitian dilaksanakan selama 20 hari dari tanggal 5 sampai dengan 28 Agustus 2008.
Namun dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini Balai Arkeologi Yogyakarta tidak berdiri sendiri, karena ada berbagai instansi yang berkompeten terhadap situs ini. Oleh karena itu dalam penelitian mengungkap Situs Candi Losari tahap II ini juga melibatkan berbagai instansi yang berkompeten tersebut, antara lain: Pemerintah Kabupaten Magelang—dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang—adalah instansi yang paling berkompeten karena sebagai yang empunya wilayah dan sebagai pihak yang nantinya akan memanfaatkan keberadaan situs Candi Losari ini. Keterlibatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang juga didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berdasarkan tugas pokok dan fungsinya sangat berkompeten untuk menyelamatkan, melestarikan, dan memugar Candi Losari tersebut. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada sebagai institusi akademik tentu sangat berkompeten untuk mengembangkan keilmuannya melalui penelitian-penelitian, lebih-lebih dengan adanya penemuan situs baru.
BP3 dengan biaya sendiri telah melakukan pemasangan kembali komponen atap candi perwara yang telah ditemukan. Dengan terpasangnya bagian atap candi itu maka “Candi Pak Guru” telah kembali pada habitat aslinya. Walau pun belum sempurna, karena ada beberapa batu atap candi yang belum ditemukan terutama bagian kemuncaknya, namun bentuk candi secara vertikal sudah mulai tampak. Sementara itu tim penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta didukung oleh mahasiswa dan dosen Arkeologi FIB UGM mulai melakukan ekskavasi. Keterlibatan mahasiswa dan dosen Arkeologi tersebut didanai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah, yang juga membiayai pembuatan film pengetahuan tentang Candi Losari tersebut.
Tidaklah mudah untuk menggali kotak-kotak ekskavasi itu karena tanahnya yang sangat keras. Dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras untuk dapat mengungkap Candi Losari. Tidak serta merta penggalian kotak demi kotak mendapatkan hasil yang diharapkan. Lima kotak pertama gagal mendapatkan hasil, walau pun penentuan lokasi kotak telah dibantu menggunakan survei geolistrik. Kegagalan itu tidak membuat jera dan mematahkan semangat para anggota tim penelitian. Kotak-kotak baru di-lay out dan mulai digali satu persatu. Rupanya perjuangan mereka tidak sia-sia, di kotak P22 pada kedalaman 145 cm tampaklah sebongkah batu melintang utara-selatan, yang ternyata adalah bagian bawah dari relief kepala Kala. Temuan yang merupakan bagian dari ambang pintu atas candi perwara kedua itu telah menimbulkan harapan baru untuk dapat menemukan candi-candi lainnya (candi perwara ketiga dan candi induk).
Akhirnya satu demi satu bagian-bagian dari candi perwara dan candi induk itu mulai muncul. Setelah candi perwara kedua (tengah) mulai tampak pintu masuknya, maka bagian candi perwara ketiga (selatan) juga mulai tampak, namun bagian depannya sudah runtuh. Candi perwara ketiga (selatan) itu ditemukan di kotak P28 dan P30. Diperkirakan ketiga candi perwara ini memunyai ukuran yang sama. Setelah ketiga candi perwara itu ditemukan maka untuk mencari candi induknya lebih mudah, biasanya berada di depan candi perwara bagian tengah. Bagian candi induk pun mulai ditemukan, pertama-tama ditemukan runtuhan batu candi di kotak P29. Setelah kotak diperdalam dan diperpanjang ke selatan akhirnya ditemukan struktur dinding bangunan yang ternyata dinding tubuh candi induk sisi timur yang berada di sebelah kiri pintu masuk candi. Pada dinding ini ditemukan relief Mahakala, yang merupakan salah satu dewa penjaga pintu masuk candi. Selain itu di kotak P31 ditemukan struktur bangunan dinding tubuh candi induk sisi barat atau bagian belakang candi induk dan kaki candi bagian atas. Dengan ditemukannya dua sisi tubuh candi dan kaki candi bagian atas maka luas candi induk dapat diperkirakan. Tubuh candi berdenah bujursangkar dengan perkiraan luas 360 x 360 cm², sedangkan kaki candi diperkirakan luasnya 500 x 500 cm². Maka permasalahan pun telah terjawab, Candi Losari adalah sebuah kompleks candi Hindu yang terdiri dari sebuah candi induk dan 3 buah candi perwara. Yang belum berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah pagar kelilingnya. Menggali sebuah kompleks candi memang membutuhkan waktu panjang tidak bisa sekaligus, tetapi harus tahap demi tahap. Sedikit demi sedikit maka terkuaklah Candi Losari.
Sumber Tulisan:
http://arkeologijawa.com