Oleh: Hifdzil Alim
BADAN Pemeriksa Keuangan perwakilan DI Yogyakarta menyampaikan hasil temuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. BPK DIY menyatakan, laporan keuangan pemerintah daerah DIY tahun anggaran 2008 senilai Rp 2,99 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya.
Selain itu, BPK DIY mengindikasikan duit yang berupa piutang pajak sebesar Rp 28,7 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya. Hal ini karena di dalamnya termasuk piutang pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rp 18,4 miliar yang tidak didukung pencatatan yang memadai dan tidak seluruhnya berdasarkan ketetapan pajak daerah. Dari hasil temuan itu, BPK memberikan pendapat wajar dengan pengecualian (WDP) bagi laporan keuangan Pemerintah Provinsi DIY. (Kompas, 15/6).
Laporan BPK DIY tersebut, setidaknya, menjadi pertanda bahwa keuangan Pemprov DIY masih belum beres. Kondisi ini bertolak belakang dengan laporan Transparency International Indonesia (TII). Januari lalu, TII melakukan survei terhadap 33 provinsi dan 17 kota yang dianggap signifikan secara ekonomi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Skor 10 mewakili daerah paling bersih dan skor 0 adalah daerah yang paling terjangkit korupsi. Survei TII mewartakan, Yogyakarta menempati ranking pertama dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 6,43. Posisi terendah ditempati Kota Kupang dengan skor IPK 2,97.
Sebenarnya kalau mau dilihat dengan saksama, kita tidak akan terlalu heran dengan temuan BPK DIY di atas. Mengapa? Merujuk pada survei TII, range skor antara IPK tertinggi (6,43) dan IPK terendah (2,97) tidaklah terlalu jauh, cuma 3,46. Artinya, meskipun dianggap paling bersih, Yogyakarta belum mampu keluar dari jurang kotor korupsi.
Kondisi tersebut tidak hanya berlaku di Yogyakarta, melainkan juga di daerah-daerah lainnya. Sebagai bukti, survei TII memberikan skor bagi peringkat daerah bersih kedua hingga kesepuluh yang range-nya tidak terlalu jauh. Lihat saja, Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), Mataram (5,41), Surakarta (5,35), Tasikmalaya (5,12), Banjarmasin (5,11), Samarinda (5,03), dan Pangkal Pinang (5,03). Range angka-angka itu berkisar 0,01 hingga 0,33. Besarannya kurang dari 1 angka. Range ini membuktikan tingkat antikorupsi di setiap daerah hampir sama. Daerah belum mampu membentuk zona antikorupsi yang dapat diimplementasikan secara maksimal.
Trend Corruption Report (TCR) triwulan IV 2008 Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat Korupsi FH UGM) menambah bukti bahwa korupsi di pemerintah daerah masih tinggi. Dari sudut sektor korupsi yang dipantau oleh Pukat Korupsi FH UGM, korupsi di pemerintah daerah menempati urutan teratas dengan 38 persen. Disusul legislatif daerah, pengadaan barang dan jasa, serta pendidikan masing-masing 8 persen. Lain-lain sebanyak 38 persen.
Partisipasi
Laporan keuangan yang amburadul dapat dimaknai sebagai kecenderungan maraknya tindak korupsi. Buruknya substansi laporan keuangan tersebut kemungkinan besar bermula dari tidak adanya transparansi dan komunikasi yang terbangun antara pelaksana anggaran dan buntunya saluran pengawasan dari pihak eksternal.
Dalam penyusunan rencana penggunaan keuangan, masukan-masukan dari masyarakat sangat penting dibutuhkan. Jeremy Pope dalam Confronting Corruption: The Element of National Integrity System yang telah dialihbahasakan menjadi Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (2003) menulis, ”Sebuah alat baru untuk melibatkan warga masyarakat tengah dikembangkan di Amerika Selatan. Pengembangan itu dimulai di Paraguay pada 1999, ketika wali kota Kota Asuncion mengundang warga kota untuk hadir dalam dengar pendapat umum mengenai rancangan anggaran kota.”
Keikutsertaan warga masyarakat dalam merencanakan penggunaan anggaran pemerintah daerah akan mengurangi penentuan pos-pos anggaran yang tidak berguna. Masyarakat lebih mengerti kebutuhan-kebutuhan apa saja yang urgen bagi mereka. Berikutnya dengar pendapat umum juga akan menciptakan komunikasi yang masif antara pejabat pemerintah daerah dan rakyatnya. Masyarakat memahami lebih baik urusan-urusan pemerintah daerah dan urusan-urusan keuangannya.
Partisipasi masyarakat menjadi bagian dari usaha untuk menciptakan transparansi di pemerintah daerah. Saluran-saluran pengawasan yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat berperan sebagai alat untuk meminimalkan jalan masuk korupsi ke pemerintah daerah.
Keuntungan lainnya adalah timbulnya kesadaran secara rasional warga masyarakat untuk turut menanggung biaya operasional pemerintah daerah melalui pembayaran pajak. ”Masyarakat melihat bagaimana, di mana, dan mengapa pajak yang mereka bayar dibelanjakan, dapat memantau apa yang terjadi untuk mengurangi pemborosan dan korupsi, serta dapat membantu meningkatkan efisiensi. Selain itu akan mendorong warga untuk membayar pajak masing-masing karena mereka telah melihat bagaimana uang pajak digunakan dan bagaimana mereka sendiri, warga, dapat memetik manfaat dari belanja yang dilakukan oleh pemerintah kota,” ujar Pope.
Yang lebih penting lagi, tanggung jawab terhadap penyusunan laporan keuangan tidak hanya menjadi beban pemerintah daerah, melainkan juga akan menjadi beban masyarakat. Hal ini karena masyarakat telah diikutsertakan dalam penyusunan pos-pos anggaran bagi pelaksanaan anggaran pemerintah daerah. Alhasil, pemerintah daerah tidak akan terlalu berat menanggung dosa bila laporan keuangannya ”dihajar” oleh lembaga audit negara atau audit independen.
Korupsi ada di mana-mana dan bergerilya kapan saja. Sudah barang tentu menjadi tugas kita semua untuk menghadang dan menutup sebanyak mungkin jalan masuk bagi korupsi agar uang negara dan harta rakyat tidak hilang dengan sia-sia.
Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sumber: Kompas, Rabu, 5 Agustus 2009