Oleh: Mas Achmad Santosa
TANGGAL 20 Juli 2009, advokat legendaris, pendiri dan tokoh Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung Nasution (ABN), genap berusia 75 tahun.
Umur yang cukup panjang dibandingkan dengan life expectancy orang Indonesia berdasar Human Development Index (HDI), yaitu 68,6 tahun. Sebuah inovasi yang luar biasa dikembangkan ABN pada tahun 1969, melalui konsep bantuan hukum nonkonvensional meliputi: (1) pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin; (2) peningkatan kesadaran masyarakat akan hak- haknya; (3) sejak awal LBH tidak dimaksudkan hanya menjalankan peran bantuan hukum konvensional, seperti konsep legal aid di negara-negara lain yang terfokus kepada pendampingan klien dalam proses peradilan.
Wawasan Perjuangan
Tokoh LP3ES, Aswab Mahasin (almarhum), dalam Bantuan Hukum di Indonesia (1981) menulis, ABN tidak hanya mengutak-atik soal-soal teknis yuridis, tetapi membentangkan wawasan perjuangan. Aswab mendeskripsikan ABN sebagai seorang yuris profesional-intelektual yang mampu melembagakan gagasannya dalam sebuah pusat gerakan.
Buyung melakukan perubahan bentuk keterlibatan kaum yuris intelektual generasi kedua setelah keterlibatan generasi Soepomo, Yamin, dan lainnya dalam dunia politik dan perancangan konstitusi.
Pada masa Orde Baru, LBH berkembang melebihi sekadar pelayanan dan bantuan hukum bagi kaum miskin dan terpinggirkan sebagai korban pembangunan. LBH berperan di garis depan dalam memasalahkan asumsi-asumsi ideologis, konsep ketatanegaraan, praktik pemerintahan dan penegakan hukum.
Dalam perjalanannya, LBH telah memberi inspirasi bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang berani dan kritis. Tahun 1980-an dan 1990-an, daya pengaruh para aktivis LBH dalam meradikalisasi aneka gerakan sosial (memberikan konteks terhadap sebuah gerakan) semakin terlihat.
Ketika rezim otoriter Soeharto menguat pertengahan 1990-an dan meluasnya pelanggaran HAM, seperti ”penghilangan” secara paksa para aktivis kritis dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, LBH dan para tokohnya berfungsi sebagai motor pembentuk aneka organisasi seperti Kontras dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Organisasi-organisasi ini memberi kontribusi berarti terhadap mundurnya Soeharto sebagai presiden dan menguat, serta meluasnya tuntutan reformasi saat itu.
Peran LBH tidak hanya bergeser dari sekadar bantuan hukum, tetapi kekuatan di tataran idealisme dan gagasan para alumninya, telah memberi banyak warna bagi perjalanan hukum dan demokratisasi di Indonesia. Realisasi komitmen alumni tentu tak bisa dipisahkan dari pengaruh ABN dan LBH.
”Social Entrepreneur”
Tidaklah berlebihan sikap egaliter, pluralis, dan berani dalam memperjuangkan keadilan ditularkan ABN kepada para yunior di LBH dan menghasilkan individu-individu yang memiliki kemampuan membangun solusi inovatif terhadap permasalahan sosial yang bersifat rumit dan mendesak. Individu-individu itu berambisi kuat dan gigih dalam mengatasi aneka isu sosial dan menawarkan gagasan-gagasan perubahan. Sikap ini dikenal sebagai social entrepreneur.
Social entrepreneur jebolan LBH inilah lalu membentuk aneka lembaga swadaya masyarakat yang memberi warna kepada pergulatan dan substansi reformasi seperti PBHI, ICW, Cetro, Yayasan Tifa, Kontras, ICEL, LBH APIK, Mitra Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KRHN, dan sejumlah LSM lainnya. Ini menunjukkan ABN dan LBH telah melahirkan banyak social entrepreneurs yang memperluas jaringan masyarakat sipil dalam menyuarakan ketidakadilan.
Sebagai Bandul
ABN sebagai manusia, teman, dan pemimpin merupakan sosok yang menarik dan menyenangkan. Kekuatannya terletak pada kemampuan memberi perhatian terhadap orang lain dari segala sisi. ABN merupakan seorang altruis. Ia berani mengambil risiko kehilangan popularitas bahkan sumber mata pencarian. Tidak banyak orang berani berkorban untuk sebuah nilai-nilai dan prinsip. Pengalaman dijebloskan ke penjara, dituduh contempt of court, pergerakan dan aktivitas yang dibatasi aparat militer dan intelijen, dan penutupan kantor firma hukum pribadi merupakan pengalaman pribadi ABN yang perlu dimaknai generasi muda.
Tidak selamanya ABN dipersepsikan positif oleh generasi pekerja bantuan hukum kini. Asfinawati, Direktur LBH Jakarta, menilai ABN atau LBH kini layaknya sebuah bandul, mengayun dari satu ujung ke ujung lain. Dari merisikokan diri terkena contempt of court dan dicabut izin praktiknya karena membela keadilan sampai ke pilihan membela para jenderal adalah salah satu kontroversi ABN yang digambarkan sebagai ”bandul”.
Sikap ABN dan keragaman alumni LBH yang tersebar luas dipandang menyulitkan anggapan, LBH hanya ada untuk rakyat. Bahkan, Asfinawati menggambarkan lokomotif demokrasi, yang merupakan sebutan LBH pada masa lalu, kini berjalan terseok-seok tertinggal kereta-kereta lain.
Kini, di usia 75, ABN masih ingin mencapai empat hal. Pertama, memperjuangkan UU Bantuan Hukum sebagai wujud pengakuan negara terhadap bantuan hukum bagi si miskin. Kedua, mempersatukan advokat sehingga memiliki satu wadah tunggal yang kuat dan solid sebagai bagian dari membangun sistem integritas Advokat. Ketiga, mengembangkan dana abadi bantuan hukum untuk kelangsungan pembiayaan kegiatan bantuan hukum di seluruh Indonesia. Keempat, mengembangkan peta jalan untuk mewujudkan rule of law yang demokratis.
Empat hal itu dapat menjawab keraguan masyarakat yang merasa LBH sudah menjadi lokomotif yang terseok-seok.
Mas Achmad Santosa, Mantan Fungsionaris LBH Jakarta dan Yayasan LBH Indonesia 1980-1993; Anggota Dewan Pembina Yayasan LBH Indonesia
Sumber: Kompas, Sabtu, 01 Agustus 2009