Oleh: Jabir Alfaruqi
“...cecak kok mau melawan buaya...." Pernyataan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji tersebut kini memantik perseteruan yang semakin memanas dan membuka konfrontasi terbuka antara kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Istilah itu mencuat setelah KPK menyadap telepon seluler sang Komjen terkait dengan penanganan kasus Bank Century. Dalam kasus tersebut, diindikasi sang Komjen terlibat.
Kekhawatiran itu berubah menjadi aksi counterattack berupa tuduhan balik terhadap Chandra M. Hamzah, salah seorang pimpinan KPK, telah melakukan pelanggaran penyadapan. Karena bersemanagatnya sang Komjen, akhirnya muncullah istilah “cecak kok melawan buaya".
Tentu saja yang dimaksud cecak adalah KPK, sedangkan buaya adalah kepolisian. Terlepas benar atau salah peristilahan tersebut, yang jelas muncul multitafsir. Dalam benak orang Jawa, cecak bisa dimaknai hewan kecil yang makannya sedikit. Buaya adalah hewan besar dan buas yang makannya banyak.
Atau, bisa juga dimaknai kekuatan cecak itu kecil dan kekuatan buaya besar. Cecak tidak terlalu membahayakan, sedangkan buaya sangat membahayakan keselamatan manusia. Adapun hakikat makna yang sesungguhnya hanya bisa dimengerti oleh orang yang mengucapkannya. Apa maksud ucapan itu? Untuk mengejek, mengecilkan pihak lawan, atau bagaimana?
Para aktivis antikorupsi memaknai cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya. Tafsir itu adalah tafsir kontekstual yang memang sangat berdasar. Kita bisa melihat masih belum adanya ujung pangkal penyelesaian UU Tipikor dan antikorupsi. Satu demi satu pimpinan KPK diperiksa. Konflik antara kepolisian plus kejaksaan dengan KPK semakin kelihatan. Itu merupakan gerakan sistematis untuk menghancurkan semua potensi pemberantasan korupsi yang dikomandoi KPK.
Berangkat dari kegelisahan itulah, kini para aktivis, dimulai dari Jakarta, Semarang, dan beberapa kota besar lain, melakukan Deklarasi Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK). Yang intinya, meneguhkan kembali bahaya korupsi, perlunya lembaga antikorupsi (KPK) yang kuat dan keberlangsungannya terjamin, serta bersama-sama menyelamatkan bangsa dari korupsi.
Conflict of Interest
Pertarungan antara Komjen Susno Duadji dan KPK kini ditangkap publik bukan sekadar goyonan atau saling sindir, tetapi sudah mengarah ke wilayah conflict of interest antara lembaga penegak hukum. Seperti diberitakan berbagai media bahwa mereka kini saling serang, saling ancam, dan saling memperlihatkan taringnya.
Pertarungan secara terbuka itu bisa dilihat sejak Antasari Azhar ditangkap dan diperiksa kepolisian. Betapa kompaknya kepolisian dengan kejaksaan dalam menindaklanjuti perkara tersebut. Bahkan, Kejaksaan Agung sudah berani mengeluarkan statemen Antasari Azhar sebagai tersangka sebelum Mabes Polri menetapkan status tersebut.
Bila conflict of interest itu tidak bisa terselesaikan dengan arif dan bijaksana, masa depan pemberantasan korupsi hancur berantakan. Tampaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasakan hal itu dan harus turun tangan sendiri untuk mendamaikan pertarungan kedua lembaga yang sedang berseteru tersebut. Namun, belum ada hasil yang menggembirakan.
Di kalangan aktivis antikorupsi, langkah-langkah kepolisian untuk terus memeriksa dan bila tidak terbendung akan ada penahanan terhadap orang-orang KPK tersebut tidak salah jika dipahami sebagai penggembosan secara besar-besaran terhadap misi besar KPK dalam memberantas korupsi.
Secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. Sebab, KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi.
Begitu juga, secara teknis penyidik di KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan. KPK bisa maju dan gesit karena SDM-nya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, mereka sebenarnya harus saling bersatu dan mendukung sehingga keberhasilan pemberantasan korupsi segera menunjukkan hasil.
Dari sisi itu, sebenarnya tidak perlu terjadi kecemburuan, apalagi conflict of interes, antarlembaga. Kepolisian dan kejaksaan tidak perlu merasa dikecilkan dan disisihkan. Kegesitan KPK untuk menangani korupsi sebaiknya menjadi kebanggaan kita bersama sebagai bangsa dan kebanggaan antarlembaga penegak hukum.
Belajar dari Hongkong
Perseteruan antara lembaga kepolisian dan lembaga pemberantasan korupsi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Hongkong, pada 1977, KPK Hongkong (Independent Commission Against Corruption-ICAC) berhasil membongkar kasus korupsi di Kepolisian Hongkong. Kepolisian Hongkong tertangkap tangan menyimpan aset 4,3 juta dolar Hongkong dan menyembunyikan uang 600.000 dolar AS.
Tidak begitu lama sejak penangkapan itu, ICAC digempur Kepolisian Hongkong. Kasus itu dibawa ke pengadilan. Lalu pengadilan memutuskan ICAC bersih (benar) dan kepolisian salah (korup). Setelah kasus itu, Hongkong menjadi negara yang relatif bersih dari korupsi.
Hal itu kini juga terjadi di Indonesia. Ketika indeks persepsi korupsi semakin membaik, banyak pihak yang kebakaran jenggot dan beramai-ramai menggembosi KPK. Lembaga kepolisian dan kejaksaan merasa digarap KPK dan kredibilitasnya terancam. Karena itu, kepolisian tidak mau lagi kecolongan seperti kejaksaan saat penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG). Sebelum di-UTG-kan, Komjen Susno Duadji sebagai Kabareskrim Mabes Polri mengambil langkah-langkah untuk menyerang KPK. Semoga saja kasus di Hongkong juga terjadi di sini. Amin.
Jabir Alfaruqi, Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), Jawa Tengah
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 16 Juli 2009