Oleh: Hifdzil Alim
TIDAK mungkin orang tidak merasakan madu atau racun yang ada di ujung lidahnya. Sama halnya tidak mungkin orang mengurus uang kerajaan tanpa mencicipi kekayaan raja meski seujung kuku.
Kautilya, perdana menteri sebuah kerajaan di India utara, 2.000 tahun silam, memproyeksikan bahwa pengelolaan keuangan akan melahirkan kecenderungan untuk ditilep si pengelola meski hanya sekeping.
Pengelolaan Uang Negara
Mengurus uang bukanlah pekerjaan mudah, apalagi uang negara. Jeremy Pope dalam Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System (dialihbahasakan: Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (2003) mengatakan, ”Pengelolaan keuangan pemerintah (negara) lebih menantang daripada pengelolaan keuangan sektor swasta.”
Pengelolaan keuangan di sektor swasta bertujuan menyediakan informasi bagi pengambil keputusan guna menentukan keputusan yang tepat. Sementara di wilayah negara, pengelolaan keuangan dimaksudkan untuk mematuhi ketentuan hukum daripada dijadikan bahan membuat kebijakan. Alhasil, keputusan penting di bidang keuangan negara lebih didasarkan kenyataan politik ketimbang orientasi hasil positif di masa depan.
Menurut Pope, kombinasi politik, pendekatan hukum, dan pengawasan publik inilah yang membuat pengelolaan keuangan negara menjadi lebih sulit dan menantang daripada pengelolaan keuangan di sektor swasta. Berdasar catatan Pope itu, tak heran mengapa tiap ganti tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan penilaian buruk terhadap pengelolaan aset maupun uang negara oleh pemerintah.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) periode 2008 yang dilansir BPK menyebutkan, ada aset negara yang tidak jelas keberadaannya dan besarannya beragam. Di Departemen Pekerjaan Umum terdapat Rp 15,95 triliun. Aset hilang senilai Rp 1,054 miliar diindikasikan ada di Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana.
Berikut, Departemen Keuangan (Rp 2,29 miliar), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Rp 2,56 miliar), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (Rp 2,38 miliar), Departemen Komunikasi dan Informatika (Rp 1,89 miliar), Komisi Pemberantasan Korupsi (Rp 12,7 juta), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Rp 526,02 juta), serta di Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 5,65 miliar.
Tampaknya, penilaian BPK terhadap keuangan pemerintah tidak berubah dari tahun ke tahun. BPK melihat adanya aset- aset negara yang berserakan dan tak bertuan. Pengelolaan uang negara di tiap departemen masih jelek dan tak selektif.
Aset negara yang ada dalam neraca pemerintah pusat dan tidak dapat diyakini eksistensinya akan memunculkan risiko sengketa dengan pihak ketiga. Misalnya, prospek sengketa dari tanah negara yang belum bersertifikat (Kompas, 24/06/09).
Soal Aset Negara
Tidak hanya itu. Ternyata, pencatatan aset negara yang tidak jelas masih berlanjut. Dari 22.307 satuan kerja yang bertanggung jawab melaksanakan pelaporan keuangan negara, ada 12.053 satuan kerja yang belum selesai melakukan pencatatan asetnya. Selain itu, masih ada aset sebesar Rp 77,32 triliun yang belum dibukukan.
Pemerintah sepertinya kurang becermin. Pasalnya, pada akhir tahun 2008, tim penertiban rekening pemerintah menyerahkan rekening-rekening liar yang beredar di tiap departemen dan lembaga pemerintah ke KPK. Total ada 260 rekening liar dengan keseluruhan dana Rp 314,233 miliar dan 11,024 juta dollar AS.
Rincian atas jumlah itu: 102 rekening ada di Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan HAM (66 rekening senilai Rp 56,82 miliar), Departemen Dalam Negeri (36 rekening total senilai Rp 88,57 miliar dan 51,58 ribu dollar AS), Departemen Pertanian (32 rekening), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (21 rekening sebesar Rp 139,438 miliar dan 270,57 ribu dollar AS), BP Migas (2 rekening seharga 10,7 juta dollar AS), serta Departemen Sosial memiliki satu rekening senilai Rp 29,28 miliar.
Jumlah rekening liar di departemen dan lembaga pemerintah itu kemungkinan besar akan bertambah. Sebab, Departemen Keuangan sebagai bendahara negara masih menginventarisasi 32.570 rekening dengan seluruh nilai mencapai Rp 36,76 triliun dan 685,236 juta dollar AS. Semua rekening itu diduga berpotensi melahirkan korupsi yang merugikan keuangan negara.
Uang negara harus dicatat dan ditata seapik mungkin. Sistem akunting yang baik dipercaya akan mengurangi korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Resepnya adalah, pertama, memaksa semua kegiatan pemerintahan dan penyiapan laporan keuangan secara disiplin dan tepat waktu.
Kedua, meningkatkan pengawasan internal sekaligus pengawasan subyektif atas uang negara terkait pengeluaran yang mudah disalahgunakan seperti biaya perjalanan dinas serta pengadaan barang dan jasa.
Ketiga, memperlancar audit terhadap penggunaan keuangan negara. Keempat, memberikan kontrol psikologis pada aparat pemerintahan yang terbukti menyelewengkan uang negara berupa penjatuhan sanksi hukum yang berat.
Uang negara adalah uang rakyat. Karena itu, sengkarut uang negara harus diakhiri dari sekarang agar uang rakyat terselamatkan serta dapat dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum, UGM
Sumber: Kompas, Selasa, 07 Juli 2009