Meneropong Kinerja Menteri Hukum dan HAM

Oleh: Saldi Isra

IBARAT gayung bersambut, harapan besar masyarakat untuk terjadinya pembaruan besar-besaran dalam era pemerintahan SBY-JK dijawab dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No. 5/2004). Meski bukan satu-satunya produk hukum yang dikreasikan untuk melakukan pembaruan internal pemerintah, kehadiran Inpres No. 5/2004 dinilai berbagai kalangan sebagai langkah besar yang memadukan pencegahan, represi, dan pengembalian aset negara.

Menyadari pentingnya gerak cepat dalam memberantas korupsi, Inpres No. 5/2004 menginstruksikan semua jajaran eksekutif menetapkan program dan wilayah yang menjadi lingkup tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya sebagai program dan wilayah bebas korupsi. Langkah konkret ke arah itu meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa maupun perizinan, melalui transparansi dan standardisasi pelayanan terukur untuk menghapus pungutan-pungutan liar. Selain itu, diamanatkan melakukan pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif.

Di luar instruksi umum kepada semua jajaran eksekutif, Inpres No. 5/2004 memberikan dua perintah khusus kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pertama, menyiapkan rumusan amendemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Kedua, menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan agenda pemberantasan tindak pidana korupsi.

Lembaga Pemasyarakatan
Hasil survei KPK pada Juni-September 2008, lembaga pemasyarakatan (LP) menempati salah satu dari 15 unit pelayanan publik yang berada di urutan terendah. Hal tersebut amat mungkin terjadi karena kelebihan kapasitas LP. Dengan kelebihan itu, pelayanan jadi tidak mungkin dilakukan dengan baik. Tidak jarang terjadi pungutan liar terhadap pengunjung dan terhadap penghuni LP. Bukan hanya masalah pelayanan, over-capacity itu makin mempermudah dan memperparah praktek menyimpang di LP, seperti peredaran narkoba, ganja, atau obat-obat terlarang lainnya.

Jika ditelisik instruksi umum yang diamanatkan Inpres No. 5/2004, kelebihan kapasitas itu tidak hanya bermuara pada munculnya perilaku menyimpang, tetapi juga berkurangnya pelayanan yang seharusnya diterima penghuni LP. Akibatnya, LP menjadi tidak maksimal melakukan pembinaan atas narapidana, sehingga menimbulkan masalah lain yang krusial, seperti tidak terpenuhinya hak-hak asasi narapidana atas makanan yang layak, ruang yang cukup, dan kebutuhan dasar lainnya. Kondisi itu bisa makin parah jika tidak ada kontrol terhadap jatah makanan yang seharusnya diterima penghuni LP.

Kondisi di Daerah
Sebagai lembaga pusat yang punya perpanjangan tangan di daerah berupa kantor wilayah, sejauh ini peran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia belum menunjukkan peran yang optimal dalam pembinaan hukum di daerah. Jika ada terobosan, pembinaan hukum di daerah dapat saja dilakukan dengan menjadikan kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai “law center”. Namun, sejauh ini Departemen Hukum dan HAM tidak banyak berperan dalam peningkatan kualitas produk hukum di daerah.

Selain karena faktor keterbatasan sumber daya manusia yang ada di kantor wilayah, landasan hukum juga menjadi masalah dasar yang dapat meneguhkan eksistensi kantor wilayah dalam melakukan evaluasi terhadap produk-produk hukum di daerah. Sebetulnya, jika ada upaya berbagi peran Departemen Dalam Negeri, kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM berpotensi menjadi pihak yang dapat mendorong langkah harmonisasi dan sinkronisasi produk hukum di daerah. Karena peran tersebut tidak menonjol, peran kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM lebih tertuju pada tugas-tugas konvensional, seperti penegakan hukum di LP dan pelayanan di kantor imigrasi.

Banyak kalangan menilai, pembangunan produk hukum di daerah tidak berjalan optimal karena program penelitian, pengkajian, dan seminar-seminar hukum lebih banyak untuk menyelesaikan proyek. Bahkan banyak kegiatan dinilai tidak efisien, tidak efektif, dan hanya formalitas belaka. Dari informasi yang ada, faktor keterbatasan dana merupakan penyebab utama program tersebut kehilangan makna pentingnya dalam pembangunan hukum di daerah. Karena itu, kantor wilayah lebih banyak melakukan kegiatan sosialisasi atas produk hukum yang ada.

Selain keterbatasan peran dalam produk hukum, pelayanan pendaftaran fidusia menjadi masalah akut. Dalam memberikan pelayanan fidusia, telah jadi rahasia umum, sering terjadi pungutan liar dengan motif melebihkan harga dari besaran yang telah ditentukan. Pungutan demikian menjadi simalakama bagi para notaris yang ingin mempersoalkan penyelewengan itu. Pada satu sisi, sebagian notaris keberatan dengan praktek demikian. Namun, di sisi lain, notaris menjadi sulit mempersoalkannya karena peran kantor wilayah sebagai pengawas notaris. Sayang, praktek yang telah berlangsung bertahun-tahun ini nyaris tidak tersentuh upaya pembaruan internal Departemen Hukum dan HAM.

RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, salah satu instruksi khusus Inpres No. 5/2004 kepada Menteri Hukum dan HAM adalah menyiapkan rumusan amendemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Dikaitkan dengan RUU Pengadilan Tipikor, Menteri Hukum dan HAM sedang berada dalam ambang batas terancam gagal total melaksanakan instruksi tersebut. Setidaknya, sampai sejauh ini nasib RUU Pengadilan Tipikor masih amat menggapai penyelesaian.

Kalaupun dalam waktu dekat RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bisa dituntaskan, belum ada jaminan bahwa roh reformasi pemberantasan korupsi yang ada dan dipraktekkan di Pengadilan Tipikor saat ini tetap terpelihara. Mestinya, sebagai tokoh politik yang berkarier cukup lama di DPR, Menteri Hukum dan HAM sudah mengenal dengan pasti kecenderungan di DPR. Dengan demikian, Menteri Hukum dan HAM seharusnya mampu mempersiapkan strategi jitu meloloskan RUU Pengadilan Tipikor. Bagaimanapun, jika gagal menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor, optimalisasi agenda pemberantasan korupsi sulit digapai. Artinya, bukan tidak mungkin perjalanan waktu ke depan adalah hari-hari menatap kehancuran agenda pemberantasan korupsi.

Meski tidak dapat menjadi tolok ukur kinerja (performance) secara menyeluruh, dengan menggunakan Inpres No. 5/2004, penjelasan tersebut cukup untuk mengatakan bahwa kinerja Menteri Hukum dan HAM jauh dari memuaskan. Penilaian itu bisa saja bergeser jika dalam waktu yang tersisa ada capaian yang spektakuler.

Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sumber: Koran Tempo, Jumat, 03 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts