Petisi penyelamatan situs Muara Jambi terus didukung

Jakarta - Dukungan masyarakat terhadap petisi penyelamatan kawasan percandian Muara Jambi yang terancam rusak akibat industri batubara dan kelapa sawit, terus bertambah.

Sampai Rabu (15/02) malam, dukungan masyarakat melalui jejaring sosial telah mencapai 1.500 orang, semenjak petisi itu diresmikan pekan lalu.

"Sudah melewati 1.500 orang, itu belum ditambah (dukungan) aksi jalanan masyarakat di Jambi," kata Metta Dharmasaputra, salah-seorang inisiator petisi penyelamatan kawasan peninggalan bersejarah yang terletak di Propinsi Jambi, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (16/02) siang.

Rencananya, pada awal Maret 2012 nanti petisi itu akan diserahkan secara simbolis kepada pemerintah pusat dan daerah.

Seperti tertulis dalam petisi Save Muarajambi, para penandatangan petisi menuntut agar pemerintah mengukuhkan peninggalan masa Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya pada abad 7-14 itu sebagai kawasan cagar budaya.

"Tuntutan paling nyata, kita harapkan ada penetapan (kawasan percandian Muarajambi) sebagai kawasan cagar budaya," kata Metta. "Tidak bisa untuk kawasan industri sama-sekali, karena Presiden Yudhoyono sudah menetapkannya sebagai kawasan sejarah terpadu nasional."

Menurut Metta, status cagar budaya itu diperlukan sebagai payung hukum untuk kawasan percandian yang terbentang sepanjang 7,5 kilometer di tepi sungai Batanghari,Jambi.

"Sehingga, tidak boleh ada kawasan industri di sana," tambah Metta yang juga anggota Perhimpunan Pelestarian Muara Jambi, PPMJ.

Kawasan percandian seluas 2.612 hektar ini disebutkan sekarang terancam rusak akibat kehadiran aktivitas industri yang berdiri pada kawasan tersebut.

Sejumlah laporan menyebutkan, di dalam kawasan tersebut, telah berdiri pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, terminal penimbunan batubara, serta industri hulu lainnya.
Pecahan keramik dan tembikar

Arkeolog Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, mengkhawatirkan kehadiran industri batu bara dan perkebunan kelapa sawit akan berdampak langsung pada kawasan percandian terluas di Indonesia itu.

"Itu jelas sangat mengkhawatirkan, karena di sekitar (kawasan) candi itu padat dengan peninggalan arkeologis," katanya kepada BBC Indonesia.

Menurutnya, peninggalan bersejarah di kawasan itu bukan hanya berbentuk candi, tetapi keramik dan tembikar yang diduga kuat masih tersimpan di dalam tanah.

"Dan kebetulan yang dipakai untuk menimbun batu bara itu diambil dari situs".

Hal yang sama, menurut Bambang, juga dilakukan para pemilik perkebunan kelapa sawit ketika membuka lahan di kawasan tersebut.

"Begitu mengggali tanah di situ, tentunya (mereka) akan menemukan pecahan keramik dan tembikar," katanya dengan nada getir.
Kerajaan Sriwijaya dan Melayu

Sebagian arkeolog menyatakan, kawasan percandian Muara Jambi merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu, pada abad 7-14.

"Jadi, itu merupakan percandian yang waktu hidupnya cukup lama, yang mendapat pengaruh (Kerajaan) Singasari," ungkap arkeolog Bambang Budi Utomo.

"Kelihatan sekali dari temuan beraneka ragam dari berbagai periode dan gaya seni," jelasnya lebih lanjut.

Kawasan percandian Muara Jambi tersebar sepanjang sekitar 7,5 kilometer di tepi sungai Batanghari, Jambi, pada tujuh wilayah desa di Kabupaten Muara Jambi.

Ketujuh desa itu adalah Desa Dusun Baru, Desa Danau Lamo, Desa Muarajambi, Desa Kemingking Luar dan Desa Kemingking Dalam, serta Desa Teluk Jambu dan Desa Dusun Mudo.

Sementara candi-candi yang terdapat di wilayah itu adalah Candi Teluk I, Candi Teluk II, Candi Cina, Menapo Cina, Menapo Pelayangan, Menapo Mukti, dan Menapo Astano.

Menapo adalah tumpukan batu yang sudah tertimbun.

Sejumlah laporan menyebutkan, kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada 1823 oleh warga Inggris S.C. Crooke, yang memetakan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer.

Barulah pada 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran serius terhadap kawasan percandian Muara Jambi.

-

Arsip Blog

Recent Posts