Oleh: Saldi Isra
KOMISI Pemberantasan Korupsi tengah berjuang menghadapi sakratulmaut. Bukan tidak mungkin, ”malaikat maut” segera mencabut nyawa KPK, lembaga yang ditakuti dan dibenci para koruptor.
Jamak diketahui, meski masih ada banyak catatan, KPK berhasil menyentuh hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah penegakan hukum di negeri ini, belum pernah ada capaian pemberantasan korupsi sebagaimana terjadi selama terbentuknya KPK.
Dengan sepak terjang KPK, banyak kalangan merasa gerah. Terlebih saat KPK masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini mempunyai posisi politik amat kuat, termasuk penangkapan sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus korupsi.
Dari catatan yang ada, sebenarnya kegerahan atas langkah KPK bukan hanya muncul belakangan. Resistensi sudah muncul sejak KPK menjamah kasus-kasus besar (skandal) korupsi. Karena resistensi lebih banyak datang dari mereka yang tersangkut kasus korupsi, isu corruptors fight back cukup untuk menghadapinya.
Namun, ketika kegerahan masuk wilayah para pengambil keputusan, eksistensi KPK benar-benar terancam. Misalnya, bagaimana proses seleksi calon pimpinan KPK generasi kedua menyingkirkan sebagian figur yang dikenal memiliki keberanian, integritas, dan kompetensi dalam proses fit and proper test di DPR. Atau dengan cara lain, melalui proses legislasi, hingga kini RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih jauh dari selesai.
Upaya Membunuh KPK
Terkuaknya dugaan keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen memberi dampak luar biasa atas eksistensi KPK. Melihat gejala yang ada, skandal kematian Nasrudin potensial menjadi titik balik sekaligus menjadi serangan balik terhadap KPK. Sejak skandal itu, upaya membunuh KPK sepertinya berjalan secara sistematis.
Masih segar dalam ingatan kita, betapa bernafsunya sebagian anggota DPR untuk menghentikan semua upaya penegakan hukum yang akan dilakukan KPK. Argumentasi yang digunakan cukup sederhana, dengan nonaktifnya Antasari Azhar, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif sebagaimana diisyaratkan Pasal 21 UU KPK. Bagi mereka, kolektif harus berjumlah lima orang. Jika pimpinan kurang dari lima, KPK tidak dapat lagi menjalankan kewenangan untuk melakukan penyidikan atau penuntutan.
Beruntung, argumentasi itu dibantah sebagian anggota DPR yang lain. Karena itu, ibarat menepuk air di dulang, argumentasi kolektivitas yang digunakan sebagian anggota DPR itu akhirnya memercik ke muka sendiri. Argumentasi kolektif itu lebih banyak datang dari anggota DPR yang selama ini bersuara miring terhadap eksistensi KPK.
Tidak Lazim
Belum usai keterperangahan publik menghadapi upaya pembunuhan KPK melalui argumentasi pimpinan kolektif, tiba-tiba BPKP melakukan langkah tidak lazim: berupaya mengaudit KPK. Padahal, sebagai auditor internal pemerintah, BPKP sama sekali tak berwenang mengaudit lembaga independen, termasuk KPK. Ketidaklaziman tindakan BPKP ini terasa kian aneh saat Kepala BPKP Didi Widayadi menyatakan rencana mengaudit KPK dilakukan atas perintah Presiden. Meskipun Yudhoyono membantah pernyataan itu, sulit dipercaya bahwa tindakan BPKP atas inisiatif sendiri.
Dari semua upaya yang ada, tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar masuk ke jantung pertahanan KPK. Pada akhir Juni lalu, Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Hasil pemeriksaan itu belum tentu membuat kasus pembunuhan kian terang. Yang dirasakan publik, pemeriksaan Chandra Hamzah sepertinya sedang bergerak menuju pendulum berbeda.
Dalam hal ini, menarik menyimak pendapat Ketua Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia Hamid Chalid (Kompas, 2/7), polisi seolah bicara kasus Antasari, tetapi jangan-jangan semacam preemtive action. Kecurigaan Hamid bukan tanpa alasan karena polisi amat agresif mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Yang paling meresahkan dan menakutkan, sedang dibangun upaya sistemik berupa kriminalisasi atas kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.
Lanjutkan KPK
Merujuk tenggat yang terjadi, hampir semua langkah untuk membunuh KPK terjadi dalam masa-masa menuju pemilihan umum presiden 8 Juli. Aneh sekaligus mengherankan, tidak ada calon presiden yang memberi dukungan (terbuka) bagi KPK. Jangankan dukungan, rasa prihatin saja tak keluar dari para calon presiden.
Selain itu, masalah-masalah krusial lain yang berhubungan erat dengan pemberantasan korupsi juga tidak mendapat solusi dan dukungan terbuka. Salah satunya, isu krusial dalam RUU Pengadilan Khusus Tipikor, yaitu komposisi hakim ad hoc. Sepanjang masa kampanye, tidak ada calon presiden yang berani secara nyata menyatakan mempertahankan komposisi hakim ad hoc yang ada saat ini.
Karena itu, secara jujur harus diakui, agenda pemberantasan korupsi yang ditawarkan calon presiden dalam masa kampanye lalu jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tahun 2004. Padahal, ancaman korupsi tidak kalah seriusnya dibandingkan dengan lima tahun lalu. Masalahnya, jika dalam suasana menuju pemilihan presiden saja sulit meraih komitmen untuk meneruskan dan meningkatkan agenda pemberantasan korupsi (termasuk dukungan bagi KPK), pasca-8 Juli bisa menjadi semakin sulit.
Yang terasa, saat ini agenda pemberantasan korupsi sedang dalam masa sulit. Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada segala upaya yang bermuara pada melemahnya agenda memberantas korupsi. Karena itu, sebagai pasangan yang mendapat dukungan terbesar pada 8 Juli lalu, Yudhoyono-Boediono punya tanggung jawab besar dan tidak boleh surut dalam memberantas korupsi.
Diyakini, kepercayaan pemilih (terutama bagi Yudhoyono) untuk meneruskan pemerintahan pada periode kedua harus dibaca dan dimaknai sebagai perpanjangan amanat untuk melanjutkan agenda pemberantasan korupsi. Artinya, eksistensi KPK harus dilanjutkan dan jangan lanjutkan (lagi) segala macam upaya yang dapat membunuh KPK.
Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber: Kompas, Selasa, 14 Juli 2009