Oleh: Bambang Widjojanto
SEJAUH ini ada keterbatasan untuk mengungkap sejauh mana kebenaran sinyalemen bahwa ada korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada baiknya dilakukan assessment dan kajian atas potensi korupsi yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum dikaitkan dengan atau didasarkan pada audit laporan keuangan dan kinerja yang dilakukan oleh BPK pada lembaga penegakan hukum, khususnya KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa lembaga yang baik dalam mengelola pertanggungjawaban keuangannya diyakini akan juga lebih amanah kinerjanya dalam menggunakan kewenangan yang dimilikinya.
BPK telah melakukan audit terhadap KPK, kepolisian, dan kejaksaan, seperti tersebut dalam Ikhtisar Laporan Hasil Pemeriksaan BPK pada semester pertama 2008. Tulisan ini akan memperlihatkan hasil audit laporan keuangan dan bukan audit kinerja. Seyogianya, khusus untuk KPK, sesuai dengan Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang KPK, dikemukakan bahwa audit kinerja perlu dilakukan KPK sebagai bentuk pertanggungjawaban yang bukan sekadar pertanggungjawaban keuangan.
Berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh BPK sesuai dengan laporan di atas, KPK disebutkan telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dengan paragraf penjelasan, sementara pada 2007 laporan keuangannya hanya dinilai wajar dengan pengecualian (WDP). Sesuai dengan laporan BPK dimaksud, dari 85 laporan keuangan kementerian/lembaga yang diperiksa oleh BPK, opini pendapat berupa "wajar tanpa pengecualian (WTP)" hanya diberikan kepada 16 kementerian/lembaga, tempat KPK adalah salah satunya. Ada 31 kementerian/lembaga yang dinyatakan sebagai "wajar dengan pengecualian (WDP), 37 kementerian/lembaga dinyatakan "tidak memberikan pendapat (TMP)", dan satu kementerian dinilai “tidak wajar (TW)".
KPK dinilai masih memiliki kelemahan dalam sistem pengendalian intern, sehingga di masa mendatang perlu ditingkatkan karena dapat mempengaruhi persepsi publik atas kinerja KPK, khususnya pada penggunaan kewenangannya. Salah satu kasus yang disebutkan secara jelas dalam laporan BPK adalah adanya piutang pada korporasi tertentu dengan jumlah Rp 4,35 miliar yang diakibatkan korporasi, selaku rekanan pelaksana pengadaan peralatan multikomunikasi monitoring, tidak dapat melanjutkan pekerjaan sesuai dengan kontrak, sehingga terjadi kelebihan pembayaran uang muka yang harus dikembalikan sebesar Rp 916,00 juta. Ada kasus lainnya berupa denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan pelaksanaan yang belum dapat dicairkan sebesar Rp 2,29 miliar, dan atas perkara tersebut KPK telah mengajukan perkara ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Hasil audit sesuai dengan Laporan BKP Semester I 2008 terhadap lembaga kepolisian dan kejaksaan, bila dibandingkan dengan KPK, ternyata kondisinya lebih memprihatinkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyatakan hasil pemeriksaannya atas kepolisian dan kejaksaan diberi opini "tidak memberikan pendapat (TMP)”. Penilaian itu diberikan kepada kepolisian karena adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan kelemahan sistem pengendalian intern dalam penyusunan laporan keuangan, pengelolaan aset, persediaan, barang bukti, dan penerimaan hibah serta adanya pembatasan lingkup pemeriksaan, sehingga BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran laporan keuangan tersebut.
Sedangkan penilaian terhadap kejaksaan diberikan karena kejaksaan dinilai lemah dalam sistem pengendalian intern terhadap pencatatan dan pelaporan realisasi anggaran, aset dan ketidakjelasan neraca awal yang digunakan sebagai awal penyusunan laporan keuangan Kejaksaan Agung, sehingga BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran laporan keuangan tersebut.
Perincian lebih lanjut mengenai kepolisian disebutkan, sistem pengendalian intern dan realisasi anggaran belanja tidak sesuai dengan ketentuan. Utang kepada pihak ketiga dalam neraca belum disajikan secara akurat. Bahkan ada kelebihan pembayaran dalam realisasi belanja barang dan modal tahun 2007 sebesar Rp 2,60 miliar. Pertanggungjawaban keuangan di lingkungan kepolisian juga dinilai tidak transparan ataupun akuntabel.
Kesimpulan itu didapat dari hasil pemeriksaan secara uji petik atas pertanggungjawaban keuangan dan kontrak pengadaan barang dan jasa, yaitu antara lain, pertama, realisasi belanja modal dan saldo akun dana yang dibatasi penggunaannya pada laporan keuangan 2007 tidak mencerminkan nilai yang wajar, karena adanya pencairan anggaran pada akhir tahun yang dananya disimpan dalam bentuk rekening penampungan namun tidak dilaporkan; kedua, ada beberapa satuan kerja mabes dan polda di mana pertanggungjawaban keuangannya sebesar Rp 15,99 miliar tidak tertib, yaitu bukti pertanggungjawaban tidak lengkap, dan tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya serta tidak sesuai peruntukannya, sehingga pengeluaran anggaran minimal sebesar Rp.15,99 miliar, tidak jelas dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Sedangkan perincian masalah laporan keuangan pada Kejaksaan Agung dapat dilihat dalam kaitannya dengan pelaksanaan sebagian kewenangan lembaga kejaksaan, misalnya saja antara lain:
Pertama, sistem pencatatan dan pelaporan barang rampasan belum memadai. Hal ini terbukti dari barang rampasan minimal sebesar Rp 11,08 miliar dan 365.155 unit barang rampasan belum dicatat dalam laporan keuangan. Hal ini menyebabkan penilaian dan pengungkapan barang rampasan dalam laporan keuangan 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya. Kedua, sistem pencatatan dan pelaporan denda korupsi dan uang pengganti belum memadai. Hal ini terbukti karena denda perkara korupsi minimal sebesar Rp 3,27 miliar belum dicatat dan terdapat perbedaan data piutang uang pengganti antara data pada JAM Pidsus dan dalam neraca, sehingga nilai piutang uang pengganti sebesar Rp 7,59 triliun dan pendapatan terkait denda perkara dalam laporan keuangan tidak dapat dinilai kewajarannya. Ketiga, pencatatan dan pelaporan denda perkara korupsi dan piutang uang pengganti pada Kejaksaan Agung RI sebesar Rp 7,59 triliun dinilai tidak tertib. Pada tipikor, pengadilan biasanya juga menetapkan hukuman tambahan berupa membayar uang pengganti kerugian negara dan Kejaksaan Agung sebagai pengelola uang denda perkara dan piutang uang pengganti ternyata tidak menyelenggarakan administrasi dengan tertib. Hal ini terlihat dari saldo awal per 1 Januari 2007 sebesar Rp 6,34 triliun, sedangkan pada akhir 31 Desember 2007 sebesar Rp 7,59 triliun, di mana terdapat selisih sebesar Rp 1,28 triliun yang berasal dari penambahan maupun pengurangan piutang uang pengganti yang tidak bisa dijelaskan oleh JAM Pidsus, JAM Datun, maupun Biro Keuangan.
Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Keuangan di atas tentu tidak dapat menjelaskan ada-tidaknya korupsi di KPK atau lembaga penegakan hukum lainnya. Tetapi laporan tersebut dapat mengindikasikan problem dan profil lembaga penegak hukum yang masih bermasalah dalam mengelola keuangannya sendiri yang notabene adalah uang negara atau tepatnya uang yang sebagian besarnya berasal dari hasil pajak yang dibayar rakyat. Berdasarkan laporan di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, lembaga penegakan hukum yang mendapat penilaian opini "tidak mendapatkan penilaian" sangat rentan dan potensial melakukan penyimpangan dalam mengelola keuangannya. Kedua, penyimpangan dimaksud dapat terjadi dalam konteks penggunaan keuangan yang tidak berkaitan langsung dengan kewenangannya sebagai lembaga penyidikan dan penuntutan tetapi juga dapat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut. Ketiga, lembaga penegakan hukum yang dinilai tidak dapat mengelola keuangannya dengan amanah, khususnya, dalam kaitannya dengan pelaksanaan kewenangannya sebagai institusi penyidikan dan penuntutan juga sangat potensial dituding dan/atau bahkan melakukan tindak pidana korupsi.
Uraian di atas juga dapat digunakan sebagai refleksi, lebih baik meminimalkan potensi dan fakta korupsi yang terjadi di masing-masing lembaga penegakan hukum, karena ternyata ada cukup banyak masalah yang dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan kewenangan atau tindak pidana korupsi. Tentu saja, bila ada indikasi kuat terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh suatu lembaga penegak hukum, bukan karena adanya "rivalitas" yang tidak sehat atau menutupi kejahatannya sendiri dengan menuding pihak lain berbuat kejahatan, hal tersebut perlu ditindaklanjuti.*
_____________________________
Bambang Widjojanto, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Advisor Partnership for Governance Reform
Sumber: Koran Tempo, Rabu, 22 Juli 2009