Koruptor, Kabur Lagi...Kabur Lagi...

Oleh: Emerson Yuntho

KEJAKSAAN Negeri Jakarta Selatan Selasa lalu (16/6) gagal mengeksekusi Djoko S. Tjandra, terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia dengan kerugian negara Rp 546 miliar. Eksekusi itu merupakan bagian dari pelaksanaan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang memvonis Djoko S. Tjandra dua tahun penjara.

Jika Djoko gagal dieksekusi dan dinyatakan buron oleh kejaksaan, fakta itu akan memperpanjang deretan koruptor Indonesia yang kabur atau melarikan diri. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), lima tahun terakhir terdapat 45 koruptor -dengan status tersangka, terdakwa dan terpidana- yang melarikan diri, baik ke luar maupun di dalam negeri.

Para koruptor yang kabur, antara lain, Samadikun Hartono, tersangka kasus BLBI di Bank Modern yang merugikan negara Rp 80 miliar. Terpidana yang lain Bambang Sutrisno, terkait kasus BLBI Bank Surya, merugikan negara sekitar Rp1,5 triliun. Oleh pengadilan, Bambang divonis penjara seumur hidup.

Demikian juga, Andrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI Bank Surya Rp1,5 triliun, divonis seumur hidup dan diduga kini berada di Australia. Daftar terpidana lain adalah Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi di BPUI yang merugikan negara USD 126 juta; Eddy Tansil, terkait kasus ekspor fiktif Rp 1,3 triliun; dan David Nusa Wijaya, terpidana kasus BLBI Bank Servitia Rp 1,3 triliun dan telah divonis di tingkat kasasi 8 tahun penjara.

Di antara sejumlah pelaku yang melarikan diri, hanya David Nusa Widjaya yang tertangkap. Hendra Raharja, terpidana seumur hidup BLBI Bank Modern, bahkan meninggal dunia dalam pelariannya di Australia. Selebihnya belum tertangkap dan bahkan masih leluasa menjalankan usahanya dari luar negeri.

Jika dicermati kembali, kaburnya Djoko S. Tjandra terjadi karena lambatnya MA menyerahkan salinan putusan dan lambatnya kejaksaan melaksanakan eksekusi. Berdasar pasal 170 KUHAP, intinya menyebutkan bahwa kejaksaan baru dapat melakukan eksekusi setelah menerima salinan putusan dari pengadilan. Artinya, meskipun telah divonis penjara oleh MA, jika salinan putusan kasasi belum diserahkan kepada jaksa sebagai eksekutor, terpidana belum dapat dijebloskan ke penjara.

MA menjatuhkan putusan peninjuan kembali pada 11 Juni 2009. Namun, eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan baru akan melaksanakan eksekusi pada 16 Juni 2009 atau enam hari kemudian. Adanya rentang waktu yang cukup lama itu jelas membuka peluang Djoko melarikan diri.

Sebelumnya, peristiwa itu juga terjadi pada terpidana David Nusa Wijaya yang divonis MA selama 8 tahun penjara pada 23 Juli 2003. Namun, hingga setahun lebih, salinan putusannya belum juga diserahkan kepada kejaksaan.

Demikian halnya dengan Sujiono Timan, terdakwa korupsi BPUI Rp 2 miliar yang divonis 15 tahun penjara oleh MA. Petikan putusannya baru diserahkan ke kejaksaan seminggu setelahnya. Lambatnya proses tersebut justru menjadi peluang David dan Sujiono Timan melarikan diri ke luar negeri.

Tidak dimungkiri pula, terdapat indikasi adanya upaya kesengajaan dari pihak-pihak tertentu untuk memberikan kesempatan kepada koruptor melarikan dengan cara sengaja mengulur-ulur atau menghambat salinan putusan ke pengadilan negeri tempat terpidana kali pertama disidangkan yang selanjutkan diserahkan kepada kejaksaan negeri untuk di eksekusi.

Masalah lain juga muncul akibat buruknya koordinasi di antara penegak hukum dan imigrasi. Ketika koruptor kabur, sering antara pihak pengadilan, kejaksaan, dan imigrasi akan saling menyalahkan.

Indonesia bukanlah negara pertama yang mengalami masalah koruptor melarikan diri. Tiongkok dan Peru jauh sebelumnya juga memiliki masalah serupa. Surat kabar Legal Daily dalam tajuk rencananya di halaman depan, sebagaimana dikutip kantor berita AFP akhir 2004, menulis ada sekitar 4.000 pejabat Tiongkok yang melarikan diri ke luar negeri.

Begitu pula Peru yang pada 2003 dalam kasus Alberto Fujimori, mantan presiden Peru keturunan Jepang yang diduga melakukan sejumlah kasus korupsi selama menjabat sebagai orang pertama di Peru. Alberto Fujimori bahkan telah berganti kewarganegaraan Jepang sehingga upaya mengadili dia di Pengadilan Peru pada akhirnya kandas.

Untuk menghindari kejadian serupa pada masa mendatang, terdapat beberapa hal penting yang harus dilakukan. Pertama, sebagai langkah antisipatif, pelaku korupsi sudah selayaknya dicekal sejak berstatus sebagai tersangka. Perlu ada upaya mencegah pelaku melarikan diri sejak penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kedua, perlu penelusuran dan penyitaan harta kekayaan koruptor. Hal itu menjadi penting untuk menghindari pelaku mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak ketiga maupun membawa kabur ke luar negeri.

Dengan cara tersebut, kewajiban koruptor membayar uang pengganti senilai uang yang dikorupsi dapat segera dilaksanakan. Meskipun koruptor kabur, harta kekayaaannya dapat disita dan dilelang untuk negara.

Ketiga, koordinasi antaraparat penegak hukum perlu diperbaiki kembali. Seharusnya pada saat pengadilan menjatuhkan vonis bagi pelaku korupsi, pada hari itu juga salinan putusan disampaikan kepada kejaksaan. Selanjutnya, kejaksaan segera mengeksekusi terpidana sekaligus berkoordinasi dengan pihak imigrasi untuk mencekal pelaku ke luar negeri.

Keempat, selain pembenahan administrasi, MA dan kejaksaan harus juga memeriksa dan memproses secara hukum terhadap pihak-pihak yang diduga memperlambat penyelesaian dan pengiriman salinan putusan atau bahkan membocorkan putusan kepada koruptor sehingga mengakibatkan pelaku melarikan diri.

Tanpa adanya perbaikan dan langkah yang extra ordinary, dapat dipastikan pada masa mendatang peristiwa koruptor yang kabur akan kembali terjadi. (*)

Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW, Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 18 Juni 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts