Oleh: Airlangga Pribadi
Bukan hal lazim menganalisis dampak privatisasi atas demokrasi. Selama ini demokrasi hanya dimaknai sebatas bebas memilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak dan memahami privatisasi sebagai proses yang semata-mata di arena ekonomi dan tidak berimplikasi politik.
Namun, persepsi akan berubah apabila pemahaman kita akan demokrasi diperluas lebih dari sekadar mekanisme politik untuk memilih pemimpin. Dalam demokrasi, ketika pemerintahan demokratis mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu, hal tersebut mensyaratkan komitmen negara untuk bekerja mengelola barang-barang publik demi memajukan kesejahteraan bersama (commonwealth).
Di tengah hiruk-pikuk arena politik Indonesia dengan berbagai tarikan transaksi kepentingan para elite politik, kita lupa mendiskusikan bagaimana isu ekonomi-politik penting yang sangat menentukan nasib republik, yaitu proses privatisasi badan usaha milik negara (BUMN).
Kebijakan privatisasi bergulir ketika pemerintah memprivatisasi PT Krakatau Steel, salah satu BUMN strategis penopang industri nasional yang telah berusia 40 tahun. Kebijakan privatisasi terhadap salah satu penopang industri strategis ini akan menjadi pintu pembuka kebijakan perluasan privatisasi, setidaknya pada 11 BUMN yang bergerak dalam bidang perkebunan dan konstruksi pada tahun 2011.
Diskusi utama terkait isu privatisasi pertama-tama berjalan di seputar persoalan efisiensi dan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) antara perusahaan privat dan perusahaan negara. Bagi pendukung liberalisme pasar bebas, proses privatisasi BUMN berdampak pada pemangkasan inefisiensi dan pembersihan praktik-praktik koruptif dalam manajemen perusahaan dengan mengubah perusahaan negara menjadi perusahaan privat.
Sebaliknya, bagi kalangan yang berpijak pada nasionalisme ekonomi, tesis pendukung liberalisme pasar bebas tidaklah kuat. Di negara-negara seperti China, India, dan Singapura, kemajuan ekonomi mereka ditopang oleh BUMN yang mampu membangun daya saing berhadapan dengan perusahaan-perusahaan swasta. Integrasi ke dalam proses globalisasi ekonomi tidak harus disertai gelombang privatisasi masif terhadap perusahaan-perusahaan negara.
Dua Gagasan Demokrasi
Melalui tulisan ini, saya bermaksud membahas proses privatisasi dalam perspektif demokrasi. Mengapa privatisasi penting diurai dalam perspektif demokrasi mengingat tema ini terkait langsung dengan dua cara pandang terhadap demokrasi.
Yaitu antara kaum demokrat propasar bebas (free market democracy) dan kaum demokrat republikan. Yang propasar bebas memaknai kebebasan sebagai bebas dari intervensi negara, terutama dalam wilayah ekonomi. Kaum republikan menekankan demokrasi pada aspek kedaulatan rakyat beserta komitmen negara untuk memberikan kesejahteraan bersama (commonwealth) dengan mengelola barang publik (public goods).
Bagi penganut demokrasi pasar bebas, proses privatisasi menjadi penting. Melalui privatisasi, kebebasan sektor privat beraktivitas dalam ranah ekonomi tanpa intervensi negara menjadi terjamin. Aktualisasi kebebasan sebagai bebas dari intervensi otoritas politik (negative liberty) di ranah ekonomi hadir melalui praktik privatisasi BUMN.
Menurut perspektif itu, wilayah ekonomi adalah sesuatu yang tidak boleh diintervensi oleh otoritas politik. Ini yang diwujudkan dengan praktik privatisasi BUMN. Proses privatisasi perusahaan-perusahaan negara, selain membuat perusahaan menjadi lebih fleksibel, juga memangkas intervensi negara dan memajukan kebebasan ekonomi dari setiap individu.
Bagi kaum demokrat-republikan, privatisasi BUMN dimaknai dari sudut pandang berbeda. Kaum demokrat-republikan memaknai politik sebagai ruang tempat berseminya cita-cita merumuskan solidaritas sosial-politik yang melayani kepentingan umum dan mengintegrasikan komitmen kebersamaan dalam kehidupan bernegara. Menurut kaum republikan, kebebasan dalam demokrasi lebih dimaknai sebagai perjuangan agar tidak ada praktik dominasi dari kekuatan privat atau kelompok kecil tertentu terhadap warga negara.
Dalam perspektif ini, privatisasi BUMN bukanlah wujud perluasan kemerdekaan ekonomi apabila mereduksi kesempatan negara memajukan kepentingan publik (public interest) melalui maksimalisasi pengelolaan sektor ekonomi strategis dan mendistribusikannya bagi peningkatan kualitas hidup warganya.
Aktivitas ekonomi menjadi ancaman bagi perjuangan demokrasi sebagai tatanan antidominasi, saat privatisasi memperluas dominasi kekuatan privat atas kepentingan publik dan meminggirkan keuntungan sosial-ekonomi warga dalam kerangka kolektivitas yang dikelola negara.
Untuk menimbang secara adil imbas privatisasi terhadap kehidupan demokrasi, penting kiranya memahami definisi privatisasi. Si Kahn dan Elizabeth Minnich (2005;4) dalam The Fox in The Henhouse: How Privatization Threatens Democracy menyebutkan definisi privatisasi sebagai tindakan menguntungkan secara ekonomi kekuatan privat dengan mengurangi, membatasi, dan mengecilkan kepentingan publik melalui cara akuisisi sektor strategis yang dimiliki negara dan dikelola untuk kepentingan bersama. Definisi ini memperjelas bagaimana praktik privatisasi yang kini masif dilakukan pemerintah dapat memperluas dominasi sektor privat atas sektor publik.
Layanan Publik Berkurang
Ketika kebijakan privatisasi berlangsung pada sektor-sektor ekonomi strategis yang menguntungkan publik seperti PT Krakatau Steel, keuntungan yang sebelumnya diperoleh oleh negara dan didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik akan berkurang drastis.
Warga negara secara kolektif hanya akan memperoleh sebagian kecil dari keuntungan yang didapat melalui pajak yang dibayar korporasi, sementara sekelompok kecil aktor-aktor privat menikmati keuntungan terbesar. Maka imbasnya, pemerintah akan terjebak pada beban jangka panjang karena membiayai kepentingan publik dengan utang luar negeri.
Oleh karena itu, semua bergantung pada pandangan kita tentang demokrasi. Apakah kita memaknai demokrasi sebagai kebebasan setiap orang untuk mengejar kepentingan personal tanpa batasan oleh otoritas politik? Ataukah kita bersetia dengan pandangan demokrasi sebagai pertanggungjawaban negara yang mendapatkan mandat memerintah dari rakyat untuk memajukan kepentingan publik seperti harapan para pendiri republik dan tertoreh dengan tinta emas dalam lembaran konstitusi kita. Bagi pendiri Republik, seperti Muhammad Hatta (1956), demokrasi politik sendiri tak dapat menciptakan kesetaraan dan persaudaraan. Demokrasi politik harus bergandengan tangan dengan demokrasi ekonomi, suatu demokrasi sosial yang mencakup semua fase kehidupan.
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator Serikat Dosen Progresif
Sumber: kompas, Senin, 7 Februari 2011