Oleh: R Siti Zuhro
Tahun 2010 anggota DPR pernah dibuat geger oleh ulah nekat aktor senior Pong Harjatmo. Bak pendeta yang berkhotbah di atas bukit, ia menorehkan “jujur, adil, dan tegas” di atap Gedung DPR/MPR.
Tindakan itu jelas tak dimaksud untuk cari popularitas atau sensasi murahan, tetapi sebagai ekspresi kegeraman kepada wakil rakyat di lembaga legislatif yang ia nilai tidak amanah. Selama ini DPR ia lihat tak mampu menjalankan fungsi legislasi serta fungsi anggaran yang adil dan berpihak kepada rakyat. DPR juga tak jujur dan tegas melakukan pengawasan.
Dengan cara berbeda, belum lama ini sejumlah tokoh agama mengungkapkan kegeraman yang sama kepada penyelenggara negara yang mereka tuding telah membohongi publik. Bagi tokohtokoh agama itu, penggunaan ungkapan yang agak sarkastis diperlukan ketika eufemisme sudah kehilangan roh dan itu dipandang perlu sebagai terapi bagi telinga penyelenggara negara yang mereka nilai sudah tuli.
Kegeraman Pong dan tokoh agama sesungguhnya mewakili kegeraman rakyat terhadap DPR dan politikus. Sejak era reformasi dimulai, nyaris tiada hari tanpa protes dan demonstrasi yang merupakan perlawanan rakyat. Era yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa itu tak kunjung menyejahterakan rakyat.
Satu hal yang acap tak bisa dicerna akal sehat adalah kelucuan di negeri ini. Di negeri bertanah subur dan kaya sumber daya alam, penganggur dan orang miskin masih saja melimpah. Saban tersua berita penderitaan rakyat. Tak sedikit kasus bunuh diri karena kesulitan ekonomi. Sialnya, ketika kelimpungan menghadapi harga pangan yang terus melonjak, rakyat justru disuguhi sinetron Gayus Tambunan dan mafia pajak, rencana membangun gedung mewah DPR, dan polemik tentang gaji presiden.
Tak mampu dengan baik dan efektif memainkan bola kedaulatan rakyat, anggota DPR malah lebih banyak memperlihatkan politik celingak-celinguk yang membingungkan rakyat. Tabiat politiknya seperti orang tengok kiri dan kanan menghitung-hitung kepentingan politik pribadi saban muncul isu politik di DPR.
Lebih Keras Lagi
Gejala ini jelas terlihat dengan mundurnya PKB dan PAN mengikuti Partai Demokrat mengenai hak angket pajak. Bila perilaku seperti ini terus berlanjut, bukan tak mungkin timbul perlawanan rakyat yang lebih keras lagi di tahun ini.
Tahun 2011 boleh disebut sebagai tahun politik karena DPR pada tahun ini akan menyelesaikan paket UU Politik dan UU Otonomi Daerah (RUU Pilkada, Revisi UU 32 Tahun 2004, RUU Desa, dan RUU Keistimewaan DIY).
Perilaku politik celingak-celinguk yang membingungkan rakyat juga jelas tecermin dalam ketiga fungsi DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi yang dilakukan DPR sejauh ini ditengarai sarat kepentingan partai, elite, dan pemilik modal.
Banyak undang-undang yang dihasilkan DPR dinilai tak berpihak kepada kepentingan rakyat. Rancangan revisi UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sedang diproses DPR dan pemerintah mendapat penolakan buruh karena dinilai semakin berpihak kepada pemilik modal ketimbang buruh.
Demikian juga dengan UU Badan Hukum Pendidikan: akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 karena tak selaras dengan UUD 1945. Sepanjang tahun 2010, DPR hanya mampu menyelesaikan tujuh dari 70 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional. Hal serupa terkait dengan fungsi pembuatan anggaran. Fungsi anggaran dinilai makin berbau neoliberal dan tak mencerminkan urgensi program untuk rakyat.
Pada tahun 2010, ketika DPR berbicara tentang pentingnya dana aspirasi anggota DPR dan pembangunan gedung baru DPR, belanja subsidi untuk rakyat justru berkurang: subsidi nonenergi berkurang Rp 6,8 triliun, pangan Rp 1,5 triliun, pupuk Rp 3,7 triliun, benih Rp 56 miliar, obat generik Rp 350 miliar, dan belanja bantuan sosial yang di dalamnya terdapat dana bantuan operasional sekolah dan jaminan kesehatan masyarakat berkurang Rp 8,3 triliun.
Dalam fungsi pengawasan, DPR terjebak ke dalam konflik kepentingan antarelite partai dan kemudian mengabaikan fungsi pengawasan yang harus dilakukan. Belakangan ini penggunaan hak angket menjadi mainan baru anggota Dewan. Di situ terlihat ada upaya saling mengunci, saling menyandera, dan saling melakukan politik mengagak-agaki kepada lawan.
Pemberantasan korupsi menjadi ikon kosong yang juntrungannya tak jelas. Rakyat cuma bisa bertanya, “Mau dikemanakan kasus Bank Century dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan?” Bagi rakyat, “siapa bermain untuk apa dan apa yang dimainkan untuk siapa” merupakan misteri. Demikian pula dengan hak angket mafia pajak. Apa targetnya, siapa yang dibidik, dan bagaimana hasil akhirnya sangat tidak jelas.
Sekilas dinamika politik DPR tampak semarak, tetapi cenderung gaduh. Hiruk-pikuk politik di DPR bisa jadi akan berkembang jadi tak menentu dan membuat politik makin keruh. Celakanya, DPR bisa dicap sebagai pendorong utama bagi memanasnya politik di Indonesia. Ulah sejumlah anggota DPR terkesan hanya sekadar untuk memberi warna bahwa para anggota Dewan seolah-olah sudah menunjukkan kinerja politik demi kepentingan rakyat yang memilihnya.
Menyudahi Dramaturgi
Rakyat sangat berharap agar anggota DPR dapat menyudahi dramaturgi yang mengecewakan. Pernyataan keras tentang pembohongan publik yang dideklarasikan tokoh agama tidak saja menjadi peringatan kepada lembaga eksekutif, tetapi juga lembaga legislatif dan yudikatif.
Karena tak satu pun ingin tragedi berdarah 1965/1966 dan 1998 terulang, DPR harus bisa menunjukkan komitmen dan konsistensinya dalam menjalankan tugas pokok fungsinya (legislasi, pengawasan, dan anggaran). DPR harus memberi kepastian politik kepada rakyat bahwa mereka telah melaksanakan mekanisme saling imbang saling kontrol secara maksimal kepada pemerintah.
Energi parlemen semestinya difokuskan untuk meningkatkan kualitasnya melaksanakan fungsinya. Bukan semata-mata untuk merekayasa politik demi kepentingan sempit yang berlatar motif tertentu. Gonjang-ganjing di DPR selama ini berpangkal dari ketidakjujuran, ketidakadilan, dan ketidaktegasan DPR dalam melaksanakan fungsi utamanya itu. Energi DPR lebih terfokus pada kepentingan berdurasi jangka pendek belaka.
Oleh karena itu, politik celingak-celinguk antara partai dan partai di parlemen harus segera dihentikan. Politik celingak-celinguk hanya mereduksi parlemen serta membuat DPR dan pemerintah saling menyandera.
Terlalu mahal ongkos sosialnya bila kesabaran rakyat telanjur hilang dan menorehkan kembali darahnya demi meluruskan cita-cita para pendiri bangsa dan negara ini.
R Siti Zuhro, Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Februari 2011