Adat dan budaya Minang ke depan dalam tantangan dan bahaya. Sebab, banyak generasi muda sebagai generasi pelanjut dewasa ini kurang mengenal, bahkan tak kenal lagi dengan adat dan budayanya. Budaya Minang dianggap tak lebih hebat dari budaya suku bangsa lain. Padahal, kalau mereka selami, adat dan budaya Minang bisa menjadi perisai diri dan sekaligus perisai agama. Makanya filosofi hidup orang Minang berbunyi adat basandi Syara‘, Syara‘ basandi Kitabullah.
Kerisauan itu dikemukakan Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, kepada Kompas di Padang. "Betul, etnis Minang suku yang paling cepat berubah karena filosofinya antara lain di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Namun, adat dan budaya Minang jangan diabaikan, apalagi dilupakan. Karena benteng diri dan benteng agama," katanya.
Ia menjelaskan, kerisauan yang kini semakin mencemaskan itu, tatkala, misalnya, melihat perilaku generasi muda kini yang begitu longgar, misalnya, memakai pakaian ketat dan tampak pusar, tidak bisa berbahasa Minang. Ada pula yang berpandangan, dan seolah itu suatu kebenaran, bahwa perempuan Minang cenderung berselingkuh, kebebasan seksual yang luas, dan promiskuitas. "Ini sudah tidak benar lagi dan perlu diluruskan. Adat Minang adalah adat islami dengan filosofi adat basandi Syara‘, Syara‘ basandi Kitabullah. Bahkan, untuk membentengi diri dari perbuatan yang keji itu, maka dalam norma adat dan budaya Minang ada yang dinamakan Sumbang 12, seperti sumbang duduk, sumbang tegak, sumbang tanya, sumbang jawab, sumbang berpakaian, dan sumbang diam," ujarnya menambahkan.
Apa maksudnya sumbang duduk? Sumbang duduk artinya bila seorang perempuan Minang duduk, harus merapatkan lutut. "Supaya bareh jan taserak (beras jangan terserak) di bawah," katanya dengan bahasa kias. Hanya saja, kata Datuk Simulie, kini kondisinya mulai merisaukan karena adanya "serangan gencar" dari luar sebagai dampak globalisasi. Ini diperparah lagi karena ajaran adat tak lagi diajarkan dan dipraktikkan oleh para orangtua. Sebenarnya, menurut Datuk P Simulie, dengan kembali ke sistem pemerintahan nagari di Sumbar, diharapkan ada perubahan, setidak-tidaknya pemahaman adat dan budaya itu. Namun, dalam praktiknya hidup bernagari belum berubah, kecuali yang berubah itu sistem pemerintahan nagarinya. (NAL)
Sumber : Kompas