Dick van der Meij sontak tertawa terkekeh-kekeh. Tangannya menunjuk-nunjuk sepasang patung yang menggambarkan sosok tentara Romawi lengkap beserta pakaian kebesaran mereka dengan tameng, senjata, dan sirip di kepala yang dipajang di satu sudut ruang pengambilan bagasi Bandara Hang Nadim, Batam.
Bersama Rahayu Supanggah (seniman asal Solo berkelas dunia), Pudentia (Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, ATL), dan Mukhlis PaEni (Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial), sore itu Dick baru saja tiba dari Jakarta untuk melanjutkan perjalanan ke jantung Melayu di Pulau Bintan. Keinginan Dick untuk bisa secepatnya menikmati suasana Melayu yang sebenar-benarnya Melayu di Kepulauan Riau langsung sirna. Singgah di Batam, ia malah disambut sosok pencitraan yang justru menggambarkan kebesaran imperium para leluhur-nya dari daratan Eropa.
Di balik tawa tergerai itu, sebagai antropolog yang mendalami naskah-naskah Melayu-Islam, Dick sesungguhnya tengah menertawai orang-orang Melayu. Nadim memang sudah jadi nama bandara di Batam, keperkasaan Tuah telah melegenda, dan kepahlawanan Jebat tetap tak tergoyahkan meski harus mati di ujung keris Tuah; teman sepermainannya sejak kecil. Sementara lewat naskah-naskah lama, kebesaran Riau-Lingga dan Siak-Indragiri pun masih terekam di dalam ingatan. Begitupun sosok Raja Ali Haji dengan Tuhfat al-Nafis dan Gurindam Dua Belas-nya.
Akan tetapi, itu semua adalah romantisme masa lampau yang cuma ada dalam bayang-bayang masa kini pada sebagian kecil orang-orang Melayu. Selebihnya? Dunia kapitalisme dengan segala pernak-pernik yang menyertainya sudah merampas kenangan akan kebesaran itu. Bahkan, pekik Tuah yang begitu terkenal, Tak kan Melayu hilang di Bumi, kini sudah tidak punya gaung lagi dalam etos keseharian orang-orang Melayu hari ini.
Harga sebuah perubahan
Tentu saja para pembela dan pengusung marwah Melayu seperti sastrawan Taufik Ikram Jamil dan Hoesnizar Hood (sekadar menyebut sedikit nama) tak usah terlalu masygul dengan kenyataan kian meredupnya nilai-nilai kemelayuan itu. Selalu ada semacam apologi yang bisa didedahkan. Taruhlah seperti pengalaman Dick yang berjumpa ‘leluhur‘-nya dalam wujud sosok tentara Romawi Kuno tadi, oleh Mukhlis PaEni ditanggapi dengan menyodorkan cerita legenda tentang cikal bakal raja-raja Melayu yang disebut-sebut berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Meski kisah tentang asal usul raja-raja Melayu tersebut benar-benar tercatat dalam kitab Sejarah Melayu, namun tak berarti Mukhlis PaEni --yang meraih doktor di bidang ilmu sejarah dengan disertasi tentang penyerbuan Belanda ke Tanah Gayo dalam Perang Atjeh-- mengamininya. Tidak! Bahkan kisah tentang asal-usul raja-raja Melayu itu terkesan ia sampaikan dalam nada satiris.
Jadi, Dick, kamu tak perlu heran kalau ada yang merepresentasikan orang Melayu seperti tentara Romawi itu. Sebab, menurut silsilahnya, raja- raja Melayu itu kan keturunan Iskandar Zulkarnain, kata Mukhlis.
Ucapan Mukhlis itu kontan disambut Dick van der Meij dengan gelak tawa. Apalagi sebelumnya Mukhlis menginformasikan, setiba di Batam mereka akan dijemput petugas dari dinas pariwisata setempat yang berpakaian adat-resam Melayu.
Memang, sesungguhnya tak begitu penting menelusuri kebenaran atau ketidakbenaran cerita semacam itu. Bukankah dalam masyarakat kita --termasuk di tanah Melayu-- legenda, mitos, dan sejenisnya memang kerap membaurkan fakta dengan hal-hal yang berbau mitologis.
Apalagi dalam konteks Melayu saat ini, di mana praksis kehidupan bermasyarakat lebih didominasi oleh kecenderungan pragmatisme, asal usul tentang kejadian bukan lagi topik utama yang jadi pokok perbincangan. Hal-hal yang berbau ideologis pun dalam beberapa dekade terakhir sudah dipinggirkan. Lebih-lebih sejak wilayah ini ditasbihkan sebagai kawasan segitiga pertumbuhan: Singapura-Johor-Riau! Maka, lengkap sudah perubahan-perubahan itu.
Bahkan sejak Batam dijadikan wilayah eksklusif dalam hal investasi dan perdagangan, sejarah tentang masa lalu kawasan ini seperti tak lagi penting. Seiring perubahan Batam yang menjadi surga bagi industri-bisnis dan pelancongan, nilai-nilai yang berkembang pun mengalami pergeseran.
Melayu sebagai entitas budaya, yang kerap diidentikkan dengan nilai-nilai keislaman, juga ikut tergerus. Pemandangan budak-budak Melayu pergi mengaji ke surau-surau selepas maghrib hingga isya, kini sudah kalah bersaing dengan gemerlap kehidupan malam di kawasan Nagoya misalnya.
Apa boleh buat. Pembangunan yang menandai kemajuan fisik kawasan ini senyatanya telah mengubah wajah kemelayuan yang mereka sandang. Akan tetapi, sebesar itukah harga yang harus dibayar oleh apa yang disebut modernisme dan modernitas? Sebegitu mahalkah?
Orang Melayu sebetulnya punya jawabnya. Pandai-pandailah menitih buih!, begitu kata bidal Melayu. Atau, dalam bahasa yang amat memelas melihat perkembangan di kawasan ini, penyair Ediruslan Pe Amanriza (alm) pernah berucap: “datang ke Batam harus tanpa amarah dan marwah, saat melihat apek-apek dari Singapura menggandeng cewek kiri kanan.”
Masih dalam kerangka meredam kemasygulan itu, seniman Zuarman pada Kenduri Seni Melayu beberapa tahun lampau sampai-sampai melantunkan kalimat: Tak kumimpikan Melayu hilang di Batam. Nagoya dan Jodoh hanya menjadi tempat belanja lontong (baca: pelacur). Perlu diketahui, Nagoya dan Jodoh adalah nama kawasan bisnis dan pelesiran terkenal di Batam.
Belum lagi bila menyaksikan kawasan Logoi di utara Pulau Bintan, pulau terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai bagian dari realisasi segitiga pertumbuhan, Pulau Bintan malah harus kehilangan kedaulatan pada sebagian wilayahnya. Lewat SK Presiden, tahun 1991, tanah seluas lebih dari 19.000 hektar di Kecamatan Bintan Utara dijadikan kawasan terpadu, yang pengelolaannya diserahkan kepada Singapura untuk jangka waktu 80 tahun!
Setelah 15 tahun berlalu, kawasan itu kini telah menjadi wilayah tertutup bagi mereka yang tak berkepentingan. Setiap jalan masuk menuju kawasan bernama Bintan Resort dengan 11 hotel yang sudah berdiri di sana dijaga sangat ketat dan berlapis. Oleh pihak keamanan di tiap gerbang masuk, tamu-tamu berwajah Melayu ditanyai dengan tatapan penuh curiga.
Masih untung kita tidak diminta menunjukkan paspor Indonesia, ujar seorang rekan yang sudah telanjur bikin janji bertemu dengan salah satu pengelola hotel di sana.
Apalagi mereka punya pelabuhan khusus. Tanpa harus melalui pelabuhan fery yang dikelola Pemerintah Indonesia, wisatawan dari Singapura bisa langsung ke Bandar Bentan Telani di kawasan ini dengan jarak tempuh sekitar 55 menit. Di sini, kecuali alam dan lingkungannya, atmosfer Melayu yang sebenar-benarnya Melayu sudah menguap entah ke mana.
Setiap tahun sekitar 300.000 wisatawan dari Singapura datang lewat pelabuhan ini, kata Marc R Thalmann, Direktur PT Mutiara Bintan Discovery.
Membaca Melayu
Kenyataan-kenyataan semacam itu bukan tak dibaca oleh para pengusung dan penjaga budaya Melayu seperti Hoesnizar Hood. Sebagai anak muda yang sangat peduli pada jati diri dan kemelayuan orang Melayu, Hoesnizar bahkan melancarkan otokritik terhadap orang-orang Melayu itu sendiri.
Dalam rubrik Temberang di harian lokal yang terbit di Batam, ia menulis bahwa tudingan yang menyebutkan orang Melayu cuma pandai bercerita memang itulah adanya. Betullah itu, katanya ketika jumpa-sua dengan penulis di Tanjung Pinang, beberapa waktu lalu.
Orang Melayu tu memang cuma pandai bercerita. Bukankah yang menjadi petinggi (di Kepulauan Riau) hari ini entah siapa, yang duduk di Dewan jumlahnya hanya seberapa, yang menjadi pejabat pun tak jelas kemelayuannya. Dan yang benar-benar Melayu diam-diam menyembunyikan identitasnya.
Begitulah hasil bacaan Hoesnizar terhadap kehidupan orang-orang Melayu hari ini. Meski mengaku galau, namun ia masih bisa berseloroh lewat permainan kata sebuah bidal yang diplesetkan. Katanya, Sudah gaharu cendana pula, sudah Melayu merana pula! (ken)
Source : http://www.kompas.com