Oleh: I Gusti Raka Panji Tisna
I. Bali dalam Dua Dunia
Bali kini adalah Bali yang hidup dalam dua dunia. Dua dunia yang sangat berbeda, saling tarik-menarik, memperebutkan ruang-ruang nyata alam Bali maupun ruang-ruang kejiwaan manusia Bali. Dunia yang satu adalah dunia tradisional agraris yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka ragam ekspresi budayanya; dan dunia yang lain adalah dunia modern peradaban Barat yang datang ke Bali sebagai konsekuensi dari eksplorasi dan eksploitasi (penjajahan) dunia Barat (Belanda) di awal abad ke-17, yang memperkenalkan Bali kepada perdagangan (kapitalisme) dunia berikut konsumerismenya yang kian mengglobal.
Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dilakoni oleh orang Bali, hampir di setiap waktu, dan kerap melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (profan, hiburan). Sedang kehadiran dunia modern dapat dilihat dari berubahnya desa-desa agraris menjadi kota-kota dan kawasan-kawasan wisata, seperti Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud, yang terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali yang kian gandrung dengan produk-produk modern, seperti mobil, sepeda motor, dan barang-barang elektronik. Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus, sementara dunia modern berusaha merebut karena memang seperti itulah sifat kapitalisme dan konsumerisme. Orang Bali hidup dan bergulat di antara dua dunia ini, serta berusaha mengkompromikan dua dunia yang saling bertentangan ini.
Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini: nenek moyang dari Cina Selatan sekitar 4000 tahun lalu dan budaya Hindu-Buda baik langsung dari India maupun melalui Jawa—dengan skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-Buda di Jawa ke Bali sejak awal abad ke-9. Sistem dan tatanan kehidupan inti, seperti desa adat dengan Banjar-nya yang diperkuat konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga (Sanggah/Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak, diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11, yang hingga kini tetap kuat keberadaannya meskipun di kota. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat, Banjar, dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali (Lihat Pitana, 2002). Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, sosial, dan spiritual. Konsepsi ini secara umum dikenal dengan Tri Hita Karana.
Dunia modern (Barat) masuk ke Bali sejak awal abad ke-17 dengan berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca: Belanda) ke daerah Nusantara dengan motif komersial; mencari dan memperdagangkan rempah-rempah. Para pelaut dan saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali, kemudian melakukan perdagangan dengan raja-raja di Bali. Perburuan rempah-rempah yang terus berlanjut menjadi alasan penjajahan Belanda di Nusantara. Di awal tahun 1990-an, Bali dengan keunikan kebudayaannya mulai dikemas oleh Belanda untuk dijual sebagai produk wisata. Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni oleh segelintir elite Barat (Eropa, Amerika) untuk melihat dan menikmati pulau tropis nan indah dengan budayanya yang kaya dan unik (eksotis), kini menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai belahan bumi dalam jumlah yang melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang ke Bali untuk tujuan yang sama, menikmati kebudayaan Bali, walau tidak sedikit juga yang datang sekedar untuk melepas kejenuhan rutinitas kehidupan mereka yang intens dan untuk kepentingan usaha meraup keuntungan dan malah menetap di Bali. Hasil dari beberapa penelitian dan survei memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Lihat Ardika, 2004: 23).
II. Perkembangan Pariwisata Budaya Bali
Usaha-usaha Belanda untuk menguasai Bali memang selalu mendapat perlawanan sengit. Belanda hanya mampu menguasai Bali secara keseluruhan pada tahun 1908 melalui penaklukan kejam yang dikecam luas di Eropa. Untuk memperbaiki citra, Belanda bergegas membuat kebijakan–kebijakan untuk melindungi dan menjaga Bali agar tetap ”tradisional”. Bali dipelajari dan dituliskan secara rinci dan sistematik oleh sarjana-sarjana Belanda. Sebuah kebijakan, yang menurut Adrian Vickers, sarjana Australia, dalam bukunya Bali: A Paradise Created, hanya bermaksud untuk bisa menjual Bali sebagai produk pariwisata.
Tidak lama berselang, tahun 1914, Maskapai Pelayaran Belanda (KPM) sudah menerbitkan brosur wisata tentang Bali sebagai ”pulau yang mempesona”, ”pulau pura dan puri”, ”pulau dewata”, dan ”tempat wanita bertelanjang dada”. Mulai tahun itu, KPM secara kontinyu membawa segelintir turis elite ke Bali. Pada tahun 1925, KPM membangun Bali Hotel di Denpasar—hotel pertama di Bali. Di antara turis-turis elite tersebut, ada seniman, antropolog, maupun penulis, yang pada tahun 1930-an dengan tulisan dan interpretasinya mulai mengentalkan citra Bali di mata dunia sebagai pulau surga. Citra yang tetap melekat hingga sekarang.
Beberapa sarjana berpendapat bahwa orang Bali mulai mendefinisikan kebudayaan mereka berdasarkan definisi yang digariskan oleh orang-orang luar tersebut. Orang Bali mematut-matut diri (melakukan apropriasi) dan mengukuhkan diri untuk senantiasa tampil tradisional; melakukan simulacra atau sandiwara tradisionalisasi (Lihat Kurnianingsih, 2002; Ruastiti, 2005). Dalam usaha menjaga agar tetap tradisional, melalui Perda Nomor 3 tahun 1974 (direvisi menjadi Nomor 3 tahun 1991), Pemerintah Daerah Bali pun mencanangkan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah “pariwisata budaya”. Dalam perkembangan dan pengembangannya, pariwisata menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan (Ardika, 2004:21).
Setelah zaman kemerdekaan Indonesia, usaha untuk secara maksimal mengembangkan Bali sebagai daerah tujuan wisata menjadi agenda penting pemerintahan Presiden Soekarno; terlebih-lebih pada pemerintahan Presiden Soeharto, dan berlanjut hingga sekarang. Pembangunan hotel mewah Bali Beach Hotel oleh Soekarno dan pengembangan kompleks pariwisata mewah Nusa Dua oleh Soeharto dengan master plan tahun 1971 oleh sebuah perusahaan prancis, SCETO, yang ditindaklanjuti dengan pembangunan 12 hotel mewah beserta sarana pendukung lainnya, adalah contoh-contoh awal usaha-usaha tersebut (Rai, 2003). Pemodal besar terus menanamkan modalnya dalam menciptakan boom pariwisata tahun 1980-an; pariwisata budaya yang massal terus berlanjut hingga sekarang. Bom Bali 2002 sempat membuat pariwisata Bali kelimpungan, namun perlahan-lahan pulih.
III. Dilema Pariwisata Bali
Dilema pariwisata terhadap kelangsungan hidup alam dan budaya Bali sudah dikhawatirkan oleh para sarjana sejak tahun 1930-an.
Selama ini, pariwisata Bali berkonotasi dengan intervensi pihak luar: di zaman kolonial oleh pihak Belanda dan segelintir orang asing lainnya, dan di zaman kemerdekaan oleh pihak pemerintah pusat (dibantu oleh sejumlah birokrat lokal) bersama para pemodal besar luar Bali. Penduduk lokal beserta budayanya dipandang sebagai obyek atau komoditas semata: penyedia atraksi budaya—menjadi tontonan—dan penyedia pelayanan. Perencanaan dan pengelolaan tidak menjadi porsi keterlibatan lokal. Sampai sekarang pun, pola-pola ini tetap berjalan. Contoh paling mutakhir adalah pembabatan daerah kawasan hutan lindung di daerah Bedugul untuk hotel yang mengantongi ijin dari Jakarta tanpa sepengetahuan orang lokal; juga rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang dicurigai sebagai bagian dari skenario penguasaan lahan luas untuk pengembangan resort walau jelas-jelas mendapat penolakan luas dari masyarakat.
Tidak dimungkiri bahwa hingga saat ini pariwisata membawa berkah ekonomi kepada Bali, walau tidak merata, karena ada sekelompok kecil orang lokal yang mendapat porsi yang besar. Namun secara umum, karena efek multiplier, terjadi peningkatan pendapatan per kapita atau peningkatan daya beli masyarakat. Masuknya pemodal besar berpengaruh pada meningkatnya jumlah dan kualitas sarana pariwisata serta sarana pendukung termasuk perbaikan jalan-jalan di Bali yang memperlancar kegiatan ekonomi secara umum. Demikian juga industri pendukungnya berkembang pesat.
Peningkatan pendapatan perkapita oleh masyarakat Bali dialokasikan pada pemenuhan kebutuhan penunjang kehidupan modern, seperti biaya pendidikan, sarana transportasi, dan produk-produk modern lainnya. Sebagaimana manusia pada umumnya, orang Bali juga tergiur oleh godaan barang-barang konsumerisme. Tentu saja, sebagian waktu mereka dialokasikan pada kegiatan ritual adat dan keagamaan, termasuk juga di dalamnya seni pertunjukan. Pola kehidupan dalam dua dunia ini menekan orang Bali untuk senantiasa memiliki uang. Ketergantungan Bali pada pariwisata untuk kelangsungan hidup Bali modern sudah sedemikian besar. Pariwisata sudah menjadi andalan utama, menggantikan pertanian dan industri kecil.
Sementara itu, orang Bali juga menyaksikan dan merasakan perubahan-perubahan drastis yang terjadi di sekitar mereka terutama sejak boom pariwisata tahun 1980-an. Dampak-dampak yang mereka lihat adalah berubahnya lahan-lahan pertanian menjadi kawasan wisata dan pemukiman; laut, danau, dan sungai yang terpolusi; volume sampah, terutama yang bukan organik meningkat tajam; energi dan air bersih terhambur-hamburkan; meningkatnya kepadatan penduduk sebagian oleh masuknya migran dari luar Pulau Bali, domestik, maupun asing; serta meningkatnya kriminalitas, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain, dan yang masih terpendam di bawah permukaan. Jumlah orang Bali yang mulai terjerumus ke dalam perilaku yang membahayakan dan melanggar hukum juga bertambah banyak.
Belakangan ini, sejak tahun 2003 dan menyusul Bom Bali 2002, muncul wacana yang sekarang tersebar luas yang disebut “Ajeg Bali”. Wacana yang pada intinya muncul dari kekhawatiran atau kebingungan orang Bali melihat berbagai situasi negatif yang terjadi di Bali, termasuk kekhawatiran orang Bali menjadi minoritas di pulaunya akibat serbuan pendatang dari pulau-pulau lain, terutama Jawa dan Lombok. UU No. 22/1999 dan PP No. 25/2000 tentang Otonomi Daerah yang berfokus pada daerah tingkat II, juga dikhawatirkan bisa menggoyahkan Bali sebagai satu kesatuan alam dan budaya karena interpretasi dan kepentingan yang berbeda dari kabupaten-kabupaten yang ada di Bali. Sehingga masih ada wacana-wacana lain agar Bali mendapat otonomi khusus, yaitu otonomi di tingkat provinsi (Lihat Tim Perumus Bali Post, 2004).
Dampak atau pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali oleh para peneliti dikatakan sebagai negatif dan positif. Dampak negatif adalah terjadinya komersialisasi, komodifikasi, dan profanisasi yang mengarah pada penggerusan; sedang dampak postif adalah terpacunya kreativitas seni budaya penduduk lokal untuk memenuhi kepentingan pariwisata (Lihat Ruastiti, 2005; Ardika, 2004). Dalam konteks seni pertunjukan tradisional, pengaruh positif dan negatif juga terjadi. Munculnya kreativitas nyata sekali terlihat pada berkembang pesatnya berbagai jenis seni pertunjukan di Bali, termasuk meningkatnya jumlah penggiat kesenian, namun pada saat yang sama, beberapa tarian sakral termasuk elemen prosesi ritual mengalami profanisasi karena mulai dipertunjukkan kepada wisatawan.
IV. Dinamika Seni Pertunjukan Bali dalam Konteks Pariwisata
Seni pertunjukan tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang bisa segera ditawarkan kepada wisatawan karena sifat universal seni tari dan musik sebagai pengiringnya lebih mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan, tanpa perlu keterlibatan yang mendalam; dan mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali sudah diakui secara luas, baik oleh para spesialis maupun wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan adalah salah satu aset terpenting bagi citra pariwisata budaya.
Secara umum, seni pertunjukan Bali dapat dikategorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral), yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali, pertunjukan yang diperuntukkan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkategorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan de Boer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition, secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an, yang tergolong: ke dalam wali, misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang, dan Baris Gede; bebali, seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan, di antaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang seni pertunjukan drama dan tari Bali pertama diipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga zaman pendudukan Jepang di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya di awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di zaman itu. Pementasan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di sejumlah desa sekitar ubud, dan juga dipentasan di Bali Hotel ,milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan, pertunjukan drama dan tari sepenuhnya sering tidak bisa dipahami oleh para wisatawan, terutama karena faktor bahasa; di samping umumnya karena jadwal tur wisatawan yang padat. Karena itu, intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari, yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan tersebut biasanya berdurasi satu jam. Di samping itu, juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong, dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga banyak dicari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata yang kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat Bandem dan de Boer, 1981: 145-150).
Kiranya, idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang ini, pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai mempertontonkan imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prosesi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di Puri Mengwi, Kerambitan, yang ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelengarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.
V. Dampak Pariwisata Budaya pada Seni Pertunjukan Tradisional
Di samping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para pengusaha pariwisata terhadap para seniman tradisional. Di samping pembayaran yang diberi tergolong masih rendah, seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi yang mendalam bisa terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara menyantap makanan dan menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat pertunjukan pariwisata, guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah seniman/kelompok kesenian di Bali (supply yang tinggi), ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok satu dengan yang lain.
Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan pariwisata yang berusaha memposisikan seni pertunjukan tradisional sebagai suatu yang istimewa kepada tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi harga yang disodorkan seniman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat yang terbaik.
Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi seniman dari eksploitasi, dan sebaliknya, memberi dukungan dan bimbingan kepada mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No. 394 dan 395 tahun 1997, misalnya, membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada. Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang terkesan seadanya, dan membaca di media massa tentang keluhan kurangnya penghargaan pariwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, di samping ada anggapan bahwa wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang tidak.
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual yang juga berfungsi untuk hiburan, seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh. Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya kelompok drama/tari.
Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian tradisional. Ia berpendapat bahwa pariwisata memberi lebih banyak dampak positif daripada negatif. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak mempermasalahkan, misalnya, pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena dipercaya bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan daripada makanannya bila memang pertunjukannya benar-benar berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman—apakah dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator yang mempertemukan pengusaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya, yang membuat sebuah kesenian bersifat sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruannya agar tidak punah dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas dari perkembangan zaman yang semakin modern di mana banyak hal yang menyita perhatian baik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid (termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan.Tantangan untuk seniman-seniman sekarang tidak seberat pada masa dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar sekeras dan seintensif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an, seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak. Sistem panggung sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.
Penulis berpendapat bahwa seni pertunjukan tradisional Bali mengalami penurunan dari segi kualitas karena berkurangnya intensitas pelatihan, perenungan, dan pendalaman. Taksu atau daya pikat yang terpancar dari para penari generasi sekarang tidak sekuat para penari generasi tua.
VI. Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) di Bali
Sejalan dengan berkembangnya wacana Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), maka berkembang pula wacana pariwisata berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk memenuhi kebutuhan mereka (lihat WCED, Our Common Future, 1987) mengandung tiga prinsip, yaitu keberlanjutan secara ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi (Lihat Pitana, 2002: 53-54). Pariwisata yang diyakini dapat mengakomodasi konsep-konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau bersinonim dengan Ekowisata; bukan pariwisata massal seperti sekarang ini. Konsepsi dasar dari PBM adalah pariwisata yang menitikberatkan pada pemeliharaan mutu dan kelanjutan sumber daya alam dan budaya; pariwisata yang mengemban misi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan tetap menjaga keseimbangan antara sumber daya alam dan budaya dengan kepuasan wisatawan (Lihat Ardika, 2004: 22). Kesejahteraan masyarakat lokal dimungkinkan akan tercapai bila mereka dilibatkan mulai dari perencanaan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi.
Pariwisata yang berkembang selama ini di Bali memang kurang sekali melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Usaha-usaha yang mengarah pada pariwisata berbasis masyarakat masih minim. Sepengetahuan penulis hanya Yayasan Wisnu dengan program Jaringan Ekowisata Desa-nya bekerja sama dengan empat desa, yaitu Tenganan, Nusa Ceningan, Pelaga, dan Sibetan, yang secara serius menggarap PBM. Walau usaha yang dirintis lima tahun belakangan diakui oleh Yayasan Wisnu belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang berarti karena para pelaku masih gamang akan tugas dan perannya masing-masing; salah menafsirkan keinginan turis; alasan klise permasalahan SDM; dan kurang totalnya para pelaku di dalam melaksanakan program. Kurangnya keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah, pelaku pariwisata, dan masyarakat sendiri terhadap ekowisata atau PBM, karena memang bersifat rumit, memerlukan proses panjang sehingga dianggap tidak menguntungkan dalam jangka pendek. Namun, Yayasan Wisnu tetap bertekad untuk melanjutkan proses yang sudah dijalani.
Terkait dengan konsep PBM, maka pemberdayaan seni pertunjukan atau budaya secara umum perlu dilakukan. Perlu ada kajian-kajian tentang sejauhmana dampak pariwisata terhadap seni pertunjukan. Perlu adanya dialog antara pemerintah melalui instansi terkait, seperti dinas kebudayaan, LISTIBIYA, dinas pariwisata, dengan para pelaku kesenian, para penyedia pertunjukan pariwisata, serta institusi atau insan-insan yang peduli terhadap kualitas seni pertunjukan termasuk kesejahteraan para senimannya.
Kajian-kajian tentang kepariwisataan Bali yang sudah berjalan hampir satu abad pada umumnya masih tergolong terbatas tidak sebanding dengan keberadaan pariwisata yang sudah begitu dominan di Bali. Hal yang sama terjadi pada seni pertunjukan tradisional dalam hubungannya dengan pariwisata. Pariwisata yang berkonsekuensi sangat besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bali perlu mendapat kajian-kajian yang serius terutama dampak-dampak jangka pendek dan panjangnya terhadap kesinambungan alam dan kebudyaan Bali .
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan. 2004. “Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata-Budaya dan Mengendalikan Budaya-Pariwisata”, dalam I Nyoman Darma Putra (ed.), Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post. Hal. 20-33.
Tim Perumus Bali Post. 2004. Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Bandem, I Made, dan deBoer, F.E. 1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur, New York, Melbourne: Oxford University Press.
Kurnianingsih, A. 2002. Jaringan Ekowisata Desa: Tradisionalisasi Diri Orang Bali di Tengah Modernisasi, Tesis S2 pada Program Studi Antropologi Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Pitana, I. Gde. 2002. Apresiasi Kritis terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar: Print Works.
Rai, A.A. Gde. 2003. “Sustaining Culture through Tourism: Fact or Fluff (From Heritage to Legacy)”, Presentasi pada PATA Annual Conference, Bali.
Ruastiti, Ni Made. 2005. Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata. Denpasar: Bali Mangsi Press.
Vickers, A. 1990. Bali: A Paradise Created. Hongkong: Periplus Editions (HK) Ltd.
WCED. 1987. Our Common Future, Oxford: Oxford University Press.
__________
I Gusti Raka Panji Tisna, menulis, menerjemah, serta mempromosikan program Seni-Budaya; mengajar mahasiswa asing yang datang ke Bali; sebagai fasilitator dalam berbagai seminar dan kegiatan lingkungan; serta tetap melakukan eksplorasi potensi di bidang seni.
Sumber: www.budpar.co.id