Oleh : Dr. Pudentia MPSS
Berbicara mengenai kebudayaan adalah berbicara mengenai sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Bila batasan ini dikaitkan dengan keberadaan kebudayaan yang ada di Indonesia yang begitu beragam, maka kita dapat mempertanyakan kembali sejauh mana keragaman ini dapat dipertahankan dalam kerangka membangun “kebudayaan Indonesia”. Di pihak lain, kita pun dapat mempertanyakan sejauh mana “Indonesia” mampu menyatukan keragaman tersebut. Keragaman tersebut tidak saja terdapat secara internal, tetapi juga karena pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu kebudayaan. Pengaruh-pengaruh tersebut membentuk lapis-lapis budaya yang sangat menarik yang seakan bercerita tentang sejarah dan segala hal-ihwal sebuah komunitas pemilik kebudayaan tertentu. Dalam kaitan ini kita pun dapat mengamati dinamika sosial masyarakat mewujudkan kebudayaannya, baik secara sadar maupun tidak.
Dengan ungkapan lain, kita dapat menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebut yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Nusantara sekaligus juga memberi tanggapan terhadap setiap perubahan yang datang. Sebaliknya, perubahan itu sendiri dan konteks sosial yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indonesia. Menjadi Indonesia bukan sekedar menautkan puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi juga berinteraksi dengan kebudayaan dunia (“cultural heritage is not belongs to one country but it belongs to civilization/whole world”).
Dalam konteks mikro, sejauh mana peluang keragaman budaya yang dimiliki Indonesia seperti yang telah disebutkan di atas dijadikan aset yang berharga (dan bukan sebagai ancaman) bagi daerah dan tentunya bagi Indonesia. Beberapa pengamatan akhir-akhir ini termasuk yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) memperlihatkan hancurnya keadaban di Indonesia. Kecenderungan ke sektarianisme menjadi semakin nyata dan kemajemukan diabaikan. Prinsip-prinsip solidaritas dan keadilan cenderung tidak dijadikan dasar berpijak untuk membangun tata kehidupan yang damai dan sejahtera.
Keragaman budaya rupanya belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan khasanah nasional yang dapat memberi nilai tambah, melainkan lebih sering dianggap sebagai rongrongan yang mengancam otoritas / keutuhan negara atau hegemoni tertentu. Seharusnya manusia Indonesia tidak gentar dengan keanekaragaman, karena jati diri Indonesia adalah kebinekaan yang meliputi bahasa, sastra, adat-istiadat, dan segala sesuatu yang hidup di dalam alam Indonesia, hewani atau nabati.
Kenyataan tersebut seakan-akan manjadi kontradiktif dengan kenyataan lain yang menyangkut Otonomi Daerah (OTDA). Pluralisme yang dipahami sebatas wacana tersebut di atas dijadikan alasan utama untuk menerapkan OTDA yang menyangkut berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di satu wilayah tertentu. Pengukuhan OTDA dipahami sebatas permintaan hak ekonomi dan kekuasaan dari “pusat” tanpa dilandasi pemahaman yang benar dan lengkap mengenai identitas budaya yang bersangkutan. Dalam situasi semacam ini muncul pula dalam skala daerah, marginalisasi budaya yang didukung kelompok kecil yang seringkali juga memiliki posisi yang lemah. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini, misalnya Gayo di Aceh, Nias di Sumatera Utara, Mentawai di Sumatera Barat, Using di Jawa Timur, Bima di Nusa Tenggara Barat, dan Melayu di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Kasus semacam ini tidak saja terjadi pada marginalisasi etinis tertentu, tetapi juga pada kesenian tertentu di suatu wilayah, misalnya di daerah Ponorogo (Jawa Timur) kesenian yang bukan termasuk reog tidak mendapat perhatian utama dan di Flores, kesenian yang tidak menyertakan nyanyi-nyanyian/musik kurang diminati.
Salah satu khasanah budaya yang signifikan untuk diketengahkan dalam contoh kasus kali ini adalah tradisi lisan. Dalam Seminar “Tradisi Lisan dalam Konteks Sosial Budaya Masa Kini” yang diselenggarakan ATL pada tanggal 2—5 Oktober 2003 yang lalu di Jakarta disimpulkan bahwa tradisi lisan merupakan khasanah budaya Nusantara yang intangiable yang hingga kini masih memiliki kekuatan dan peran besar di dalam membangun peradaban Indonesia. Tradisi lisan terbukti dapat dijadikan pintu masuk untuk melihat berbagai peristiwa budaya penting yang terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat: peristiwa sosial budaya, perekonomian rakyat, strata sosial, sistem religi dan kepercayaan, sistem kognisi masyarakat, intrik-intrik perebutan kekuasaan atau pengukuhan kekuasaan, sistem ekologi, sistem pertahanan kekuasaan / negara, pewarisan tradisi / adat-istiadat, dan sebagainya.
Di tengah-tengah arus globalisasi dan keramaian teknologi, tradisi lisan meskipun penting memang sering tidak terdengar. Seperti nyanyian burung pagi hari di batang-batang pohon di halaman rumah kita : terdengar tetapi tidak didengarkan, ada tetapi tidak ada karena tertutup oleh suara-suara mobil dan keriuhan teknologi industri.
Apakah yang dapat dilakukan untuk mengelola warisan budaya tradisi lisan yang memang sangat khas, khususnya di Flores ini dengan memperhatikan potensi pengembangan di 4 wilayah penting: Flores Timur, Sikka, Ende, dan Nga’da? Mengingat salah satu keutamaan aset budaya Flores adalah tradisi lisan, berdasarkan analisis atas potensi dan hal-hal positif yang dimiliki Flores dan dengan mempertimbangkan segala aspek kekurangan Flores, kita dapat membangun Pusat Interaksi Komunikasi Sosial Kemasyarakatan yang memungkinkan budaya Flores dengan segala aspek dan lapis budayanya memunculkan dirinya. Kegiatan yang dapat dilakukan terdiri atas 3 bagian besar, yaitu
1. Kegiatan Pendukung Infrastruktur: legal apparatus, legal institutions, political will, paradigma berpikir / bersikap tentang pendekatan budaya, penyiapan lahan, gedung, fasilitas terkait, dan komunitas pelaku / pendukung.
2. Kegiatan Pendampingan yang terdiri atas a). Preservasi, yaitu perlindungan warisan budaya tertentu tanpa mengganggu keadaan aslinya seperti apa adanya, Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk cadangan warisan yang bersangkutan. Contoh kegiatan semacam ini adalah pemetaan atau survei atas tradisi budaya yang dimaksudkan. b). Konservasi (pemeliharaan) dilakukan untuk mencegah kepunahan. Contoh kegiatan semacam ini adalah melakukan berbagai penelitian, seminar /diskusi, dokumentasi, penulisan buku / tulisan, penerbitan rekaman-rekaman, dan publikasi tradisi tertentu dalam arti luas. c). Revitalisasi merupakan kegiatan pemulihan, pengungatan, dan pemberdayaan tradisi terutama di komunitasnya sendiri dan kemudian di luar komunitasnya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi, regenerasi pemain / pendukung tradisi, pembentukan komunitas pendukung, sosialisasi tradisi melalui jalur pendidikan (misal muatan lokal dan penyempurnaan kurikulum), dan pementasan/festival.
3. Kegiatan Lintasbidang terkait dengan tradisi lisan, seperti kehumasan, film, media massa, permuseuman, penyelamatan dan penggalian arkeologi, pengembangan wisata budaya untuk kepentingan pariwisata, dan program belajar mengajar di sekolah yang dapat dilakukan bersama oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun bukan pemerintah dari dalam maupun luar negeri dengan koordinasi yang baik, jelas, dan terarah dalam satu visi dan misi yang sama mengenai pusat kegiatan.
Untuk menjalankan ketiga kelompok kegiatan besar tersebut di atas diperlukan sebuah sekretariat bersama yang diselenggarakan oleh pihak/tim kuat yang mampu mengkoordinasi tidak saja kegiatan-kegiatan yang akan berjalan tetapi juga manusia-manusia yang menjalankannya. Sekretariat bersama ini, selain harus memenuhi standar pelayanan juga harus terbuka dan mudah diakses oleh pihak mana pun yang berkepentingan. Sekretariat ini akan memudahkan pihak-pihak yang berkenaan melaksanakan programnya dan mencapai tujuannya. Ada paling tidak dua tujuan utama yang dapat dikemukakan di sini, yaitu pertama, menumbuhkan dan menguatkan identitas (budaya) nasional dan kedua, menumbuhkan potensi sosial ekonomi yang umumnya berkaitan dengan dunia bisnis dan pariwisata.
Kendala yang akan dihadapi Pusat budaya ini bukanlah mudah diatasi. Dalam contoh yang sederhana, misalnya menyiapkan sebuah pementasan/festival, perlu upaya pemahaman memperluas jangkauan resepsi penonton/khalayak luas di luar komunitas tradisi yang bersangkutan. Penting untuk menjembatani komunitas-komunitas yang berbeda-beda kepentingan dan latar belakang pengetahuannya untuk bersama “menikmati” sebuah pementasan yang sedang berlangsung .
Dalam skala yang lebih luas, tidaklah cukup bila suatu lembaga (pihak pemerintah sekalipun) mencanangkan program preservasi cagar budaya Benteng Solor, misalnya, program tersebut secara serta merta terwujud dan diterima baik oleh masyarakatnya. Lembaga yang bersangkutan perlu memahami permasalahan-permasalahan internal agar tidak justru menciptakan potensi konflik karena penanganan yang kurang tepat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai warisan budaya belum muncul, sehingga alih-alih mendukung program, masyarakat justru berpraduga negatif. Dalam hal lain, peran keluarga sebagai penerus tradisi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sebagai lembaga formal penjaga tradisi pun belum secara maksimal diberdayakan atau memberdayakan dirinya. Hal demikian ini dapat saja terjadi karena sistem dan model pengelolaan budaya belum ada dan belum ditangani secara berkesinambungan dan dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional. Hal terakhir yang selalu secara klise dikemukakan tetapi benar adanya adalah terbatasnya dukungan dana melaksanakan program semacam ini.
Mengingat kedua tujuan di atas, kendala macam apa pun sepantasnya dapat dihadapi bersama oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dalam masa seperti sekarang, kedua tujuan dalam membangun masyarakat melalui program budaya tidak dapat dibebankan terutama kepada pihak pemerintah saja, tetapi juga pada sektor lembaga non-pemerintah dan lembaga di luar Indonesia. Dengan demikian pula, wawasan kebangsaan yang memandang permasalahan melampaui batas-batas negara, etnisitas, agama, dan sebagainya diperlukan untuk mencapai kedua tujuan tersebut. Dalam menyusun kebijakan, strategi, dan kegiatan, para lembaga terkait yang memiliki perhatian pada pengembangan dan pengelolaan warisan budaya Flores dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dikemukakan di atas.
Makalah ini disajikan pada “Seminar Internasional Flores-Portugal”, Maumere, 31 Mei — 2 Juni 2005.
Dr. Pudentia MPSS, adalah dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)
Sumber : www.fib.ui.ac.id