Oleh: Syamsuddin Haris
Aneka persoalan seolah tak pernah berhenti melanda bangsa kita. Ironisnya, hampir tak satu persoalan pun yang silih berganti menyita perhatian dan energi bangsa kita terselesaikan tuntas.
Mengapa berbagai institusi dan para penyelenggara negara saling menyandera di antara mereka?
Ketika skandal penalangan Rp 6,7 triliun atas Bank Century tak kunjung terungkap dan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan gagal menyeret para aktor besar di belakangnya, publik kembali terenyak oleh perseteruan DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi III DPR menolak kehadiran dua unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dalam rapat dengar pendapat di gedung parlemen.
Pemicunya tak lain adalah ditangkapnya 22 anggota dan mantan anggota DPR tersangka penerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Komisi Hukum DPR “membalas” tindakan KPK dengan menolak kehadiran Bibit dan Chandra yang dianggap masih berstatus tersangka kendati kasusnya sendiri telah dikesampingkan (deponeering) oleh Kejaksaan Agung. Demi kepentingan umum, Jaksa Agung mengesampingkan perkara penyalahgunaan wewenang yang melibatkan Bibit dan Chandra sebagai pimpinan KPK.
Saling Menyelamatkan
Skandal Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan, dan kasus suap yang diduga diterima para politisi DPR, sebenarnya hanya puncak dari gunung es kebobrokan sistemis proses politik yang mendera bangsa kita selama ini.
Kebobrokan itu pada dasarnya berpusat pada kecenderungan para elite politik dan penyelenggara negara untuk saling menyelamatkan kepentingan politik busuk mereka masing-masing. Karena itu, tak mustahil tiga kasus besar ini bukan hanya terkait satu sama lain, melainkan juga melibatkan pertarungan tiga parpol besar, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P.
Golkar sangat bernafsu membongkar skandal Century karena diduga melibatkan Partai Demokrat terkait pendanaan kampanye Pemilu 2009. Partai Demokrat, antara lain lewat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk SBY, berkepentingan menyeret keterlibatan tiga perusahaan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar, yang diduga sebagai penyuap terbesar di balik kasus Gayus.
Sementara PDI-P berharap KPK lebih fokus membongkar skandal Century dan kasus Gayus ketimbang kasus cek perjalanan yang melibatkan semua anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR 2004-2009 dari partai banteng gemuk.
Kecenderungan untuk saling menjatuhkan sekaligus saling menyelamatkan kebusukan dan politik busuk setiap parpol besar barangkali merupakan kata kunci yang menjelaskan mengapa kepentingan publik atas tegaknya pemerintahan yang bersih akhirnya dikorbankan. Politik saling menjatuhkan sekaligus saling menyelamatkan politik busuk itu tampaknya akan terus mewarnai penyelesaian skandal dan kasus besar hingga Pemilu 2014.
KPK, Nunun, dan Miranda
Parpol besar tak hanya saling menyandera di antara mereka, tetapi juga menyandera KPK. Bagi Partai Demokrat, skandal Century “selesai” secara politik di DPR ketika pemerintahan SBY dipermalukan melalui Panitia Khusus Angket DPR. Bagi Golkar, tidak relevan mempersoalkan perusahaan keluarga Bakrie karena ada puluhan perusahaan lain yang memanipulasi pajak di balik kasus Gayus. Adapun bagi PDI-P, tidak adil menangkap penerima suap tanpa jelas siapa penyuap dan auktor intelektualisnya.
Meski para politisi penerima cek perjalanan sudah menyebut nama Nunun Nurbaeti sebagai perantara penyuap dalam rangka meloloskan Miranda, hingga saat ini Nunun dan Miranda tak tersentuh hukum. Kendati KPK lembaga independen, kepentingan pemerintahan SBY tampaknya turut melekat di balik fakta tetap dibiarkannya Nunun dan Miranda melenggang di panggung sosialita negeri ini.
Jika ditangkap, Miranda tak hanya dikhawatirkan “bernyanyi” mengenai aliran dana Century yang diduga melibatkan para elite Partai Demokrat, tetapi juga bisa menyeret Wapres Boediono (mantan Gubernur BI) ke kursi pesakitan skandal bank bermasalah tersebut.
Jadi, baik Bibit dan Chandra secara individu maupun KPK secara institusi tampaknya hanya korban dari parade politik tak bermoral para elite politik yang tak kunjung insaf dan bertanggung jawab. Lebih jauh lagi, yang tersandera bukan hanya KPK, melainkan juga negara, bangsa, dan kita semua yang mendambakan tegaknya pemerintahan bebas korupsi.
Masih adakah harapan bagi bangsa ini untuk mengurangi kebobrokan dan politik busuk? Apakah demokrasi yang kita rebut dari rezim otoriter Soeharto hanya menghasilkan politisi dan pejabat publik korup, busuk, dan lari dari tanggung jawab?
Harapan masih terbuka lebar jika pertama, ada kemauan politik dari SBY untuk benar-benar menegakkan pemerintahan yang bersih. Komitmen tentu tak cukup dengan pidato dan retorika berapi-api. Komitmen dan kemauan politik bahkan tak cukup dengan berbagai inpres yang ternyata tumpul. Juga tidak cukup dengan rapat-rapat kabinet yang begitu sering, tetapi tanpa keputusan yang jelas.
Komitmen dan kemauan politik membutuhkan menyatunya ucapan dan janji presiden dengan aksi dan tindakan nyata untuk memutus mata rantai kebusukan dan politik busuk. Sesuai dengan otoritas yang dimiliki, presiden bisa mencopot setiap saat para pejabat tinggi yang gagal mengeksekusi tanggung jawab mereka. Hanya saja pertanyaan sekaligus persoalannya barangkali, apakah presiden kita, SBY, memiliki nyali politik untuk itu?
Harapan kedua membongkar mata rantai kebusukan yang menyandera negeri kita ada di pundak kekuatan masyarakat sipil. Keberhasilan berbagai elemen masyarakat sipil untuk saling bekerja sama, mengonsolidasikan diri, dan membangun isu strategis bersama akan sangat menentukan masa depan bangsa. Soalnya jelas, perubahan ke arah yang lebih baik bagi negeri kita tak akan pernah turun dari langit mendung politik yang busuk.
Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber: Kompas, Jumat, 4 Februari 2011