Oleh: Eddy OS Hiariej
Nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur (orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa). Demikian Seneca merujuk ajaran filsuf Yunani, Plato.
Ajaran tersebut adalah landasan filsafati tujuan pidana sebagai upaya pencegah umum (general prevention). Artinya, seseorang harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Perihal berat-ringannya pidana, ada tiga faktor yang amat memengaruhi.
Pertama, faktor undang-undang. Undang-undang mengatur maksimum pidana yang boleh dijatuhkan hakim. Maka dapat saja dalam perkara pidana, hakim menjatuhkan pidana melebihi tuntutan jaksa. Ini berbeda dengan perkara perdata yang mana hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi gugatan penggugat (nonultra petita).
Kedua, motivasi seseorang melakukan kejahatan. Dari motivasi diketahui keseriusan seseorang melakukan kejahatan berikut modus operandinya. Motivasi ini pula yang menentukan apakah kejahatan dilakukan karena niat jahat (dolus malus) dari dirinya atau ada faktor lain yang sangat memengaruhinya untuk melakukan kejahatan.
Ketiga, persepsi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan. Faktor ketiga ini bersifat dilematis. Di satu sisi, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana hanya berdasarkan opini publik. Di sisi lain, persepsi masyarakat menggambarkan rasa keadilan yang wajib diperhatikan hakim saat menjatuhkan putusan. Itu sebabnya, Amerika sampai saat ini masih mempertahankan sistem juri untuk menentukan benar-salah seseorang. Selama persidangan berlangsung, para juri diisolasi agar obyektif.
Vonis Terhadap Gayus
Dalam konteks vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta yang dijatuhkan terhadap Gayus, pertanyaannya adalah apakah vonis sudah memerhatikan ketiga faktor di atas? Ada sejumlah anotasi terhadap putusan itu. Pertama, dari segi undang-undang. Jaksa penuntut umum memaksimalkan tuntutan sesuai ancaman terberat atas kejahatan yang dilakukan, yakni 20 tahun penjara.
Dalam konteks pembuktian, jaksa penuntut umum sangat percaya diri karena berdasarkan bukti yang valid, ia berhasil meyakinkan hakim atas kejahatan serius yang dilakukan Gayus.
Ketika hakim hanya menjatuhkan tujuh tahun penjara kepada Gayus, hampir dapat dipastikan jaksa penuntut umum akan melakukan banding. Jika putusan pengadilan berada di bawah dua pertiga tuntutan jaksa, umumnya ada upaya hukum terhadap putusan itu.
Kedua, motivasi Gayus melakukan kejahatan adalah untuk memperkaya diri sendiri dengan menggelapkan pajak yang seharusnya disetor ke kas negara. Gayus memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang ada padanya terhadap 149 perusahaan. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan dengan modus operandi yang hanya dapat diketahui oleh internal Direktorat Jenderal Pajak. Tingkat kejahatan Gayus kian serius karena melibatkan sejumlah oknum polisi, jaksa, dan hakim ke dalam kubangan mafia peradilan.
Ketiga, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam melakukan pidana Gayus tidak sendirian sehingga dianggap sebagai hal yang meringankan, padahal seharusnya justru sebaliknya. Dalam hukum pidana ketika twee of meer verenigde personen (dua atau lebih orang bersekutu) melakukan kejahatan berarti ada delik penyertaan. Ini jelas menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan dari adanya perencanaan dan niat jahat untuk bertindak korup. Dapat dikatakan bahwa kejahatan yang dilakukan Gayus adalah kejahatan sistematis yang terorganisasi sehingga harus dianggap memberatkan.
Keempat, masih terkait pertimbangan hakim yang meringankan bahwa Gayus belum pernah dihukum. Pertimbangan demikian terlalu sumir mengingat bebasnya Gayus di PN Tangerang adalah rekayasa jaksa penuntut umum dan hakim, yang telah divonis bersalah karena menerima suap dari Gayus.
Kelima, hal lain yang seharusnya dipertimbangkan hakim sebagai sesuatu yang memberatkan adalah bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai antikorupsi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Berdasarkan konvensi tersebut, kejahatan yang dilakukan Gayus masuk kualifikasi illicit enrichment, yaitu memperkaya diri sendiri secara ilegal dan menyuap pejabat publik, yang notabene sebagai kejahatan internasional.
Keenam, rasa keadilan yang dipersepsikan masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Gayus sama sekali tidak dipertimbangkan hakim.
Hukum Porak Poranda
Seorang mantan narapidana menciptakan lagu “Andaiku Jadi Gayus Tambunan” dengan syair sinis, mencerminkan bagaimana Gayus memorakporandakan penegakan hukum di Indonesia. Selama proses persidangan, status Gayus adalah tahanan. Salah satu syarat subyektif penahanan adalah agar tersangka tidak mengulangi tindak pidana yang disangkakan. Fakta ironis justru terjadi pada Gayus. Meskipun dalam status tahanan, dia tetap mengulangi kejahatan yang disangkakan dengan menyuap aparat sehingga bebas bertamasya ke Bali, Kuala Lumpur, dan Makau, belum lagi terlibat memalsukan paspor. Aneh bin ajaib, hal-hal ini sama sekali tidak masuk yang memberatkan Gayus.
Sebagai catatan akhir, kalau kasus mafia pajak dan mafia hukum hanya berhenti sampai di sini tanpa menyentuh para koruptor kelas kakap di atasnya, maka vonis Gayus tidak akan mampu mencegah orang lain berbuat demikian sebagaimana dimaksud pada awal tulisan.
Hukuman tujuh tahun terlalu ringan bagi Gayus, belum lagi ditambah remisi dan pembebasan bersyarat dari negara yang tidak jelas parameternya. Semua hanya akan semakin mencederai rasa keadilan masyarakat.
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011