Nun(un) Jauh di Sana

Oleh: Saldi Isra

Aneh bin ajaib! Di Republik ini, proses penegakan hukum, terutama agenda pemberantasan korupsi, hampir selalu menghadirkan “orang kuat” yang sulit disentuh hukum. Kalaupun berhasil disentuh, hukum bekerja tidak normal bagi orang tersebut.

Kondisi tidak normal itu, misalnya, dapat dilacak dari lamanya hukuman yang dijatuhkan, segala kemudahan yang diperoleh selama menjalani masa tahanan, dan fasilitas lain yang memungkinkan yang bersangkutan untuk segera meninggalkan rumah tahanan.

Di antara sejumlah kasus yang membuktikan bagaimana kehadiran orang kuat dalam jagat penegakan hukum, dapat dilacak dari fasilitas supermewah yang digunakan Artalyta Suryani (Ayin) selama hampir sebagian besar waktunya dalam tahanan. Contoh lain, bagaimana Anggodo Widjojo menjadi super-Anggodo dalam skandal kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

Bahkan, cerita orang kuat tersebut seperti mendapat pembenaran empiris ketika Gayus HP Tambunan berkali-kali “menampar” wajah penegakan hukum. Selain dengan begitu mudah keluar dari rumah tahanan, bekas pegawai golongan III A pada Direktorat Jenderal Pajak ini masih mampu melakukan serangan balik terhadap beberapa anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Tidak tanggung-tanggung, manuver Gayus tersebut berubah menjadi amunisi bagi sebagian partai politik dan politisi Senayan untuk mendesak pembubaran lembaga ad hoc yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Sepertinya, cerita orang kuat dalam jagat penegakan hukum belum akan berakhir dan bisa jadi tidak akan pernah berakhir.

Buktinya, sampai hari ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang diberi kewenangan ekstra (extraordinary power) dalam memberantas korupsi tidak bisa menghadirkan seorang saksi bernama Nunun Nurbaeti. Padahal, banyak pihak percaya, keterangan Nunun sangat penting untuk membongkar misteri sumber uang dalam skandal suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Hambatan Nonyuridis

Dari semua lembaga penegak hukum yang eksis, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa KPK merupakan institusi yang dapat dinilai paling berhasil menyentuh banyak episentrum korupsi.

Penegasan tersebut menjadi amat penting karena sejauh ini lembaga penegak hukum konvensional (seperti kejaksaan dan kepolisian) nyaris tidak bisa menjamah episentrum korupsi yang ada. Tidak hanya itu, KPK terbilang berhasil melakukan proses hukum terhadap sejumlah pelaku korupsi yang mempunyai posisi politik amat kuat.

Salah satu titik penting keberhasilan KPK menghadapi pelaku korupsi dengan posisi politik kuat adalah ketika lembaga ini melakukan penahanan atas mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan. Bagi banyak pihak yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi, penahanan Aulia Pohan menjadi bukti kemampuan KPK untuk keluar dari hambatan nonyuridis dalam menahan seseorang.

Tidak terbantahkan, penahanan itu menjawab keraguan publik atas KPK yang dalam waktu cukup lama kehilangan nyali menindaklanjuti status hukum Aulia Pohan dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Selain kemampuan keluar dari hambatan psikologis untuk menahan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, fakta lain yang membuktikan KPK mampu keluar dari hambatan nonyuridis adalah kemauan dan keberanian KPK menahan sejumlah politisi yang terlibat dalam skandal suap pemilihan Miranda Goeltom.

Bagaimanapun, kejadian itu tidak hanya menjadi bukti kesiapan KPK berhadapan dengan partai politik dari mana mereka yang ditahan berasal, tetapi juga menunjukkan bahwa KPK tidak takut menghadapi manuver sejumlah politisi di DPR. Namun, catatan keberanian KPK dalam menghadapi masalah-masalah nonyuridis menjadi kehilangan makna ketika KPK tidak mampu menghadirkan seorang warga negara bernama Nunun untuk dimintai keterangan lebih jauh mengenai aliran dana dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Sebagai saksi kunci, kehadirannya menjadi begitu penting karena berdasarkan sejumlah keterangan dalam persidangan (yaitu Dudhie Makmun Murod, Udju Djuhaeri, Endin AJ Soefihara, dan Hamka Yandhu) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terungkap bahwa cek perjalanan yang diberikan oleh Arie Malangjudo kepada sejumlah politisi tersebut berasal dari Nunun.

Merujuk fakta yang terungkap dalam persidangan itu, kegagalan KPK menghadirkan Nunun menjadi misteri besar dalam mengungkap secara tuntas skandal suap pemilihan Miranda Goeltom. Pertanyaan besar yang menghantui sebagian besar publik: mengapa amat sulit menghadirkan warga negara bernama Nunun? Pertanyaan itu amat masuk akal karena untuk Aulia Pohan, yang notabene besan seorang presiden, saja KPK mampu menerabas hambatan nonyuridis, mengapa untuk Nunun tidak.

Dengan hilangnya nyali KPK, sulit dibantah, faktor nonyuridis yang melindungi Nunun jauh lebih superior bila dibandingkan dengan Aulia dan sejumlah politisi yang ditahan.

Membungkam Kritik

Secara hukum, kehadiran dan keterangan Nunun begitu penting guna menguak semua jejaring yang bekerja pada pusaran skandal suap pemilihan Miranda Goeltom. Bagaimanapun, bila untuk jabatan sepenting Deputi Gubernur Senior BI ada pihak yang mau “menanamkan investasi” dalam jumlah puluhan miliar rupiah, pasti ada keuntungan lain yang hendak diraih dengan keterpilihan Miranda Goeltom. Sekiranya bisa dilacak, hasilnya dapat digunakan untuk menelusuri adanya praktik mafia di lingkungan perbankan nasional.

Selain itu, keterangan Nunun amat diperlukan untuk menyelamatkan logika hukum. Sebagai tindak pidana suap, pemberi dan penerima suap harus sama-sama dihukum. Karena skandal ini terkuak dari pengakuan penerima, sejauh ini publik cukup dapat menerima bila proses hukum lebih dulu bekerja ke arah penerima suap.

Meskipun begitu, dengan telah dilakukan proses hukum bagi penerima suap, KPK harus segera menetapkan siapa yang sesungguhnya pemberi suap. Sekiranya hal itu gagal dilakukan, penegakan hukum akan berjalan dalam logika yang pincang. Tidak hanya itu, penetapan pemberi suap tidak hanya untuk menyelamatkan logika hukum, tetapi lebih dari itu, juga untuk menghindar dari serangan banyak pihak setelah KPK menahan sejumlah politisi yang terindikasi menerima suap.

Tanpa itu, pasti tidak mudah keluar dari tuduhan bahwa KPK telah melakukan politisasi dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, mengumumkan pemberi suap menjadi cara paling ampuh untuk membungkam semua kritik yang dialamatkan kepada KPK. Namun, di atas semua itu, kehadiran Nunun menjadi keniscayaan agar rasa keadilan publik tidak tercederai dalam waktu yang amat panjang. Selama Nunun dibiarkan bertahan dalam penyakit lupa, rasa keadilan akan tetap nun jauh di sana.

Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Program S-3 Ilmu Hukum, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sumber: Kompas, Kamis, 10 Februari 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts