Oleh: Reza Syawawi
Tong kosong nyaring bunyinya. Inilah gambaran sikap anggota Komisi III DPR yang menolak kehadiran Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah dalam rapat kerja, dengan alasan keduanya masih berstatus tersangka (31/1). Alasan yang jelas mengada-ada dan tidak berdasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sikap ini ditengarai sebagai bentuk solidaritas dan balas dendam DPR atas penahanan 19 politisi oleh KPK yang diduga menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Miranda S Goeltom.
Fakta di atas memunculkan pandangan bahwa DPR sesungguhnya telah keluar dari demarkasi pemberantasan korupsi dan justru berbalik menjadi korup, menyalahgunakan kewenangan untuk melemahkan KPK.
Status Bibit-Chandra yang dipermasalahkan anggota Komisi III DPR adalah persoalan hukum yang telah diputuskan menurut hukum yang berlaku. Keputusan untuk menerapkan deponeering sebagai kewenangan hukum jaksa agung atas perkara kedua pemimpin KPK ini adalah putusan hukum yang final dan harus dihormati semua pihak termasuk DPR.
Perjalanan rekayasa kasus Bibit-Chandra sempat terkatung-katung di tangan Jaksa Agung karena penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) bermasalah. Namun, persoalan akhirnya selesai dengan penetapan deponeering. Kebijakan ini diambil karena desakan publik begitu kuat untuk menghentikan kasus yang sarat rekayasa ini.
Rekayasa
Penerbitan SKPP bisa dianggap sebagai bentuk pengakuan bahwa kasus ini memang direkayasa. Kebijakan ini diterapkan dengan alasan hukum yang keliru sehingga sangat mudah untuk dibantah. Terbukti gugatan sidang praperadilan yang diajukan Anggodo dikabulkan pengadilan. Pengadilan kemudian memerintahkan untuk melanjutkan proses hukum kasus ini.
Deponeering menjadi pilihan terakhir bagi Jaksa Agung untuk menghentikan kasus ini. Secara hukum, Jaksa Agung memiliki kewenangan khusus mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (Pasal 35 Huruf c UU Kejaksaan).
Berdasarkan prinsip oportunitas ini, kasus Bibit-Chandra secara otomatis tidak bisa dilanjutkan proses hukumnya. Artinya, status tersangka yang disandang oleh kedua pemimpin KPK hilang dengan sendirinya. Lembaga mana pun, baik DPR maupun lembaga yudisial sekalipun, tidak memiliki wewenang membatalkan keputusan deponeering ini.
Bahkan, dalam penjelasan Pasal 35 Huruf (c) UU Kejaksaan hanya disebutkan bahwa pelibatan lembaga lain dalam proses ini hanya sebatas pada penyampaian saran dan pendapat. Itu artinya, kebijakan deponeering merupakan kewenangan diskresi (principle of discretionary power) yang dimiliki Jaksa Agung atas sebuah kasus.
Sikap anggota DPR yang masih mempermasalahkan status kedua pemimpin KPK tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Kejaksaan. Hal ini semakin memperlihatkan indikasi bahwa para politisi ternyata ikut meruntuhkan kewibawaan hukum yang mereka buat sendiri.
Serangan Balik
Penolakan Komisi III DPR akan kehadiran keduanya layak dicurigai memiliki agenda untuk kembali melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi. Upaya ini sangat lazim terjadi ketika KPK telah mulai mengusut kasus korupsi yang melibatkan pihak tertentu yang memiliki afiliasi kekuatan politik.
Kecenderungan yang terjadi di sejumlah negara setidaknya menunjukkan gejala yang sama seperti yang sedang terjadi di Indonesia. Di Nigeria, misalnya, mantan Ketua Economic and Financial Crimes Commission Nigeria Nuhu Ribadu dipaksa mundur dari jabatannya karena mengungkap korupsi di kalangan politisi di negara tersebut.
Fakta ini menunjukkan sikap reaktif penguasa manakala ada pihak lain yang berpotensi menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaannya. Komisi antikorupsi independen akan cenderung menjadi ancaman ketika telah mulai mengusut kasus korupsi yang melibatkan penguasa.
KPK tidak perlu gentar menghadapi perilaku para anggota DPR yang menolak kehadiran kedua pemimpinnya tersebut. KPK juga tidak perlu terpengaruh oleh sikap DPR yang sebetulnya hanya bertujuan “mengacak-acak” kemajuan penanganan kasus yang tengah ditangani KPK saat ini.
Undang-Undang KPK setidaknya memberikan proteksi kepada KPK terkait dengan penanganan kasus korupsi yang menjadi kewenangannya. KPK hanya diwajibkan membuat dan menyampaikan laporan tahunan kepada lembaga terkait, termasuk DPR, dan bukan dalam hal penanganan kasus tertentu yang berada pada ranah pro-justisia (Pasal 15 Huruf c UU KPK).
Terkait dengan sikap reaktif DPR ini, patut dicurigai ada gelombang kekuatan politik yang menggunakan institusi demokrasi untuk melumpuhkan penegakan hukum terutama terhadap KPK. Padahal, institusi demokrasi termasuk DPR seharusnya memberikan dukungan terhadap penegakan hukum dan bukan justru berbalik arah menyerang institusi penegak hukum.
Fenomena perlawanan balik koruptor begitu kental terlihat dari penolakan DPR atas kehadiran Bibit-Chandra. DPR sepertinya sedang melakukan serangan balik dengan menggunakan argumentasi “fiktif” untuk melumpuhkan KPK. Namun, masyarakat percaya bahwa KPK tidak akan mundur sedikit pun untuk melawan setiap upaya yang menghalang-halangi pemberantasan korupsi.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Februari 2011