Situs Pasemah dan Ketidakpedulian Bangsa

Oleh Imam Prihadiyoko

Angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering setinggi hampir 2 meter bertiup di area situs megalitik Tinggihari I di Desa Pulau Pinang, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Situs ini merupakan bagian dari situs 19 megalit Pasemah yang tersebar di dataran tinggi Pasemah dengan luas sekitar 80 km persegi. Meskipun berada di pegunungan, situs-situs itu dibangun di atas permukaan tanah yang datar. Situs Tinggihari I berada di dalam areal perkebunan kopi, pohon pinus, dan kayu manis. Pada umumnya situs-situs megalitik berada di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Karena terletak di dataran tinggi, daerah ini mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Daerah Pasemah sendiri wilayahnya meliputi Bukit Barisan dan di kaki Gunung Dempo.

Wajah patung batu besar di situs Tinggihari I yang menghadap barat laut, keberadaannya seakan untuk menghalangi terpaan angin yang berembus keras dari arah belakang patung. Patung batu itu membelakangi paparan jurang dalam dan barisan pegunungan. Di dasar paparan dasar jurang, tampak mengalir Sungai Lematang, yang di sejumlah tempat diapit petakan sawah dengan padi yang sudah menguning. Para arkeolog menilai, tinggalan megalitik Pasemah ini sangat unik dengan patung yang dipahat dengan dinamis, megah, dan menimbulkan kesan monumental. Kondisi ini mencirikan adanya kebebasan sang seniman ketika membuat tinggalan-tinggalan tersebut. Simbol-simbol yang ingin disampaikan oleh pemahat erat kaitannya dengan pesan-pesan religius.

Peneliti LIPI, Kristantina Indriastuti, dalam salah satu tulisannya menyebutkan, secara umum kebudayaan megalitik mengacu dan berorientasi pada kekuatan-kekuatan supranatural yang mengaitkan pada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib pada benda ataupun makhluk hidup dan kepercayaan adanya kekuatan roh dan kekuatan pada arwah nenek moyang. Keberadaan situs ini juga menjadi penanda bahwa masyarakat sekitarnya pada masa lalu sudah menetap dan kehidupannya sudah terjamin. Tidak heran kalau masyarakat yang menjadi pendukung situs tersebut mampu menampilkan tinggalan budaya megalitik Pasemah yang sangat luar biasa, dengan pahatan yang begitu maju. Penggambaran alat-alat yang dibuat dari perunggu memberikan tanda bahwa megalitik Pasemah telah berkembang dalam arus globalisasi atau pertukaran budaya yang pesat. Alat-alat logam perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan kebudayaan Dongson, Vietnam.

Banyak Variasi
Temuan peninggalan megalitik Pasemah begitu banyak variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana (1996), telah ditemukan 19 situs megalitik, baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri. Balai Arkeologi Palembang juga menyebutkan, penelitian awal terkait situs megalit Pasemah ini ditulis L Ullmann dalam artikelnya, ”Hindoe-belden in binnenlanden van Palembang”, yang dimuat oleh Indich Archief (1850).

Tulisan Ullmann menyebutkan, H Loffs, sang peneliti, menyimpulkan bahwa arca-arca tersebut merupakan tinggalan dari masa Hindu. Namun, pendapat ini ditentang van der Hoop tahun 1932, yang menyatakan bahwa tinggalan tersebut dari masa yang lebih tua. Setelah penelitian van der Hoop, penelitian tentang megalitik Pasemah dilanjutkan oleh arkeolog RP Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo, dan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, tetapi hingga kini masih belum tuntas. Kondisi situs memang sudah diberikan naungan dan areal sekitar situs sudah dipagar kawat berduri. Namun, kesan ketidakpedulian pada situs ini sulit dihapuskan.

Tidak Terurus
Terlepas dari perdebatan akademis soal Situs Megalit Pasemah, situs ini tidak hanya memperlihatkan tingginya sejarah peradaban bangsa ini, tetapi juga keindahan alam yang belum banyak terjamah manusia. Udara sejuk pegunungan, lanskap perbukitan, jurang-jurang, dan sungai yang airnya mengalir deras di dasar jurang dapat menampilkan simfoni alam yang menenteramkan perasaan.

Tidak terurusnya situs prasejarah warisan nenek moyang ini tampaknya menjadi penanda bahwa bangsa ini enggan belajar dari sejarah bangsanya sendiri. Padahal, bangsa yang besar harusnya bisa melihat ke depan dengan bekal pelajaran jatuh bangun perjalanannya pada masa lalu untuk membangun bangsa. Kebesaran masa lalu bangsa ini yang jejaknya tersebar di banyak tempat sejak zaman batu seharusnya mampu menyadarkan anak bangsa ini bahwa Indonesia merupakan bangsa besar yang tidak pantas terpuruk.

Kekayaan alam, seni budaya, dan peninggalan sejarah yang ada hampir tidak pernah dipromosikan, baik di dalam negeri, apalagi hingga keluar negeri. Tidak heran kalau sebagian besar anak bangsa ini belum mengenal keindahan negerinya sendiri. Di tengah gencarnya promosi pariwisata negara tetangga, bahkan berani mengklaim kekayaan seni budaya bangsa ini, seharusnya mampu menyadarkan bahwa bangsa ini bisa bangkit melalui pengelolaan negara yang lebih baik. Salah satunya adalah pengelolaan kekayaan potensi wisata yang dimiliki setiap provinsi yang ada di Indonesia.

Seharusnya cerita ketidakpedulian pemerintah ataupun pemerintah daerah dalam mengurus situs sejarah, apalagi rakyat negeri ini, sudah bisa menjadi sejarah atau cerita usang pada masa lalu. Namun, kenyataannya, pemerintah masih harus menuliskan sejarahnya sendiri. Semuanya tergantung dari kerja yang akan dilakukan semua pemangku kepentingan negara ini. Apakah kehadiran pemerintah mampu mencatatkan peninggalan sejarah yang baik bagi anak cucu ataukah menjadi sejarah buruk yang patut disesali sepanjang akhir zaman, anak bangsa negeri inilah yang akan menjadi saksinya.

-

Arsip Blog

Recent Posts