Oleh: Christianto Wibisono
Gayus adalah nama generik Romawi dengan empat tokoh besar. Gaius Sempronius Gracchus adalah politikus penganjur pembagian pemilikan tanah yang terbunuh oleh Lucius Opimius. Gaius Papirius Carbo adalah negarawan dan orator yang dimakzulkan Marcus Licinius Crassus. Kedua Gayus tersebut hidup pada abad kedua sebelum Masehi.
Kaisar Caligula juga bernama kecil Gaius. Saking bencinya kepada DPR atau Senat Roma, ia mengangkat kudanya untuk melecehkan senator Romawi. Sebagian sejarah ini ditulis Gaius (130-180) yang pakar hukum.
Di Indonesia, penulis Gayus Siagian adalah sastrawan terkenal. Politikus PDI-P yang terkemuka tentulah Gayus Lumbuun. Namun, kedua Gayus itu kini kalah pamor dari Gayus “Kaisar” Tambunan, yang seorang diri dari penjara bisa menaklukkan Republik Indonesia, Presiden, DPR, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri.
Barangkali arwah dari empat Gayus Romawi bereinkarnasi di tubuh Gayus Tambunan sehingga aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia kalang kabut, sempoyongan, dan dilecehkan. Saya mengutip akar kata dan semangat zaman Romawi karena, di luar kasus Gayus, kita melihat kisah bagai dua Gayus yang saling bunuh. Eksekutif sedang dikritik oleh tokoh agama dengan senjata kata-kata yang sangat konfrontatif: tuduhan bahwa pemerintah membohongi publik.
Dunia modern dengan perkembangan teknologi BlackBerry, yang coba dihambat seorang menteri, tetap saja tak bisa lepas dari penyakit umum manusia: cemburu, dengki, iri, dan benci karena tidak bisa menghargai prestasi serta kinerja orang lain.
Kebangkrutan Romawi
Setiap orang berusaha memenangkan dan membenarkan diri sendiri, tak pernah sportif mengakui dan menghormati meritokrasi. Penyakit itu sudah ada sejak zaman Taurat dan terus hingga zaman nuklir. Ketika otak manusia mampu menciptakan senjata pamungkas pemusnah sesama manusia, hati nurani yang belum beranjak dari kebencian dan iri hati berujung pada saling bunuh.
Celakanya, jika di zaman kuno kapasitas manusia untuk membunuh satu sama lain hanya berdampak ratusan atau ribuan orang sesuai dengan perkembangan teknologi perang dan alat bunuh-membunuh, di zaman Gayus Tambunan kekuatan otak manusia sudah sanggup membunuh jutaan orang sekaligus dengan nuklir, rudal, roket, dan bom bunuh diri. Sebanyak 19 orang bisa membunuh 3.000 orang sekaligus tanpa memaklumkan perang, tetapi sudah menciptakan neraka di pusat peradaban dunia, kota New York, AS, 11 September 2001.
Setara dengan kedahsyatan teknologi bom, epidemi korupsi yang telah membelit Republik Indonesia mengulangi skenario dan riwayat kebangkrutan Romawi. Kekaisaran itu bukan hancur oleh serbuan orang barbar dari luar Romawi, tetapi ambruk karena perang saudara dan korupsi membusuk yang dilakukan para senator, kaisar, dan elite Romawi. Kekaisaran Romawi hanya bisa dilihat bekasnya dalam Colosseum Romawi yang tinggal reruntuhan belaka.
Republik Indonesia tentu tak akan bangkrut karena seorang Gayus. Namun, jika ada ribuan dan jutaan Gayus pada pelbagai tingkatan seperti juga Romawi penuh orang bernama Gayus, sebetulnya para tokoh agama lebih afdal mengeluarkan peringatan yang tak sektarian dan hanya menyalahkan presiden terpilih.
Memperlemah
Pada 12 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan fatwa yang memperlemah Presiden dalam menghadapi rongrongan legislatif dengan pembiaran jumlah pengusul hak menyatakan pendapat menjadi hanya dua pertiga dari dua pertiga atau empat persembilan. Suatu tirani minoritas terhadap mayoritas. Fatwa MK itu berpotensi mengakselerasi ambisi partisan memakzulkan Wakil Presiden Boediono yang dikaitkan dengan masih “mengambangnya kasus Century”.
Kelemahan Indonesia sejak orde reformasi adalah presiden terpilih tak pernah berhasil menguasai parlemen dan harus tunduk kepada koalisi. Dalam koalisi, sistem presidensial terbajak dan tersandera oleh manuver koalisi parlementer. Kedudukan presiden mirip perdana menteri dalam sistem demokrasi parlementer 1945-1960 ketika DPR dengan mudah dapat menyatakan mosi tak percaya atau istilah sekarang: hak menyatakan pendapat.
Susilo Bambang Yudhoyono dinilai pengecut dan plinplan. Namun, seandainya Wiranto, Prabowo, atau Amien Rais berada pada posisi presiden terpilih, pasti mereka juga akan berbuat sama dengan SBY. Berkompromi, berkohabitasi, dan “berkumpul kebo” dengan lawan politik yang tiap saat siap menerkam jadi Brutus dan Gayus terhadap sesama.
Indonesia memang sangat ekstrem dalam reaksi terhadap tantangan situasi. Kita pernah memakai demokrasi parlementer liberal 15 tahun (1945-1960) dengan 10 perdana menteri atau rata-rata kabinet cuma 1,5 tahun berkuasa.
Bung Karno membanting ke ekstrem diktator, tetapi cuma enam tahun sistem itu dibajak oleh Soeharto yang kemudian bertahan 32 tahun memerintah Republik Indonesia. Setelah itu MPR dan DPR mengebiri kekuasaan presiden sehingga presiden terpilih -yang memang tak mampu menguasai mayoritas parlemen- harus hidup “berkumpul kebo” dengan parlemen multipartai yang sulit dijamin loyalitas maupun solidaritasnya.
Sistem presidensial yang disandera oleh parlemen itu menghasilkan pemerintahan yang bagai autopilot. Presiden sebagai pilot malah diganggu awaknya. Untung Tuhan masih adil dan melihat kinerja masyarakat hingga penerbangan Indonesia Inc dengan autopilot masih tumbuh 7 persen.
Seandainya pilot tak diganggu oleh awak yang hiruk-pikuk, pesawat bisa melaju dua digit menyamai China. Sekarang fatwa MK malah membuat sang pilot semakin sulit bermanuver dan awak yang tidak dipilih rakyat bisa mengambil alih pesawat dari kopilot yang mau digusur dengan isu Bank Century.
Dalam hiruk-pikuk itu, tak heran seorang Gayus Tambunan dengan lihai mengulangi skenario Romawi: ketika Gayus saling bunuh, kaisar jadi sinis dan setengah gila mengangkat kuda jadi senator, dan senator saling bunuh atau bunuh diri.
Presiden Republik Indonesia seharusnya berani menyatakan, “Stop kegilaan Gayus. Saya minta referendum seluruh rakyat.” Di manakah 70 juta rakyat pemilih SBY-Boediono, mengapa Anda membiarkan Gayus mengkup SBY-Boediono? Jika Anda tak bergerak dalam tempo tiga bulan, Boediono akan termakzulkan dan pemerintah sebetulnya sudah tak sah karena suara rakyat pemilih telah dikudeta oleh “senator model kuda Caligula” dan epidemi korupsi Gayus.
Christianto Wibisono, CEO Global Nexus Institute
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Januari 2011