Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Kultur buram menyandera kita. Peribahasa Melayu itu selengkapnya berbunyi: “Main api terbakar, main air basah”. Artinya, setiap perbuatan yang menyerempet bahaya atau perbuatan kotor, si pelaku harus berani menanggung risikonya, jangan dipikulkan ke atas pundak orang lain.
Peribahasa ini akan saya pakai sebagai pisau pembedah tentang karut-marutnya kultur Indonesia mutakhir di ranah politik kekuasaan, ekonomi, hukum, dan moral. Keempat ranah ini sudah bertali berkelindan sehingga amat sulit memisahkannya. Satu sama lain saling menempel dan mungkin sudah saling berselingkuh. Politik punya tujuan ekonomi, sebaliknya ekonomi perlu payung politik. Di antara keduanya posisi hukum diperlemah dan diperdagangkan. Pertimbangan moral sudah lama menguap, entah ke mana.
Harus Ada Jalan ke Luar
Karena kondisi moral bangsa sudah demikian rapuh dan pengap, kelakuan mereka yang mengaku beragama atau yang tak hirau dengan agama sudah tidak bisa dibedakan lagi. Itulah kultur buram Indonesia sekarang yang dapat kita amati dengan gampang siang dan malam melalui berbagai media cetak, elektronik, dan dalam pembicaraan di mana-mana, di kota dan di kampung.
Di warung-warung kopi di seluruh Nusantara, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dalamnya guncangan kultural yang tengah menyandera publik dalam rentangan radius yang sangat luas. Dalam perspektif fenomenologi semuanya ini tentu menarik untuk diteropong, sekalipun benang kusutnya tidak mudah diurai dan dibongkar karena menyangkut sistem kekuasaan yang sedang berlaku.
Di tengah kultur yang menyesakkan napas itu, siapa sebenarnya yang tega main api? Apakah auktor intelektualisnya berupa sosok perorangan atau berupa kekuatan masif, kita belum bisa memastikan. Selama auktornya tetap bersembunyi, publik akan terus meraba-raba secara spekulatif, dengan maksud baik dan damai, atau karena ingin perubahan radikal dengan segala akibatnya. Kelompok terakhir ini mewakili arus kecil dalam masyarakat yang tidak peduli lagi apakah perubahan yang dibayangkan itu akan berdarah-darah dan merusak bangunan milik publik.
Bagi mereka, itu semua risiko setiap perjuangan. Saya sendiri memang ingin perubahan, tetapi harus tetap damai, konstitusional, dan haram berdarah-darah. Kita jangan lagi membebani bahu bangsa yang sudah sarat beban yang nyaris tak terpikul. Dalam bacaan saya, semua sisi gelap di atas adalah akibat logis syahwat kekuasaan mereka yang tunamoral yang telah lama mengubur dan menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Syahwat yang tak terkendali pasti membutakan mata, membunuh kesadaran nurani, dan di ujungnya sedang menunggu tragedi ini: bangsa dan negara akan digiring ke posisi kehilangan kedaulatan di tengah-tengah lautan kemiskinan sebagian rakyat kita. Dari sudut pandang inilah saya sangat berharap dalam tempo tak terlalu lama mereka yang telah main api cepat siuman dan tak meneruskan petualangan syahwat yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara yang susah payah dibangun selama ini. Pemain api adalah pengkhianat. Titik! Titik-titik api yang mendesak untuk dipadamkan.
Kita ambil masalah-masalah besar saja sejak tiga tahun terakhir. Dari sumber-sumber yang punya otoritas, saya mendapatkan info cukup mengerikan tentang siapa sebenarnya yang bermain api itu. Namun, untuk pengungkapannya lebih jauh sekarang, biarlah waktu yang akan memberi tahu publik pada saatnya.
Yang perlu dijaga adalah agar bangsa dan negara ini tetap utuh dan damai, tidak semakin oleng dan terkoyak-koyak. Masa depan Tanah Air yang elok ini masih bisa diselamatkan dengan syarat kita tak membiarkannya terus meluncur menjadi bangsa paria, tempat pihak neoimperialis dan agen-agen domestiknya sedang bekerja untuk itu, sadar atau tidak sadar.
Mesir di bawah Hosni Mubarak adalah contoh telanjang tentang betapa jauhnya cakar neoimperialis itu telah membius Mesir. Anda tentu sudah tidak sabar menunggu apa yang saya maksud dengan permainan api itu, bukan? Sebenarnya publik sudah tahu masalah-masalah besar itu, tetapi siapa pemain yang sebenarnya masih gaib oleh sebagian besar publik kita.
Serangkaian Drama
Saya sendiri masih terus mengumpulkan data valid tentang semuanya itu. Ada beberapa kasus aneh yang perlu dibicarakan di sini. Misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang kemudian menyeret Antasari Azhar sebagai Ketua KPK ketika itu ke meja hijau bukan perkara sederhana. Kesaksian ilmiah ahli forensik kenamaan, Dr Mun’im Idris, yang membantah rekayasa pihak kepolisian tentang penyebab kematiannya masih dibiarkan menggantung di awang-awang. Juga kesenjangan yang sangat jauh antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim terhadap Antasari kian menghilangkan kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.
Pada saatnya, drama ini harus dibongkar lagi. Jika tidak oleh penguasa sekarang, penguasa berikutnya tidak punya pilihan lain kecuali membukanya untuk publik. Pembongkaran ini akan memberi tahu kita siapa yang main api di belakang panggung politik ini. Apa kaitannya dengan perhitungan suara dalam Pemilu 2009 di tangan KPU-nya yang tidak profesional.
Drama kedua yang tidak kurang mengganggu adalah rekayasa terhadap Bibit-Chandra yang pernah ditahan dan sampai hari ini Komisi III DPR masih bersilat lidah untuk mempersoalkan kehadiran mereka di DPR. Tampak jelas di sini bahwa politik kepentingan pragmatis anggota DPR tidak bisa disembunyikan lagi.
Masih bertalian dengan kasus BibitChandra, pemberhentian Susno Duadji sebagai Kabareskrim dan kemudian memperkarakannya juga tak boleh dipandang enteng. Susno adalah saksi dan sumber kunci tentang banyak hal, seperti Daftar Pemilih Tetap pemilu, skandal Bank Century, dan tentu masih banyak yang lain. Pembungkamannya—karena disumbat mulutnya untuk berbicara kepada publik—hanya akan kian mengeruhkan kondisi politik yang memang sudah keruh. Pada saatnya, kita mungkin akan tahu peta politik sebenarnya tentang siapa bermain api di belakang penangkapan Susno ini.
Drama ketiga adalah kasus Gayus Tambunan yang nyaris mengalahkan negara. Di belakang mafia pajak ini pasti berkomplot para pejabat yang merangkap penjahat penting yang telah pula main api untuk membakar republik tercinta ini. Kasihan Indonesia yang telah dijadikan panggung bulan-bulanan oleh anak-anaknya sendiri yang sarat dusta (baca: bohong) dan dosa melalui perbuatan hitam, sementara kepemimpinan nasional terasa kian lemah dan kehilangan perspektif.
Akhirnya, Anda jangan terlalu risau. Masih ada optimisme di sini. Sekali nilai- nilai luhur Pancasila ditegakkan di ranah politik, ekonomi, hukum, dan moral; pasti akan segera ketahuan siapa yang main api selama ini dan pasti akan terbakar. Dibakar oleh kesadaran tulus dan dalam warga negara tentang perlunya pembelaan terhadap bangsa dan negara agar tidak tiarap di depan kekuatan mana pun dan di depan siapa pun. Negeri milik kita ini bukanlah negeri tempe yang tidak mampu bangkit serentak bagi suatu langkah besar ke depan secara kolektif.
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Sumber: kompas, Senin, 7 Februari 2011