Oleh : Mas Kumitir
Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah-putih bagi bangsa Indonesia. Warna merah dan putih memunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma-cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan bangsa Indonesia.
Menurut sejarah, bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6.000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui Tanah Semenanjung dan Filipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, Samudra Hindia, dan Pasifik.
Sekitar 4.000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia.
Pada zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup, yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya bewarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam bahasa Jawa/Sunda) berarti darah bewarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.
Pada permulaan masehi selama dua abad, rakyat di Kepulauan Nusantara memunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut "nekara bulan pajeng" yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut di antaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.
Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno, ada petunjuk bahwa bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga bangsa Cina di zaman Kaisar Chou tahun 1122 sebelum Masehi.
Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem; di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang memunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.
Pada abad ke19 tentara Napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera memunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana, yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya bewarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.
Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk raja bangsa Inggris yang menggunakan bendera sejak abad ke-8. Sampai Abad Pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian, yaitu bendera “gunfano” yang dipakai bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.
Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.
Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan), dan sebagai tanda damai rupanya, pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa negara di dunia.
Pada abad ke7 di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum memunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad ke-8 terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara, yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad ke-12. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur, dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab Jawa Kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobudur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad ke-10 yang telah mengenal warna merah dan putih.
Prabu Airlangga digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu burung garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka. Maka sejak masa itu warna merah putih mau pun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.
Kerajaan Singasari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292, setelah Kerajaan Kadiri mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singasari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara, sudah menggunakan bendera Merah Putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singasari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamalayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah putih dan gamelan ke arah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan pasukan Singasari, padahal pasukan Singasari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singasari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanagara). R. Wijaya memeroleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah-putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan Piagam Merah Putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang "Runtuhnya Singasari" serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit, dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Siwaisme dengan Buddhisme.
Demikian perkembangan selanjutnya, masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah-putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Nagarakretagama menceritakan tentang digunakannya warna merah-putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar-pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah-putih, seperti yang dikendarai oleh putri Raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih. Maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah-putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sebagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji-panji peninggalan Kiai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji-panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan aksara arab-jawa yang di garis atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa, dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.
Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang bewarna putih disertai dua umbul-umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudra, di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos, semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak, dikenal dengan kepercayaan monoteisme yang bersifat primitif, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi, yaitu hitam sebagai warna dasar, sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama, yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara-upacara, dan sebagian besar dari motif-motifnya bewarna merah dan putih.
Ketika terjadi Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu juga terlihat kibaran bendera merah-putih. Demikian juga di lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro, banyak terlihat kibaran bendera merah-putih. Ibarat gelombang samudra yang tak kunjung reda, perjuangan rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro, dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekali pun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.
Pada abad ke-20 perjuangan bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Boedi Oetomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.
Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa di bawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah-putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain: "Dari Barat Sampai ke Timur", "Pulau-pulau Indonesia", "Nama Kamu Sangatlah Masyhur Dilingkungi Merah-Putih. "Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.
Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar banteng.
Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi:
Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah-putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan, dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan "Indonesia Raya".
Pada saat Kongres Pemuda berlangsung, suasana merah-putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah-putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah-putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional, menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah-putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass, tokohnya, sangat ketat memerhatikan gerak-gerik peserta Kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan Kongres. Suasana merah-putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pengibaran bendera merah-putih dan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu "Indonesia Raya" dan "Bendera Merah-Putih" diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Bendera merah-putih memunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.