Yogyakarta - Kehidupan masyarakat Yogyakarta khususnya tidak bisa dilepaskan dari tata cara adat tradisional yang sampai saat ini masih dipertahankan keberadaannya. Hal itu juga yang terjadi pada tata rias dan busana pengantin yang dipakai pasangan mempelai ketika memutuskan naik pelaminan. Riasan dan busana yang dipakai tidak lain mengacu pada tradisi yang dipakai di dalam kompleks kraton.
Namun seiring waktu, perkembangan tidak terelakkan. Mengingat era globalisasi sedemikian deras memasuki tiap sendi dan lini kehidupan. Dinamisasi budaya juga terjadi kendati tidak harus tercerabut dari akarnya.
"Prinsip itu yang terus kami pegang. Biarlah perkembangan dan perubahan itu terjadi. Tapi jangan pernah lepaskan sejarahnya. Karena itu pegangan untuk terus maju agar tidak terseret arus," tegas Kasi Sejarah Dinas Kebudayaan DIY Nurtyas Yunianto kepada KRjogja.com, Jumat (11/05/2016).
Pemikiran ini pula yang jadi dasar dirinya menggelar workshop bersama untuk menyatukan visi pelaku industri pernikahan agar satu keselarasan. Sehingga satu sama lain tidak terjebak pada pendapat masing-masing namun mengacu pada sejarah awalnya.
"Ketika perias, WO dan panatacara memiliki keinginan sendiri-sendiri, sebaiknya dikembalikan pada sejarah awalnya. Dari situ sebagai pijakan dasar yang bisa disepakati bersama," jelasnya.
Sumber: http://krjogja.com