Yogyakarta - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyiapkan tujuh buah gunungan istimewa untuk memeriahkan grebeg sekaten tahun Dal (perhitungan tahun berdasarkan kalender jawa) atau 2010 yang rencananya digelar pada Jumat, 26 Februari.
"Biasanya hanya lima gunungan pada setiap grebeg sekaten, yaitu dua Gunungan Lanang, Gunungan Putri, Gunungan Gepak dan Gunungan Pawuhan, tetapi karena tahun ini merupakan tahun Dal, maka jumlah gunungannya istimewa yakni ada tujuh gunungan," kata Penghageng (petinggi) Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyohadikusumo di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, dua gunungan tambahan yang akan dikeluarkan pihak keraton dalam sekaten tahun Dal nanti adalah Gunungan Dharat, dan yang paling istimewa adalah Gunungan Bromo.
Namun, kata dia, Gunungan Bromo tersebut tidak boleh diperebutkan oleh wargamasyarakat, dan harus kembali dalam kondisi utuh ke keraton, setelah diarak dan didoakan di Masjid Gedhe, di Kauman, Kota Yogyakarta.
"Ini tugas berat bagi prajurit keraton yang mengusung Gunungan Bromo, karena mereka benar-benar memiliki kewajiban untuk mengawal dan menjaga gunungan itu," katanya.
Selain diarak atau dibawa ke Masjid Gedhe, satu dari dua Gunungan Lanang dibawa ke Pura (keraton) Pakualaman, juga untuk diperebutkan oleh masyarakat setelah didoakan.
GBPH Joyohadikusumo mengatakan pihaknya telah minta kepada aparat keamanan terkait, seperti dari kepolisian, Kodim dan institusi TNI lainnya untuk membantu pengamanan.
Namun, kata dia, pihaknya berharap pengamanan dan penjagaan tidak perlu terlalu ketat dan keras, karena sekaten merupakan pesta rakyat.
"Kejadian beberapa hari lalu jangan sampai terulang," katanya, dengan menyebutkan kerusuhan pada pertandingan sepak bola Liga Indonesia antara PSIM Yogyakarta melawan PSS Sleman, Jumat (12/2) di Stadion Mandala Krida Yogyakarta juga melibatkan aparat kepolisian yang dinilai bertindak berlebihan.
Selain Gunungan Bromo, keistimewaan lain pada grebeg perayaan sekaten tahun Dal adalah adanya prosesi membuat nasi "kepal" yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
Nasi yang diambil dari sebuah wadah yang disebut Kanjeng Nyai Mrico itu, kemudian dibagikan kepada siapa pun yang hadir pada acara tersebut.
Satu pekan sebelum grebeg digelar, Keraton Ngayogyakarta telah menyelenggarakan upacara "miyos gongso", yaitu keluarnya gamelan Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu pada 19 Februari, dan diakhiri dengan "kondur gongso" atau masuknya kembali gamelan ke keraton pada 25 Februari.
Kedua gamelan itu diletakkan di Masjid Gedhe dan ditabuh selama satu pekan, kecuali pada Kamis siang hingga Jumat siang.
Sebelum kondur gongso, Sri Sultan HB X akan menyebar "udhik-udhik" yaitu berupa beras kuning dan sejumlah uang logam di Masjid Gedhe, dilanjutkan dengan pembacaan sejarah atau riwayat Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu dilanjutkan dengan menendang dinding pagar masjid, atau yang dikenal dengan prosesi "jejak boto".(E013/A038)
Sumber: http://www.antaranews.com
"Biasanya hanya lima gunungan pada setiap grebeg sekaten, yaitu dua Gunungan Lanang, Gunungan Putri, Gunungan Gepak dan Gunungan Pawuhan, tetapi karena tahun ini merupakan tahun Dal, maka jumlah gunungannya istimewa yakni ada tujuh gunungan," kata Penghageng (petinggi) Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyohadikusumo di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, dua gunungan tambahan yang akan dikeluarkan pihak keraton dalam sekaten tahun Dal nanti adalah Gunungan Dharat, dan yang paling istimewa adalah Gunungan Bromo.
Namun, kata dia, Gunungan Bromo tersebut tidak boleh diperebutkan oleh wargamasyarakat, dan harus kembali dalam kondisi utuh ke keraton, setelah diarak dan didoakan di Masjid Gedhe, di Kauman, Kota Yogyakarta.
"Ini tugas berat bagi prajurit keraton yang mengusung Gunungan Bromo, karena mereka benar-benar memiliki kewajiban untuk mengawal dan menjaga gunungan itu," katanya.
Selain diarak atau dibawa ke Masjid Gedhe, satu dari dua Gunungan Lanang dibawa ke Pura (keraton) Pakualaman, juga untuk diperebutkan oleh masyarakat setelah didoakan.
GBPH Joyohadikusumo mengatakan pihaknya telah minta kepada aparat keamanan terkait, seperti dari kepolisian, Kodim dan institusi TNI lainnya untuk membantu pengamanan.
Namun, kata dia, pihaknya berharap pengamanan dan penjagaan tidak perlu terlalu ketat dan keras, karena sekaten merupakan pesta rakyat.
"Kejadian beberapa hari lalu jangan sampai terulang," katanya, dengan menyebutkan kerusuhan pada pertandingan sepak bola Liga Indonesia antara PSIM Yogyakarta melawan PSS Sleman, Jumat (12/2) di Stadion Mandala Krida Yogyakarta juga melibatkan aparat kepolisian yang dinilai bertindak berlebihan.
Selain Gunungan Bromo, keistimewaan lain pada grebeg perayaan sekaten tahun Dal adalah adanya prosesi membuat nasi "kepal" yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
Nasi yang diambil dari sebuah wadah yang disebut Kanjeng Nyai Mrico itu, kemudian dibagikan kepada siapa pun yang hadir pada acara tersebut.
Satu pekan sebelum grebeg digelar, Keraton Ngayogyakarta telah menyelenggarakan upacara "miyos gongso", yaitu keluarnya gamelan Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu pada 19 Februari, dan diakhiri dengan "kondur gongso" atau masuknya kembali gamelan ke keraton pada 25 Februari.
Kedua gamelan itu diletakkan di Masjid Gedhe dan ditabuh selama satu pekan, kecuali pada Kamis siang hingga Jumat siang.
Sebelum kondur gongso, Sri Sultan HB X akan menyebar "udhik-udhik" yaitu berupa beras kuning dan sejumlah uang logam di Masjid Gedhe, dilanjutkan dengan pembacaan sejarah atau riwayat Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu dilanjutkan dengan menendang dinding pagar masjid, atau yang dikenal dengan prosesi "jejak boto".(E013/A038)
Sumber: http://www.antaranews.com