Depok, Jabar - Eratnya hubungan antara etnis Minangkabau dengan "Cina Padang" sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang dominan di Kota Padang, mengakibatkan kebijakan represif Orde Baru yang terjadi di seluruh kota di Indonesia tidak begitu dirasakan oleh etnis Cina di Kota Padang.
Hal tersebut dikatakan oleh Erniwati saat sidang terbuka disertasinya berjudul "Cina Padang Dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: Dari Revolusi Sampai Reformasi" di gedung IV Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI), di Depok, Rabu (7/12).
Minimnya kebijakan represif Orde Baru yang dirasakan oleh Cina Padang, menurut mahasiswa S3 di Program Studi Sejarah UI itu, lebih disebabkan peran Himpunan Tjinta Teman (HTT) berdiri 1861 dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) berdiri 1871 sebagai simbol kekuatan etnis Cina di Kota Padang bisa menampilkan diri sebagai simbol keutuhan budaya etnis Cina Padang yang sekaligus menjadi simbol pencitraan asimilasi budaya etnis Cina dan etnis Minangkabau, serta budaya tradisional Cina.
"Secara mikro kedua perkumpulan ini menjadi simbol kerjasama harmonis di tingkat lokal, sementara secara makro etnis Cina dan etnis Minangkabau bisa berdampingan dalam kehidupan sosial ekonomi," ujar dosen Program Pasca Sarja Universitas Negeri Padang (UNP) itu.
Sebagai bukti dari argumen ini, lanjutnya, ketika rezim Orde Baru berakhir yang disertai dengan kerusuhan anti Cina di sejumlah kota di Indonesia. Di Kota Padang peristiwa kerusuhan tidak terjadi. Salah satu faktor yang mencegahnya adalah tidak adanya ketimpangan ekonomi yang tajam di antara etnis-etnis yang ada dan juga kerjasama erat dan koordinasi antara etnis Cina dan Minangkabau lewat jalur kelembagaan serta pemerintah.
Lebih lanjut, Erniwati mengungkap karakteristik pemukiman Cina Padang yang dikenal dengan "Kampung Pondok", yang memiliki arsitektur yang hampir sama ditemukan dengan perkampungan Cina di kota-kota lainnya di Indonesia. Bercirikan arsitektur Cina dengan rumah toko (ruko) yang berjejer di kiri-kanan jalan, dilengkapi sarana agama, budaya, sosial dan ekonomi, seperti halnya klenteng See Hien Kiong, rumah marga dan perkumpulan sosial budaya dan kematian serta pasar Tanah Kongsi.
"Yang menarik dari Kampung Pondok, berkembangnya "bahasa Pondok" dan budaya Cina yang terlihat melalui perkumpulan sosial, budaya dan kematian HTT dan HBT sebagai salah satu ciri identitas mereka. Bahasa Pondok menjadi salah satu ciri khas etnis Cina Padang. Perpaduan bahasa Indonesia dan bahasa Minang dengan logat Mandarin memberikan fenomena tersendiri di kalangan etnis Cina Padang yang 90 persen tidak bisa berbahasa Cina lagi. Paling hanya untuk ungkapan sosial tertentu saja seperti "tuako, jiko, shako, ii, cici dan koko," kata Erniwati.
Era reformasi kata Erniwati, memberikan ruang pada masyarakat sipil termasuk etnis Cina untuk menyuarakan pendapat dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam konteks politik rezim yang berubah ini, respon etnis Cina juga mengalami pergeseran dari keterasingan hukum menjadi masyarakat yang terbuka.
Kondisi ini, lanjutnya, dibuktikan dengan semakin meluasnya jaringan sosial secara terbuka dan masuknya mereka ke dalam dunia politik serta pengungkapan identitas budaya yang dilakukan secara besar-besaran. Jika hak-hak hukum dan sosial mereka dibatasi di masa Orde Baru, seperti hak menjadi pegawai, hak pendidikan, beribadah, beropini lewat pers - kini menjadi gelombang reformasi dalam kehidupan sosial masyarakat. "Simbol-simbol budaya Cina seperti tulisan, bahasa, kesenian, organisasi, lembaga pendidikan kembali muncul sebagai identitas khusus etnis," imbuhnya.
Menurut Erniwati, ada perubahan yang dramatis terjadi di kalangan etnis Cina Padang, yakni munculnya kompetisi intern dalam kelompok-kelompok etnis, marga dan perkumpulan sosial budaya dan kematian. "Masing-masing kelompok menampilkan identitas khusus mereka dan bersaing dalam bentuk kompetisi, seperti perlombaan budaya, pentas kesenian dan acara-acara seremonial dengan latar belakang sosial keagamaan."
Demikian juga halnya dengan konflik horizontal seperti peristiwa PRRI dimana etnis Cina di pusat kota tetap tidak bisa menghindarkan diri dari pilihan keterlibatan. Posisi sulit dihadapi oleh etnis Cina: memihak pemerintah pusat atau memihak kelompok PRRI yang keduanya mengandung resiko yang sama jika salah satu pihak berhasil menegakkan dominasi.
"Sebagai solusi untuk menghadapi polarisasi itu, etnis minoritas Cina mengambil jalan tengah. Ada kelompok yang memihak pemerintah pusat dan ada pula kelompok yang memihak PRRI," ungkapnya.
Beberapa tokoh etnis Cina yang aktif dalam gerakan PRRI, ketika pemerintah pusat mengambil tindakan tegas membubarkan PRRI dan menangkap para pemimpinnya, orang-orang Cina yang terlibat langsung berusaha menghindari penangkapan, akibatnya banyak dari mereka yang meninggalkan Padang ke Jakarta dan fokus menggeluti ekonomi dan mencoba menanggalkan identitas masa lalu mereka sebagai pejuang PRRI.
"Strategi ini merupakan strategi lokal, mengingat orang-orang Cina yang hijrah ke Jakarta bersamaan dengan orang-orang Minangkabau yang juga berusaha menghilangkan identitas sebagai pejuang PRRI di Sumatera Barat," ujar Erniwati.
Dinilai berhasil mempertahankan disertasinya, Erniwati yang dipromotori oleh Prof DR Abdullah Dahana dan DR Anhar Gonggong serta DR Haneman Samuel, dinyatakan lulus dan berhak memakai gelar Doktor dengan predikat "Sangat Memuaskan".
Sumber: http://www.jpnn.com