Indonesia Tawarkan "Tri Hita Karana" dalam WCF

Nusa Dua, Bali - Pemerintah Indonesia akan menawarkan konsep kosmologi "Tri Hita Karana" dalam Forum Budaya Dunia (World Culture for Development Forum/WCF) sebagai solusi mengatasi krisis kebudayaan global.

"Pada masa Post-MDGs tahun 2015, konsep Tri Hita Karana (hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, dan manusia dengan Tuhan) akan menjadi solusi. Konsep itu yang kita tawarkan dalam WCF nanti," kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti di Nusa Dua, Bali, Senin.

Ia menganggap falsafah hidup yang dijunjung tinggi masyarakat Pulau Dewata itu akan menjadi kekuatan bagi Indonesia dalam ajang internasional yang digelar di Bali pada 24-29 November 2013.

WCF digelar atas prakarsa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mendapat dukungan penuh dari Badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO).

"Kalau di Davos (Swiss) ada `World Economic Forum` dan di Rio de Janeiro (Brazil) ada `International Environmental Forum`, maka di Bali ada WCF. UNESCO menganggap Indonesia sebagai negara yang sempurna dengan masyarakatnya yang multikultur dan pertumbuhan ekonomi yang sangat bagus sehingga layak menjadi tuan rumah. Apalagi Bali sudah dikenal sebagai lumbung budaya," kata Wamendikbud Bidang Kebudayaan itu seusai mengikuti "Grand Strategy Meeting" sebagai persiapan menjelang WCF.

Menurut Wiendu, WCF akan menjadi forum tetap yang menyinergikan kekuatan-kekuatan budaya di dunia.

Sementara itu, pakar spiritual dan kejiwaan Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Prof Dr Ni Luh Ketut Suryani, menambahkan bahwa konsep Tri Hita Karana akan ditawarkan dalam WCF setelah dilakukan pengkajian dengan menggunakan pendekatan "biospirit socio-cultural".

"Dalam melihat perilaku manusia, jangan dilihat secara fisik, tapi harus didalami segi kemanusiaannya," kata guru besar Fakultas Kedokteran Unud itu.

Demikian halnya dengan masalah gender, lanjut Suryani, konsep Tri Hita Kirana bukan mengenyampingkan peran kaum laki-laki.

"Di dunia barat masalah gender dipahami sebagai tuntutan persamaan. Dalam konsep Tri Hita Karana, laki-laki justru menjadi partner. Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sama," katanya.

Pemerhati dan peneliti pariwisata dan kebudayaan Bali, Prof Dr I Wayan Ardika, menyatakan bahwa konsep Tri Hita Karana sudah diakui oleh dunia internasional.

"Umat Hindu Bali sudah terbiasa berbagi tempat suci, seperti di Pura Besakih dan di Gunung Batur dengan umat Kong Hu Chu. Demikian pula di Bangli, ada Pura Langgar yang menjadi tempat ibadah umat Hindu dan umat Islam. Ini bentuk toleransi yang sangat tinggi bagi masyarakat Bali," kata guru besar Fakultas Sastra Unud itu.

Menurut dia, kebudayaan menjadi kekuatan yang besar dalam kegiatan spiritual masyarakat Bali. "Tari-tarian, seperti tari Gambuh sangat sakral dibawakan di pura," kata Ardika.

Suryanti mengingatkan bahwa mulai saat ini jangan ada lagi upaya meminggirkan unsur kebudayaan dalam pembangunan sektor apa pun.

"Kalau sampai itu terjadi, kita akan malu sebagai tuan rumah WCF karena dunia luar akan menganggap bahwa masalah budaya di Indonesia ternyata hanya sebatas teori," katanya.

Selain Wamendikbud dan dua pakar spiritual dan budaya, pertemuan membahas strategi menghadapi WCF itu juga menghadirkan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Rai, Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra, perwakilan dari Universitas Warmadewa Denpasar, Universitas Mahasaraswati, Wahana Lingkungan Hidup, IDEP Foundation, Bali Sruti, dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

-

Arsip Blog

Recent Posts