Kementerian Tidak Peka terhadap Kebudayaan

Jakarta - Seniman yang juga budayawan Indonesia, Remy Sylado, menilai, ada dua kementerian yang terkait masalah kegiatan kebudayaan, terkesan tidak peka terhadap seni dan budaya.

"Dua pejabat kementerian itu adalah Kemendikbud dan Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif, yang sama-sama tidak mempedulikan kebudayaan, bukannya menghampiri tetapi malah menjauhi," katanya saat tampil sebagai pembicara pada Temu Redaktur Kebudyaan se-Indonesia yang dibuka Mendikbud Mohamad Nuh di Gedung Utama Kemendikbud Jakarta, Rabu.

Menurut Remy, mestinya, kalau pejabat-pejabat itu peka, harusnya mengundanag secara rutin para pelaku seni dan budaya dan memberitakannya terkair apa yang bisa dilakukan pemerintah kepada pelaku seni budaya tersebut.

Di bagian lain, Remy dengan gaya kekhasan dan unik yang selalu tampil dengan menggunakan baju dan celana putih-putih itu mengatakan kebudayaan masa lalu dengan masa sekarang memang sudah jauh berbeda,

"Dulu masyarakat senang dengan karya-karya maupun sastra lokal dengan berbagai khas dan latar belakang yang benar-benar menyentuh dengan kehidupan saat ini," katanya.

Temu Redaktur kebudyaan yang merupakan kerjasama antara PWI dan Kemendikbud, terkesan ada masalah pelik yang dihadapi oleh media pers saat ini. Masalah yang dihadapi di antaranya halaman budaya yang cenderung merosot.

Selain itu, ada kecenderungan hilangnya hubungan antara seniman dan budayawan, media, dan pejabat kesenian dan kebudayaan, serta makin berkurangnya diskusi publik tentang kebudayaan dan serbuan gaya hidup, musik dan film asing yang masuk di tanah air.

"Sebenarnya dari berbagai acuan di atas, bukanlah semata-mata masalah yanag hanya dihadi oleh pers sebagai piranti komunikasi yang menyajikan persoalan-persoalan seni dan budaya, tetapi juga merupakan masalah tersendiri yang harus dilihat pelaku seni budaya dan khalayak ramai yang membacanya." ujarnya.

Sementara budayawan lainnya, Mudji Sutrisno mengatakan, nara sumber lainnya mengatakan bacaan kebudayaa bukan lagi teori besar, melainkan sebagai keseharian perilaku dan peri kehidupan yang dimaknai hingga bacaan budaya menjadi bacaan rakyat dan sehari-hari yang dimaknai sebagai berhaarga.

Ia mengatakan, untuk memaknai bahasa kebudayaan, orang harus masuk dari dalam dan hidup di dalamnya termasuk mengenali bahasa dan simbol-simbol untuk membaca hati kebudayaan dalam tahan bahasa itu.

Dalam temu redaktur kebudayaan itu, rekan-rekan media diimbau untuk tetap selalu menyediakan rubrik dan halaman khusus di masing-masing media yang mereka pimpin maupun miliki.

Diakui atau tidak bahwa halaman media memang tidak semua media cetak memilikinya, umumnya media yang bersangkutan memiliki alasan tersendiri mengapa tidak menyediakan halaman itu.

"Kami berharap dengan pertemuan redaktur kebudayaan hari ini bisa melahirkan satu rumusan dan kebijakan yang tidak hanya sampai ditingkat pusat tetapi juga mengangkat kearifan budaya lokal yang bisa menasinoal," ujar para nasa sumber tersebut.

-

Arsip Blog

Recent Posts