Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Mengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.

***

Sumber: Unknown
-

Arsip Blog

Recent Posts