Oleh : Dra. Yudiaryani, M. A.
Identitas Tradisi Lisan dalam Pertunjukan Teater
Jan Vansina memberi batasan tradisi lisan (oral tradition) sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more. Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di sini tidak termasuk rerasan masyarakat atau gosip yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.1
Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, dan mantra yang terkandung dalam tradisi lisan. Dengan demikian, luas dan beragamnya muatan dalam tradisi lisan menjadikannya sumber penulisan bagi antropolog, sejarawan, penulis naskah drama, dan pekerja seni lainnya.
Di dalam penulisan naskah drama dan pertunjukan teater modern, tradisi lisan sudah memberi kontribusi yang cukup banyak. Kisah Mahabharata banyak menjadi ide penulisan naskah drama dan pertunjukan teater, di antaranya Karno Tanding, yang merupakan kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang di tahun 1998. Peter Brook memproduksi Mahabharata di tahun 1987 menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi dengan cara tampilan yang modern. Kemudian Ku Na'uka Theater Company dari Jepang mengusung cerita-cerita dalam Mahabarata melalui kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta tahun 2005. Pertunjukan teater La Galigo juga berdasarkan cerita lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis Kuno, yang dipentaskan di beberapa negara tahun 2003.
Di mancanegara pun cerita lisan memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama dan pertunjukan teater. Di Negara Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa diketahui siapa pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya menjadi drama trilogi, yaitu Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh seniman masa kini dalam pesan-pesan konteks yang berbeda, seperti ketika Rendra mementaskan Oidipus Sang Raja.
Dengan demikian, pertunjukan teater Indonesia tidak asing dengan kontribusi dari cerita-cerita lisan. Banyak pertunjukan teater modern dan kontemporer berawal dari cerita-cerita rakyat/lisan, yang disampaikan melalui naskah drama atau langsung ke atas panggung pertunjukan teater.
Cerita lisan yang berkembang awalnya dari suku-suku bangsa yang belum mengenal tata tulis, pada perkembangan waktu kalangan terpelajar dengan budaya tulisnya menyebabkan cerita lisan tersebut menjadi dikenal di luar lingkungannya dan mendapatkan cara pembacaan dan penanggapan yang baru. Identitas cerita lisan atau tradisi lisan tidak lagi berbicara "hanya" di sekitar pemiliknya, tetapi juga bersinggungan dengan nilai-nilai budaya dari penikmatnya yang lain.2
Identitas penikmatnya menyebabkan identitas tradisi lisan pun mengalami perubahan. Makna kehadiran tradisi lisan turut mengalami perkembangan. Demikian juga elemen-elemen tradisi lisan dan bagaimana cara penyebarannya, serta fungsinya dalam masyarakat juga berubah. Penting mempelajari bagaimana seorang seniman masa kini mempelajari tradisi. Dipastikan mereka mempelajarinya berkat versi seniman lain.3 Versi tersebut terekam dalam bentuk pertunjukan dan bentuk tertulis. Persoalannya adalah seberapa jauh rekaman tertulis menampilkan keutuhan tradisi lisan, karena sebuah tulisan sering hanya merekam kepentingan penulisnya. Seberapa jauh pertunjukan merekam tradisi lisan, karena hal tersebut tergantung pada situasi perekaman dan tanggapan penontonnya. Dengan demikian, versi yang dibuat dan dikenal dari generasi ke generasi berikutnya menunjukkan perkembangan cara perekamannya dan cara menanggapinya
Pertunjukan Teater
Pertunjukan teater di samping tari, musik, dan puisi—adalah media yang mampu menjadi alat perekam tradisi lisan. Eric Bentley menyebutkan bahwa "sesuatu" dibuat oleh A (seniman) menjadi B (karya seni) untuk C (penonton).4 Peristiwa-peristiwa faktual dalam sejarah lisan dan narasi fiktif dalam tradisi lisan diolah kembali oleh seniman teater menjadi pertunjukan teater untuk penonton. Di dalam pertunjukan teater, kehadiran penbonton penting karena tanpa penonton tak ada teater.
Di dalam pembicaraan tentang pertunjukan teater di Indonesia, sering didengar istilah 'teater tradisi' dan 'teater modern'; 'teater istana' dan 'teater rakyat'; 'teater daerah' dan 'teater kota'. Istilah-istilah tersebut yang akan dilekatkan pada sebuah pertunjukan teater perlu didudukkan terlebih dahulu dalam rangka memperjelas identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.
Teater Istana dan Teater Rakyat
Istilah 'istana/bangsawan' dan 'rakyat' mencerminkan suatu status sosial seniman dan fungsi pertunjukan bagi status penonton secara sosial di mana pertunjukan teater istana dan rakyat diproduksi oleh seniman bagi kepentingan status sosial mereka. Istilah 'daerah' dan 'kota' mencerminkan perubahan dan pergeseran wilayah geografis dari desa ke kota yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta perubahan wilayah yang dulu desa menjadi kota secara administratif.
Istilah 'tradisi' dan 'modern' digunakan untuk memaknai karakter, watak, dan pemahaman yang akan dilekatkan ke dalam pertunjukan. Dalam istilah tersebut, gagasan ideologis ikut serta membentuk makna pertunjukan tersebut. Dengan demikian, mencoba memaknai kehadiran sebuah pertunjukan teater dapat diawali dari bentuk atau identitas mereka, setelah itu, barulah mengamati perubahannya.
Teater Istana. Teater istana/keraton/bangsawan merupakan seni pertunjukan yang muncul di kalangan para raja dan bangsawan sejak abad ke¬4M. Pada masa itu kehidupan teater menjadi amat penting dalam upacara keagamaan.5 Hinduisme berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan kemudian di Pulau Bali. Para raja serta bangsawan pada masa itu memang membinanya. Banyak prasasti yang mengungkapkan adanya seni pertunjukan teater di kalangan istana, seperti relief-relief di candi Borobudur dan Prambanan. Contoh pertunjukan teater istana ini, Wayang Orang, hanya untuk menyebut pertunjukan yang berkembang di istana atau keraton.
Pertunjukan teater istana muncul bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan di Indonesia.6 Pertunjukan teater istana dilakukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga, yaitu Pandawa dan Korawa dalam kisah Mahabharata. Pertunjukan akbar yang berlangsung sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa penting di istana, seperti ulang tahun berdirinya istana, ulang tahun Raja atau Sultan, dan pernikahan putra-putri Raja atau Sultan. Pertunjukan teater istana menduduki tiga fungsi utama, yakni sebagai ritus, sebagai pelengkap kebesaran raja, dan sebagai hiburan yang menekankan pada selera estetika tinggi.7
Teater Rakyat. Cerita-cerita lisan tidak hanya digunakan dalam pertunjukan teater istana, tetapi juga di dalam pertunjukan teater rakyat. Teater rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkap kehendak masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut.8 Pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut. Kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif. Ketiga, sebagai alat seseorang menegur orang lain yang melakukan kesalahan. Keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan. Kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah.
Pertunjukan teater rakyat yang diadakan di pedesaan sering dianggap sebagai teater komunal karena sifatnya yang diperuntukkan kepentingan masyarakat.7 Pemainnya adalah semua anggota masyarakat atau komunitas bersangkutan. Sifat pertunjukan ini improvisasi, tanpa koreografi yang pasti. Bentuk teater komunal dianggap juga sebagai teater primitif.9
Pertunjukan teater rakyat banyak terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah di Indonesia. Suatu ciri yang tampak khas dari pertunjukan teater rakyat adalah bentuk dan gaya teater tutur/lisan, seperti dalam pertunjukan Sinkrilik dari Sulawesi, Kentrung dari Jawa Timur, Bakaba dari Minangkabau, dan Cakepung dari Bali/Lombok. Meskipun sebenarnya pertunjukan teaternya tidak menghadirkan peristiwa dramatik, namun seorang pencerita akan menuturkan secara lisan cerita dramatiknya.10 Pertunjukan teater rakyat mengenal adanya pertunjukan dengan cerita tertentu untuk peristiwa upacara tertentu, misalnya upacara kelahiran, inisiasi, ruwatan (permohonan ampun), kurban, perkawinan, dan meninggal dunia (seratus hari, nyadran, nyewu). Juga ada pertunjukan yang diperuntukkan kelompok sosial tertentu, seperti kesenian untuk upacara tanam padi, panen, dan bersih desa.
Pertunjukan teater rakyat dan teater Istana seringkali membawa kelangsungan pertunjukan teater primitifnya dan membawa juga pengaruh pertunjukan teater istana,seperti pertunjukan Langendrian yang semula adalah pertunjukan teater rakyat kemudian ditampilkan di kalangan keraton dan kemudian menjadi pertunjukan teater istana.
Teater Daerah dan Teater Kota
Teater Daerah. Teater rakyat muncul dan berkembang di daerah-daerah tertentu dengan mengusung ciri khas daerah tersebut.11 Ciri-ciri khas kedaerahan terletak pada suasana yang berlangsung selama pertunjukan, stilisasi elemen-elemen pendukung pertunjukan, serta sistem pelatihan yang dihasilkan dari sistem berguru atau nyantrik. Pertunjukan teater daerah sering dianggap sebagai teater total, karena terbentuk dari paduan berbagai elemen seni pendukung, misalnya tarian, nyanyian, dan akting, dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat serta pribadi-pribadi.
Biasanya teater daerah dipentaskan di daerah pedesaan. Suasana ketika pertunjukan berlangsung santai, sehingga menumbuhkan suasana betah bagi penontonnya. Suasana semacam itu sampai sekarang masih ditemui dalam pertunjukan ketoprak, wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan drama gong yang di selenggarakan di desa-desa di luar gedung pertunjukan.
Penonton teater daerah sering melakukan interaktif dengan pertunjukan. Mereka menonton dengan cara duduk melingkar di sekeliling panggung pertunjukan, sehingga kebersamaan mereka dengan pertunjukan menjadi dekat dan kuat. Misalnya, mereka dapat langsung mengomentari adegan yang sedang berlangsung; mereka bersuit-suit ketika pemain favorit mereka muncul; mereka bertepuk tangan ketika terjadi adegan perang, perkelahian, atau ketika ada tembang yang mempesona perasaan mereka, seperti pertunjukan Ketoprak dan Ludruk.
Pertunjukan teater daerah direncanakan untuk penonton yang lebih menyeluruh. Sifat totalitas teater daerah ini sering menjadikan teater daerah sebagai "alat" bagi kepentingan tertentu anggota masyarakat. Di dalam pertunjukan teater daerah di Indonesia terdapat titik di mana realitas atau dunia nyata tenggelam dalam pengindahan sehingga menjadi ungkapan tari murni, misalnya di dalam pertunjukan Topeng Babakan (Cirebon), Legong (Bali), dan Bedaya (Jawa).12
Teater kota. Teater kota mencerminkan adanya pergeseran masyarakat daerah dengan kesenian dan nilai budayanya yang bersifat kedaerahan pula. Kelahiran kebudayaan kota—dan bersamanya juga kesenian perkotaan—terjadi pada saat timbulnya kesadaran bahwa perangkat nilai yang ada tidak lagi dapat menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh adanya perubahan lingkungan dan hubungan antarmanusia.
Bentuk kesenian kota hadir dari keseimbangan sosial baru di kota-kota besar. Oleh karena kota menjadi wilayah pertemuan antarbudaya, pertunjukan teater kota mencerminkan suatu potensi menyerap kebudayaan Barat—atau mancanegara—, tetapi sekaligus cenderung menoleh kepada budaya daerah yang masih memiliki potensi saling keterhubungan yang mengindonesia. Kebudayaan masyarakat kota hadir melalui bentuk pertunjukan teater yang baru.
Ciri-ciri teater kota semacam ini sebagai berikut.13 Pertama, pertunjukan teater ini dianggap sebagai teater kota yang "tradisional". Teater ini mengacu kepada bentuk kesenian serta nilai-nilai budaya yang dikenal sebelumnya Pada waktu Wayang Orang mulai diapresiasi oleh penonton, Wayang Orang komersial itu pun menjadi satu pertunjukan teater kota yang kedaerahan. Contoh lainnya adalah pertunjukan Ketoprak Humor, Ketoprak Plesetan, dan Ketoprak Ringkes. Kedua, pertunjukan teater dikembangkan melalui nilai budaya daerah yang lebih urban sifatnya. Teater kota ini lebih berorientasi kepada lingkungan kota besar yang berorientasi kepada nilai-nilai budaya komersial. Misalnya Teater Srimulat, Teater Gandrik, dan Teater koma. Ketiga, pertunjukan teater kini bergaya Mini Kata Rendra. Pertunjukan teater kota kontemporer atau teater kini. Gaya pertunjukan teater ini berkembang dari satu orientasi tentang kebudayaan baru sebagai konsekuensi kemerdekaan Indonesia.
Khusus untuk karakteristik ketiga, Kayam menyebutkan bahwa bentuk pertunjukan bergaya Mini Kata harus mampu menciptakan satu idiom teater yang sama sekali baru dan berbicara di depan penonton yang baru. Artinya, idiom teater yang Indonesia di hadapan penonton yang Indonesia, namun memiliki bingkai berbeda, yaitu konteks orientasi terhadap pilihan bentuk sebagai pertunjukan teater Indonesia baru.14
Teater Tradisi dan Teater Modern
Dengan demikian, teater Indonesia berada dalam ketegangan antara identitas teater istana dan teater rakyat, serta teater daerah dan teater kota. Perkembangan watak masyarakat di kalangan istana dan rakyat serta perkembangan wilayah desa/daerah menjadi kota sekaligus menunjukkan perkembangan dan perubahan sifat pertunjukan teater yang tradisi menjadi pertunjukan teater bersifat modern bahkan kontemporer.
Modernisasi teater Indonesia sesungguhnya mencerminkan tiga jalur perkembangan. Jalur pertama adalah jalur pembaratan yang menggeser masyarakat Indonesia yang berwajah petani menjadi wajah keterpelajaran. Jalur kedua yaitu jalur nasionalisme di masa prakemerdekaan yang telah berjalan lebih dari setengah abad.15 Jalur ketiga, pada saat berakhirnya satu tatanan politik negara yang berakhir dengan sebuah peristiwa benturan besar yang dikenal sebagai gerakan G30S PKI.16 Walaupun agak jauh jarak waktu antara ketiga jalur itu, ketiganya sekarang bertemu dan bergulat ikut mengisi pengertian baru kata "Indonesia".
Bahkan saat ini teater Indonesia mengalami perkembangan dengan hadirnya peristiwa kebangsaan yang dikenal dengan era reformasi. Babakan baru atau jalur keempat ini menjadi penting karena makna keIndonesiaan mulai dipertanyakan dan dihadapkan dengan multikulturalisme kedaerahan yang cenderung mengedepankan ketegangan antara Indonesia dan daerah dalam wacana pluralisme, individualisme, dan, demokratisasi.
Kata "Indonesia" tidak lagi berarti bukan lagi kota ataupun daerah, tetapi sebuah bentuk dan gaya baru yang unik dalam maknanya sendiri terhadap kepekaan yang disebut kepekaan Indonesia.17 Pada saat seniman berkomunikasi dengan "orang Indonesia", ia diharapkan mampu menyelesaikan masalah bahwa orang Indonesia kebanyakan bikultural, yaitu berbicara dalam kerangka budaya Indonesia dan daerah. Indonesia adalah— meminjam istilah Bennedict Anderson—komunitas-komunitas terbayang yang di dalamnya membayang suatu pergumulan, tarik menarik, dan ketegangan secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai keIndonesiaan.1$
Antara kedua nilai tersebut memiliki proses perjalanan sinkronis yang baru di mana bentuk teater Indonesia yang berada pada posisi yang memungkinkan hadir sebagai pihak yang hidup secara sejajar dengan teater¬teater daerah yang hadir lebih lama—kalaupun pernah saling jumpa, toh nyatanya mereka tak berjalan sepanjang arah yang sama. Artinya, di masa prakemerdekaan, makna kedaerahan seolah tersingkir untuk menemukan makna Indonesia. Pascakemerdekaan makna kedaerahan seolah mendapat tempat untuk berkembang. Namun di tahun 1960-an kembali makna kedaerahan tergusur dengan universalitas yang melanda dunia saat itu. Saat ini, masalah identitas pertunjukan teater Indonesia yang pernah "mentradisi" seolah dipertanyakan kembali fungsinya.
Keberadaan multikultralisme dalam teater Indonesia menyebabkan bentuk-bentuk pertunjukan teater istana, teater rakyat, teater daerah, dan teater kota melekat di dalamnya. Sifat dan ideologis dalam bentukan pertunjukan, status sosial penggarap pertunjukan teater, dan perubahan wilayah geografis penimat pertunjukan teater menjadi elemen-elemen pendukung terciptanya suatu bentuk pertunjukan teater Indonesia.
Dengan demikian, mungkinkah nilai tradisi lisan yang tumbuh di kalangan warga daerah/desa tetap mampu menyampaikan pesan kulturalnya kepada warga kota yang Indonesia? Bagaimana cara mengkomunikasikan nilai¬nilai tradisi lisan kepada penikmat/penonton yang sedang berubah? Apakah watak pertunjukan teater modern Indonesia yang multikultur dan bilingual mampu menjadi wahana komunikasi nilai-nilai tradisi lisan?
Identitas Masyarakat Indonesia dan Teater Indonesia
Masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat yang "digempur" oleh nilai-nilai kapitalisme. Kondisi ini dapat diamati pada kehidupan manusia di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. Keadaan ini belum akan terbayangkan pada orang-orang yang hidup di pedesaan, yang secara relatif masih kurang dirasuki oleh sistem kapitalisme. Sistem Kapitalisme memiliki nilai-nilai di antaranya, konsumerisme, individualisme, dan pragmatisme.
Konsumerisme merupakan sesuatu yang wajar dalam sistem kapitalisme karena dengan konsumerisme lah sistem ini bergerak dan hidup. Konsumerisme berarti memperluas pasar. Orang menjadi membeli barang¬barang yang diproduksikan. Karena itu, para produsen berusaha mendorong konsumerisme. Dengan demikian, konsumerisme dan kapitalisme merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Etos kerja manusia modern Indonesia pun harus dihubungkan dengan sistem kapitalisme. Pragmatisme menggejala di mana-mana. Di bawah sistem kapitalisme, orang harus berkompetisi. Kalau dia kalah dalam kompetisi, maka dia akan tersingkir dan menjadi miskin.19
Di manakah letak seni tradisi dalam masyarakat kota yang modernis? Mungkinkah nilai tradisi lisan yang pernah menjadi landasan hidup komunal diubah dan digeser menjadi seni modernis?
Rendra menyatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu membutuhkan nilai-nilai tradisi dalam rangka memperbaiki hidup bermasyarakatnya. Nilai tradisi menjadi ungkapan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Ia membantu memperlancar tumbuh kembangnya pribadi anggota masyarakat.20 Besarnya sumbangan nilai tradisi terhadap perkembangan nilai bermasyarakat karena nilai tradisi masih menjalankan adat kebiasaan di kalangan masyarakat pemiliknya secara turun temurun.
Perubahan zaman mengubah pula pertunjukan teater daerah menjadi teater modern. Selera masyarakat pendukungnya berubah, sehingga identitas seni daerah pun berubah. Pertunjukan teater daerah semakin terpisah dimensinya dari kecenderungan untuk menjadi teater daerah yang bersifat tradisi, untuk kemudian berubah menjadi pertunjukan teater yang lebih bersifat modern. Elemen-elemen pertunjukan daerah difungsikan untuk kegunaan yang lebih luas. Tidak sekedar kepentingan komunal tetapi juga masyarakat luas. Istilah tradisi dan modern digunakan untuk menampilkan sifat teater daerah yang terus menerus mengalami perkembangan. Tradisi menjadi sifat dari suatu kondisi yang menetap dan selalu ada secara turun temurun, sedangkan modern menjadi sifat dari suatu keadaan yang selalu berubah dan berkembang dengan mengikuti perubahan zaman.
Pertunjukan teater yang memiliki sifat atau watak tradisi menuntut totalitas ekspresinya. Sifat perlawanan yang khas teater tradisi harus tetap ditampilkan. Oleh karena teater tradisi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, yang berarti menunjukkan kedekatan sifatnya dengan lingkungan, maka seniman teater tradisi dituntut untuk terus¬menerus berdialog, baik dengan persoalan teknis maupun wacana di luar tradisi mereka.
Teater tradisi dengan sifat-sifatnya yang komunal dialogis, di satu sisi, terkadang mudah dipengaruhi oleh semacam sistem kekuasaan yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Hirarki birokrasi yang menjadi sifat kekuasaan, misalnya, merasuki sifat-sifat komunal tradisi kerakyatan. Akibatnya, kesenian tradisi mudah dimanfaatkan oleh penguasa untuka menyamp[aikan pesan=pesan ideologis mereka kepada rakyat. Pemanfaatan tersebut menyebabkan ekspresi rakyat yang biasanya tersalurkan melalui media teater tersumbat.21 Keinginan masyarakat terkadang tidak selaras dengan apa yang diinginkan dalam sistem pemerintahan, sehingga kesenian pun akhirnya menjadi cerminan bagi konflik yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya.
Di sisi lain, kekuasaan mampu menjadikan teater tradisi menjadi media yang efektif bagi rakyat dan seniman untuk melakukan kritik terhadap pemerintah. Pertunjukan teater tradisi dianggap sebagai media bagi budaya perlawanan atau budaya tanding dari rakyat kepada pemerintah.
Tepatlah seperti yang disampaikan Rendra bahwa tradisi tidak harus dipandang bukan sebagai barang mati. Sikap seniman bukanlah sikap "benalu" pada tradisi. Dengan kata lain, Rendra menolak sikap yang memperlakukan tradisi sebagai 'kasur tua untuk tidur-tidur saja, bermalas¬malas menempuh gaya hidup cendawan'.22
Dengan mendudukkan teater tradisi sebagai teater yang sedang berproses, maka teater tradisi memiliki ruang pembebasan yang ada dan terjadi dalam dirinya sendiri, yaitu pembebasan melalui nilai-nilai kedaerahannya.23 Proses pembebasan tersebut dianggap Umar kayam sebagai 'pembebasan budaya-budaya daerah' dan Rendra menyebutnya dengan 'mempertimbangkan tradisi', sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan 'budaya tanding'. Proses ini akan menunjukkan sifat tradisi yang cair, plastis, dan dinamis.
PERTUNJUKAN TEATER INDONESIA
TEATER DAERAH TEATER KOTA
BERSIFAT TRADISI BERSIFAT MODERN
TEATERISTANA TEATER RAKYAT TEATER
TEATER
KONTEMPORER/BARU
..
Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater
Primitif Klasik Tutur Topeng Tari verbal Kata Tubuh/ Seni
bersifat bersifat Mini Rupa
tradisi tradisi Kata
Pertunjukan Teater Indonesia Kini
Pertunjukan Teater Indonesia Sebagai Pembacaan Budaya Sumber (Tradisi Lisan) bagi Budaya Target (Apresiasi Penonton)
Menempatkan peran aktif pembaca sebagai pembaca karya seni berarti menghadirkan suatu proses interpretasi. Seperti yang disampaikan oleh Janet Wolf bahwa proses interpretasi adalah sebuah proses mencipta kembali, yang berarti juga refungsi makna karya tersebut. E. D. Hirsch Jr. menganggap bahwa beralihnya pusat pemaknaan ke tangan setiap pembaca menyebabkan makna karya seni menjadi berbeda-beda. Tak ada lagi determinasi dan kekuasaan pengarang, yang ada hanyalah proses interpretasi terus menerus dari pembaca terhadap apa-apa yang disampaikan pengarang.
Dalam ilmu sastra, pandangan yang memberi tempat yang penting kepada peran pembaca tersebut telah melahirkan teori yang dikenal dengan teori resepsi. Teori ini berangkat dari peran pembaca dalam proses pembacaan.24 Pada waktu menghadapi suatu teks, pembaca sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan. Kedalaman bekal pembaca diangkat dari "gudang" pengetahuan dan pengalamannya yang diistilahkan sebagai literary repertoire,25 yaitu "gudang" pembaca yang berisikan seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang dimanfaatkan dalam proses pembacaan pembaca.
Gudang pengetahuan pembaca senantiasa bertambah dan berubah, sehingga hasil penerimaan dan sambutan berbeda pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam proses membaca terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya. Kondisi tersebut selanjutnya menghadirkan varian-varian teksnya.
Kehadiran varian-varian teks tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya sebuah teks jika belum dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak. Karya cipta baru menjadi karya seni, yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca.26 Teori yang merupakan manifestasi dari pandangan— yang sering disebut resepsi estetika—itu dalam menghadapi karya seni, memandang pembaca melakukan tindakan yang dalam ilmu sastra disebut konkretisasi. Hirsch menyebutnya sebagai tindakan interpretasi.
Interpretasi pembaca terhadap pertunjukan tradisi lisan yang sesuai adalah pembaca yang membaca selaku peneliti. Peneliti dalam tradisi lisan merupakan pembaca model (model reader)27, karena di dalam proses pembacaannya teks tidak akan pernah menjadi target, tetapi teks adalah prafigur yang cara menanggapinya tergantung pada peranannya sebagai pembaca. Maka dari itu, proses membaca model menjadi cara berinteraksi antara teks dengan tanggapan pembaca secara dinamis.28 Peran pembaca model tersebut mendudukkan teks menjadi suatu karya artisik dan teks sebagai karya estetik. Karya artistik mengacu pada karya-karya yang dicipta seniman melalui materi-materi pilihannya dan teknik ungkapnya, sedangkan karya fiksi menjadi estetik jika telah direalisasi dan ditanggapi pembaca. Sebuah karya artistik menjadi karya estetis berkat resepsi estetis pembaca atau penonton.
Namun demikian, pembaca tradisi lisan tidaklah dapat semaunya memilih perspektif. Ia tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara utuh. Pembaca hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks sebenarnya, bukan juga imajinasi pembaca, tetapi kehadiran bersama teks dan imajinasi pembaca. Dimensi semu karya seni membantu pembaca untuk mengaktifkan potensi bacaannya (imajinasinya) yang mampu mencipta kembali kebaruan dunia teks. Hasilnya adalah bentuknya baru, tetapi teksnya tetap lama. Teks hadir dengan seluruh realitas kebaruannya, yaitu ada intensi pengarang, karya, dan interpretasi pembacanya.29
Kegiatan membaca tradisi lisan adalah membangun kembali dimensi semu dari teks secara aktual. Dimensi semu di dalam teks mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada kemungkinan indeterminasi,30 yaitu ruang yang memberi kesempatan bagi imajinasi pembaca berpartisipasi untuk mengkonstruksi apa yang dibacanya.31 Hasilnya adalah pembacaan yang berulang. Pengulangan pembacaan tidak hanya menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman membaca, tetapi juga pengembaraan pembacaan secara inovatif.32
Pertunjukan tradisi lisan berarti menuliskan rangkaian konkretisasi dari transformasi elemen-elemen pertunjukan teatrikal tradisi lisan kepada penontonnya.33 Keadaan tersebut dapat dilakukan dengan cara. Pertama, pembentukan mise en scene, 'konkretisasi pemanggungan' tradisi lisan. Kedua, rekonstruksi dan refungsi langkah-langkah penciptaan artistik secara metodis, sistematis, dan teknis.34 Patrice Pavis menyebutkan dua faktor yang harus diperhatikan dalam membentuk mise en scene, yaitu, kekuatan budaya sumber dan budaya target.35 Dalam gambar di bawah ditunjukkan Pavis bagaimana pertemuan antara budaya sumber (produser, si pengirim) ke budaya target (si penerima, penonton) melalui mise en scene.
Pertemuan Budaya 3umber dan Budaya target
source culture = budaya sumber; target culture = budaya target;
original situation of enunciation = situasi pengirim; intended situation of enunciation = situasi penerima.
Wilayah (T) merupakan mise en scene atau wilayah pertemuan teatrikal antara wilayah ucapan situasi pengirim yang sebenarnya dan wilayah ucapan situasi yang diharapkan penerima. Antara keinginan pengirim yang sebenarnya dengan harapan yang diterima penerima tidak berlangsung secara utuh. Pertunjukan tradisi lisan sebagai wilayah konkretisasi mise en scene tetap menyisakan wilayah semu atau abu-abu.
Tahapan pertemuan budaya sumber dan budaya target (T) dalam mise en scene pertunjukan berlangsung sebagai berikut.36
Tahapan proses pertemuan Budaya Sumber dan Budaya Target
Tahap pertama, (To) yaitu identifikasi gagasan tradisi lisan. Tahapan ini berada dalam wilayah budaya sumber yang dikenal seniman. Gagasan masih abstrak dan berada di angan dan pikiran seniman, sehingga gagasan ini belum memiliki bentuk yang jelas. Tahapan ini dapat digunakan sebagai cara menemukenali kembali cerita lisan yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat. Tahapan ini menjadi sumber garapan pertunjukan, dan juga menjadi sumber budaya yang menjadi pesan kepada penerimanya.
Tahap kedua, (T1) yaitu observasi artistik tradisi lisan. Tahapan ini merupakan textual concretitation (konkretisasi tekstual), yaitu usaha seniman mengkonkretkan gagasan melalui bentuk artistik. Cara yang dilakukan adalah mencari spirit tradisi yang pernah dikenali. Misalnya, kisah Palguna-Palgunadi, kisah Roro Jonggrang, kisah Srikandi belajar Memanah, atau kisah Djoko Tingkir bisa menjadi sumber pesan yang akan disampaikan seniman.
Tahap ketiga, (T2) perspektif seniman. Tahapan ini merupakan tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi dramaturgis), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman dengan perspektifnya. Konteks¬konteks mulai diperhitungkan seniman. Budaya target penerima mulai ditanggapi oleh pengirim, karena dramaturgi menampilkan keterkaitan antara seniman dan penonton. Selera penonton mulai diamati dengan cermat. Kecenderungan artistik yang disukai menjadi bahan olahan mereka.
Tahap keempat (T3), stage concretitation (konkretisasi pemanggungan), transfer gagasan melalui konkretisasi pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen¬elemen media pemanggungannya.
e. Tahap kelima (T4), receptive concretitation (konkretisasi resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi penerimaan, yaitu ujicoba mendekatkan ungkapan gerak spontan dengan penerimanya melalui pertunjukan. Budaya target yang dimiliki penonton mulai diperhitungkan seniman. Selera modern bertemu dengan artistik seni tradisi. Proses penyampaian tentu saja menuntut kreativitas artistik yang saling tarik ulur dengan penonton.
Pertunjukan teatrikal tradisi lisan ditampilkan di hadapan penonton Indonesia yang memiliki beragam interpretasi. Tahapan Pavis tersebut dapat digunakan untuk membaca bagaimana seorang seniman membangun kreativitas artistiknya dan bagaimana menyampaikannya pada penonton
1Pendapat Jan Vansina ini dikutip Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 25.
2Amin Sweeney, A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay world (London: University of California Press, Ltd., 1987), 3.
3James Dananjaya, "Fungsi Teater Rakyat Bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia. (Ketoprak/Dagelan Siswo Budoyo Sebagai Suatu Kasus Studi)", dalam Edi Sedyawati. Sapardi Djoko Damono, ed. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1983), 80.
4Oscar G. Brockett, The Essential Theatre. Fourth Edition (Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1988),19.
5I. Made Bandem, & Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), 22.
6Soedarsono, Seni pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 145.
7Soedarsono, 2002, 140 - 141.
8Dananjaya, 1983, 81.
7Bandem & Sal Murgiyanto, Teater daerah, 1996, 20.
9Jacob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), 16.
10 Sumardjo, 1992, 39.
11Bandem & Sal Murgiyanto, Teater Daerah, 1996, 14.
12 Bandem & Sal Murgiyanto, 1996, 15.
13Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), 93.
14 Kayam, 1981, 94.
15Umar Kayam, "Pembebasan Budaya-Budaya Kita", dalam Agus R. Sarjono, ed. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Sejumlah Gagasan Di Tengah Taman Ismail Marzuki, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1999), 72.
16Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 170.
17Saini Kosim, "Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Dalam MultiKulturalisme", dalam Keragaman dan Silang Budaya. Dialog Art Summit, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Thn IX-1998/1999 (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 194.
18Benedict Anderson, Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 2001), 286. Di dalam buku ini Anderson menjelaskan bagaimana hubungan emosional, politik, ekonomi, dan sosial antara negara Eropa dan negara koloninya, Amerika. Bahwa meskipun Amerika sebagai negara merdeka, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan negara induknya, Eropa. Sekuat apa pun Amerika berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Eropa, namun Amerika tetap merupakan suatu ”komunitas bayangan” Eropa.
19Arief Budiman, "Konsumerisme dan Etos Kerja dalam masyarakat Modern", dalam Johanes Mardimin, ed. Jangan Tangisi Tradisi. Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), 98.
20Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: PT Gramedia, 1984), 3.
21Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 252.
22Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, 1984, 6.
23Kayam, "Pembebasan Budaya, dalam Sarjono, ed., Pembebasan Budaya¬Budaya Kita, 1999, 70.
24Teori resepsi dikemukakan pertama kali oleh Hans Robert Jauss. Jauss berhasil mensistematiskan pandangan ini menjadi suatu landasan teoretis terhadap berbagai varian interpretasi. Siti Chamamah Soeratno mengamati teori resepsi yang dapat digunakan sebagai metodologi. "Pengkajian Sastra Dari Sisi Pembaca: Satu Pembicaraan Metodologi", dalam Jabrohim, ed., Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hamnindita Graha Widya, 2003), 137.
25Periksa pula pengamatan Wolfgang Iser dalam bukunya The Art of Reading. A Theory of Aesthetic Response (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1980), 80 - 81. Iser menunjukkan elemen-elemen literary repertoire yang mendukung terbentuknya pedoman-pedoman dialog antara teks dan pembacanya.
26Siti Chamamah S., dalam Jabrochim, ed., Pengkajian Sastra, 2003, 138. Periksa pula Wolfgang Iser, The Implied Reader. Patterns of Communication in Prose Fiction from Bunyan to Beckett (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1974), 274 - 275. Dalam bukunya Iser menjelaskan perubahan karya artistik menjadi karya estetik setelah mendapat tanggapan dari pembacanya.
27Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O'Heady, (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 164.
28Iser, The Art of, 1980, 107. Periksa pula Iser, The Implied Reader, 1974, 274 -
275.
29Vansina, Oral Tradition, 1985, 35.
30Istilah ini dipakai oleh Iser, 1980, 182 - 183.
31Marinis, 1993, 163 - 164.
32 Marinis, 1993, 164.
33Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 136.
34Pavis, 1992, 24 - 25.
35 Pavis, 1992, 136.
36 Pavis, 1992, 185-207.
Data personal
Nama : Dra. Hj. Yudiaryani, M.A
Pendidikan : - S1 (Dra) Sarjana Sastra Perancis UGM
- S2 (MA) Theatre and Film Studies,
University of New South Wales (UNSW)
Sydney, Australia.
- Kandidat Doktor Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada
Pekerjaan (3 Tahun Terakhir)
Staf Pengajar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
Staf Pengajar Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pengelola Jurnal Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurnal Ekspresi ISI Yogyakarta, dan Jurnal Seni dan Pendidikan Imaji, Fakultas Bahasa dan Seni UNY.
Nara sumber dan instruktur dalam seminar dan workshop Penyutradaraan:
2006 Instruktur dan Pemateri pada pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan se-Kalimantan Barat yang diselenggarakan oleh Unit Taman Budaya Propinsi Kalimantan Barat tgl 19 Juni-22 Juni di Pontianak.
2006 Pemateri Metode Pembelajaran Teateral yang disampaikan dalam rangka "Seminar Sehari Guru Teateral", kerjasama Dirjen Pengembangan Mutu dan Kualitas dan Pendidik, Departemen Pendidikan Nasional dengan Federasi Teater Indonesia, Jumat 12 Mei 2006, DEPDIKNAS, Jakarta.
2006 Instruktur dan pemateri workshop Komunitas Teater Kampus se Jabodetabek bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia (FTI) tanggal 21-22 April 2006 di Taman Situ Gintung Ciputat Jakarta Selatan.
2005 Instruktur dan Pemateri pada acara "Pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PEMPROV Kalimantan Barat. Pontianak.Tanggal 23-26 Juni
2005 Koordinator pembuatan Modul Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teater ISI Yogyakarta, Maret-April 2005.
2005 Instruktur untuk acara "Revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi" Jurusan Teater di STSI Padang Panjang, 24-28 Maret 2005.
2005 Ketua Pelaksana Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama kerjasama DKJ-ISI Yogyakarta-LP3Y tanggal 13-15 Januari 2005 untuk wilayah Yogyakarta-Jawa Tengah-Jawa Timur.
2004 Internasional Residency in Art Management, Ford Foundation dan Asia Link selama 3 bulan (Januari - April 2004) di Adelaide dan Melbourne Australia untuk mengamati manajemen komunitas teater perempuan di Australia.
Sebagai Peneliti:
2005-2007 Penelitian Pemanfaatan Modul Pembelajaran Penulisan Naskah Drama Bagi Perempuan Penulis Naskah Drama Berperspektif Jender, Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Dirjen DIKTI.
2003-2004. Penelitian Teater Modern Indonesia di Yogyakarta Tahun 1990-an hingga tahun 2000-an: Kajian Tekstual Teater Garasi dan Teater Eska, Penelitian Dosen Muda, Dirjen Dikti, (2003/2004).
1999-2000 Penelitian Sistem Pembentukan dan Pengembangan Pementasan Teater Modern Yogyakarta: Sebuah Kajian Fungsionalisme Estetika Sosial. (Studi Kasus Pementasan Teater Modern Pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) I s/d X(1989-1999), Proyek Peneliti Muda, Dirjen DIKTI, 1999.
Sebagai Penulis Artikel
2005 Artikel "Memahami Gaya dan Aplikasinya Untuk Penciptaan Teater Masa Kini", dalam Ekspresi Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Volume 15, Tahun 5, 2005.
2005 Artikel "Dongeng dari Teater Perempuan (Menangkap Peluang dan Berpikir Strategis)", dalam acara Pertemuan Perempuan di Panggung Teater Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2005 di TIM yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
2005 Artikel "Teater Antropologi: Teknik Gerak Tubuh bagi Teater Panggung", dalam Jurnal Kebudayaan Selarong , Dewan Kebudayaan Bantul, Volume 4-2005.
2004 Artikel, "Metode Perancangan Penyutradaraan", disampaikan pada Workshop Metodologi Penelitian dan Perancangan Tugas Akhir dengan Proyek Peningkatan ISI Yogyakarta Pengembangan Jurusan dan UPT Perpustakaan Tahun Anggaran 2004, 24-25 Mei 2004, Hotel Ros Inn, Yogyakarta.
2003. Artikel "Teori Mise En Scene Interkultur. Pengenalan Pada Teori Seni Pertunjukan Teater", dalam buku Kembang Setaman. Persembahan untuk Sang Mahaguru. Ed. A.M. Hermien Kusmayati, Yogyakarta.BP ISI Yogyakarta, 2003.
7. Sebagai Juri Festival Teater
2005 Juri dalam penyelenggaraan Festival Teater Kampus se Indonesia (FESTAMASIO) di Taman Budaya Societet Yogyakarta.
2003. Juri Festival Teater Modern Riau di Pekanbaru
2002 Juri festival Teater Modern Riau di Kabupaten Bengkalis Pekanbaru
. Sebagai Sutradara Teater
2006 Mementaskan Konde Yang Terburai (Edisi Khusus] pada tanggal 31 Maret dan 1 April di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, tanggal 3 April di gedung Sawunganten Banten, tanggal 27 April di Teater Besar STSI Surakarta.
2005 Mementaskan naskah "Mandala Diri" dalam rangka memperingati 16 hari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan kerjasama Dengan Serikat Perempuan Kinasih, Taman Siswa 10 Desember 2005, Yogyakarta.
2005. Mementaskan Teater Musikal "Indahnya Kebersamaan" dalam rangka " kerjasama antara S&Y Production dengan Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta dalam rangka 17th Asian Conference on Mental Retardation, 19-23 November 2005, Yogyakarta, Indonesia.
2005 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Konde Yang Terburai dalam rangka "Pertemuan Perempuan di Panggung Teater, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2-6 Agustus 2005.
2004 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Perempuan Mencari Pengarang tanggal 14 & 15 Juli 2004 dalam rangka FKY XVI di Gedung Socitet Taman Budaya Yogyakarta.
2003 Sebagai sutradara (Stage Director] dalam pementasan opera Panji Raja Bali Chandrakirana ISI Yogyakarta. Komposer Prof Vincent Dermott, dalam rangka FKY XV 2003, tgl 19&20 Juni di Yogyakarta.
2003 Sebagai sutradara Komunitas Teater Perempuan ISI Yogyakarta dalam pementasan Vagina Monolog bekerjasama dengan Koalisi Perempuan Indonesia, di Yogyakarta, Maret 2003.
Sumber :
Makalah ini disampaikan dalam rangka kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan dengan tema "Seni Tradisi Lisan Sebagai Wahana Komunikasi Yang Sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah", yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.