Pekanbaru, Riau - Teater Selembayung Riau, sukses pentas di Anjung Seni Idrus tintin selama tiga malam berturut-turut, 26-28 Febuari 2015 lalu. Sebuah kisah yang diangkat dari novel sejarah karya budayawan Riau, Rida K Liamsi, yang kemudian diubahsuai ke dalam bentuk panggung oleh Sutradara, Fedli Azis.
Sepanjang tiga malam itu pula, para pengunjung yang memenuhi Anjung Seni Idrus Tintin dikawasan Bandar Seni Raja Ali Haji purna MTQ Pekanbaru itu, disuguhkan sebuah kisah sejarah yang mengisahkan tentang kisruh kekuasan antara bangsawan Melayu dan Bugis, semasa kejayaan Kerajaan Riau-Lingga. Kisah, di mana Pulau Penyengat, Pulau Bintan, dan Daek masih masih dijadikan pusat kerajaan yang pernah jaya di nusantara itu.
Dalam lakon yang dikemas dengan konsep opera Melayu itu juga tergambar sebuah peristiwa tentang perseteruan antara Bugis dan Melayu. Perebutan kekuasaan antara Tengku Muda ayah Tengku Buntat yang Bangsawan Melayu dengan keturunan Bangsawan Bugis. Kisruh kekuasaan ini harus mengorbankan cinta Raja Djafaar dan Tengku Buntat. Raja Djafaar selaku bangsawan keturunan Bugis-Melayu dianggap akan melemahkan kedudukan Bangsawan Melayu jika dikawinkan dengan Tengku Buntat.
Tergambar jelas bagaimana kekuasaan dan perebutan pengaruh oleh dua puak itu dalam kisah tragis kerajaan Riau-Lingga sehinggalah kerajaan itu dibubarkan oleh penjajah dalam hal itu, Belanda dan Inggris. Kerajaan Riau-Lingga terbagi dalam dua wilayah, Hindia Belanda (Indonesia, termasuk Riau) dalam kekuasaan Belanda dan Semenanjung (termasuk, Johor, Pahang dan Tumasik) dalam kekuasaan Inggris.
Dalam kalang keliwut kepentingan dan kekuasaan itu juga terselip kisah seputar persoalan antara cinta, kekuasaan dan marwah. Kisah cinta sejati antara Raja Djafaar (Bugis) dan Tengku Buntat (Melayu) yang menggetarkan jiwa. Sebuah kisah cinta setara Romeo and Julliet atau Laila dan Majenun. Karena tragedi cinta Cik Puan Bulang (Buntat) itu, telah mengubah haluan sejarah Riau-Lingga. Sehingga sebagaimana ucapan penutup dari lakon itu yang berbunyi “Benar kata Orang Prancis, di mana ada peristiwa besar, di situ ada perempuan,” ucap salah seorang pelakon di dalam Opera Melayu Bulang Cahaya itu.
Fedli selaku sutradara mengakui memang harus bekerja keras mewujudkan naskah ini untuk dibawa ke atas panggung. Apalagi, dalam garapan semi opera ini, lakon ini tergolong panjang. Durasinya mencapai 2,5 jam. “Ini pertunjukan Opera Melayu, bukan opera murni atau liberto. Jadi konsepnya, ala-ala teater klasik Bangsawan,” jelas pimpinan Sanggar Teater Selembayung itu.
Dalam garapan karya yang kesekian kalinya ini, Fedli tak hanya bekerja sendiri. Untuk memantapkan konsepnya, dia merangkul beberapa ahli sebagai pendukung seperti design panggung oleh Yudi Ys (perupa), Koreografer Syafmanefi Alamanda, (seniman tari), piñata kostum Sunardi (seniman tari), penata make up Harry Zardi (seniman tari), Penata musik, Iwan Landel, videografi, Rudi Kodon. “Kita juga menggandeng penyanyi Riau, Benni Riaw dan Siska Mamiri vokalis Geliga,” jelas Fedli.
Terkait dengan konsep yang ditawarkan dalam Opera Bulang Cahaya yaitu Opera Melayu, Ketua Umum Dewan Kesenian Riau, Kazzaini mengatakan, konsep yang ditawarkan Fedli dari sanggar Selembayung sangat menarik untuk didiskusikan karena apakah rupa atau bentuk opera Melayu itu memang sudah ada sejak dahulunya dan bagaimana pula bila dikaitkan dengan keberadaan teater-teater tradisi Melayu.
Disebutkan Kazzaini misalnya, sandiwara Bangsawan yang memang nota benih ada unsur nyanyian dan tarian di dalamnya. Kemudian masa perkembangan berikutnya sandiwara bangsawan disebut atau dikenal oleh beberapa pelaku teater di Riau ketika itu dengan sebutan sandiwara klasik. “Bentuknya itu juga hanya saja ada sedikit perbedaan dari tata tekhnik pentasnya seperti bentuk layar dalam Bangsawan yang kemudian dimodifikasi dalam bentuk yang lain,” ucap Ketua Yayasan Sagang itu.
Selain itu, dalam pentas Opera Bulang Cahaya, sanggar Selembayung juga menawarkan misalnya latar panggung dengan menggunakan kecanggihan teknologi hari ini yaitu menggunakan multimedia. Katanya, ini sebuah tawaran yang menarik untuk didiskusikan sehingga konsep Opera Melayu yang di-maksud dapat dipertegas dan diperjelas “sehingga ke depannya barangkali kita bisa menemukan konsep-konsep baru untuk kemajuan teater di Riau itu sendiri. Tapi yang jelas, apa yang diupayakan Teater Selembayung sungguh pekerjaan yang layak mendapat apresiasi bagi kita semua,” tutupnya.
Tak tanggung-tanggung, dalam pentas kali ini, sanggar Teater Selembayung tampil dengan kekuatan pemain sebanyak 17 orang dengan tata kostum yang menarik. Disimbah cahaya lampu serta permainan multimedia, adegan per adegan mengalir seiring dengan konfik yang semakin tajam hingga sampai ke klimaks pementasan.
Dalam lakon ini dimulai dari seorang tokoh yang bekerja sebagai redaktur budaya di sebuah majalah budaya di Pekanbaru, dari ceritanyalah sesungguhnya kisah ini bermula. Kisah yang menggunakan alur mundur itu kemudian mengalir hampir memakan waktu dua jam lebih. Dengan ragam bentuk seni yang kemudian ditawarkan oleh Sutradara, Fedli seperti adanya tarian, nyanyian dan tentu saja dialog-dialog dari para aktor, kisah yang teraktub di dalam novel menjadi lebih dapat dirasakan seperti yang diutarakan salah seorang seniman budayawan Riau, Taufik Ikram Jamil.
Katanya, upaya Fedli selaku penulis naskah dan sekaligus sutradara dalam memindahkan kisah dalam novel ke dalam bentuk panggung cukup berhasil sehingga emosi cerita dan konflik yang terjadi semakin dapat dirasa. ”Kita lebih merasa terharu menyaksikan dalam cerita lakon yang disuguhkan,” ucap Penyair senior Riau itu.
Sementara itu, OK Nizami Jamil yang juga hadir mengemukakan hal serupa. Katanya sudah lama di Pekanbaru ini tidak menggelar karya yang berbau sejarah yang kalau pada masa dulunya disebut teater klasik Riau. Apa yang dilakukan Sanggar Selembayung dipadang OK sebagai upaya mengenalkan sejarah kepada generasi hari ini.
“Selamat untuk Sanggar Selembayung, semoga upaya ini dapat diteruskan karena masih banyak kisah sejarah dalam negeri Riau ini untuk dikisahkan kembali, diambil intisari semangat, terutama bagi generasi hari ini,” ucapnya.
Senada dengan itu, tokoh masyarkat Riau, Chaidir MM, menyatakan kebanggaannya atas apa yang telah dipentaskan Teater Selambayung. “Harapan saya ke depan teruslah berkarya apalagi sekarang sudah ada UPT Bandar Serai yang akan mengelola dengan maksimal segala aktivitas seni budaya di kawasan Bandar Serai ini. Dan saya kira, tidak banyak daerah yang punya agenda menggelarkan karya seperti kita. Ini kerja yang luar biasa, teruslah berkarya,” ucapnya.
Sementara itu, Fedli ditemui usai pementasan mengucapkan terima kasih terutama kepada Rida K Liamsi yang telah mengizinkan novelnya untuk diubahsuaikan ke dalam bentuk pertunjukan pentas sekaligus telah menjadi produser di garapan Selambayung kali ini. Garapan Opera Melayu Bulang Cahaya ini juga dipastikan Fedli tidak hanya pentas di Batam dan Riau.
“Insyaallah akan dipentaskan di Acara Panggung Publik SeSumatera di Padang Panjang akhir Maret mendatang. Dan kita juga akan terus berupaya untuk menjajaki di mana Lakon Bulang Cahaya ini bisa dipentaskan lagi,” ucapnya