Yogyakarta - Bersama dengan momen peluncuran rebranding logo ‘Jogja Istimewa’ yang baru dengan sebuah seremoni khusus pada Sabtu (7/3/2015) kemarin, istilah Pisowanan Ageng menjadi akrab di telinga para wisatawan. Acara istimewa ini dikemas dengan partisipasi ribuan warga Yogyakarta yang tetap dibalut dengan budaya Jawa yang kental.
Secara harfiah, Pisowanan Ageng berasal dari kata sowan yang memiliki arti bertemu. Jadi Pisowanan Ageng memiliki arti pertemuan agung antara rakyat dengan raja yang memimpin, dalam hal ini adalah pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja Yogyakarta dengan rakyat yang diayomi.
Dalam sejarah Yogyakarta, Pisowanan Ageng merupakan sarana untuk rakyat dalam menyampaikan keluh kesahnya kepada pemimpin yang diawali dengan tindakan pepe, yaitu berjemur di bawah terik sinar matahari hingga Sultan datang menemui untuk melakukan dialog terkait dengan alasan mereka ingin bertemu rajanya.
Sebagai Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X sudah beberapa kali melakukan Pisowanan Ageng yang melibatkan masyarakat Yogyakarta. Pertama kali adalah pada tahun 1998, bersamaan dengan momentum gerakan reformasi di Indonesia. Yogyakarta yang saat itu sudah mulai memanas, berhasil diredamkan oleh Raja Yogyakarta kesepuluh tersebut dengan menggelar sebuah pertemuan rakyat untuk mengumandangkan dukungan terhadap reformasi lewat pembacaan Maklumat 20 Mei 1998.
Dalam maklumat tersebut, raja yang lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito ini mengajak masyarakat Yogyakarta dari berbagai elemen untuk mencegah tindakan anarkis dan bersama-sama mendoakan keselamatan bangsa. Peristiwa tersebut memukau massa yang hadir untuk tetap menyuarakan aspirasi secara damai tanpa tindakan anarkis seperti yang telah terjadi di kota-kota lain untuk menuntut turunnya rezim Orde Baru.
Selanjutnya, Pisowanan Ageng dilaksanakan sepeninggalan Sri Paduka Paku Alam VIII yang membuat kursi kepemimpinan Wakil Gubernur DIY kosong. Desakan rakyat yang disampaikan dalam Pisowanan Ageng menghasilkan keputusan penetapan Raja Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa harus melalui mekanisme pemilihan.
Beberapa pertemuan agung ini digelar di tahun-tahun berikutnya terkait dengan keputusan politis yang dibuat Sri Sultan Hamengku Buwono X selama menjabat sebagai Gubernur salah satu daerah yang memiliki status keistimewaan di Indonesia ini, yaitu pada bulan April tahun 2007 dan bulan Oktober tahun 2008.
Terakhir, adalah momen peluncuran logo baru Jogja yang dikemas dalam kegiatan Pisowanan Ageng bersamaan dengan peringatan pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono yang ke-26 tahun. Masyarakat berkumpul di komplek Pagelaran Keraton Yogyakarta, peserta didominasi dengan masyarakat yang menggunakan pakaian adat Jawa lengkap dengan aksesoris dan tatanan rambut khas Yogyakarta.
Sebagai sebuah momentum pertemuan istimewa antara Sultan Yogyakarta dengan masyarakat, Sabtu (7/3/2015), Sri Sultan mengumumkan secara resmi mengenai logo ‘Jogja’ yang baru untuk digunakan sebagai sebuah representasi keistimewaan daerah ini. Dengan tema Jogja Gumregah, Pisowanan Ageng ini juga menjadi perwujudan gerakan kebudayaan yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat.
Bersamaan dengan peluncuran logo baru ‘Jogja’, Pisowanan Ageng ini juga dimaksudkan untuk membumikan makna keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber: http://travel.kompas.com