Satu Lagi, Arang di Dahi Kejaksaan

Jakarta - Hein Berhitu sudah melupakan ruang kerjanya di Nabire, Papua. Dua tahun silam, dia masih menjadi kepala kejaksaan negeri di sana. Tapi, sejak 23 Juli 2004, dia harus meninggalkan kursi empuk itu. Sekarang, Hein hanya seorang jaksa biasa yang tidak menangani kasus. "Setahun terakhir, aktivitas saya hanya ngobrol dengan teman-teman," ujar Hein ketika ditemui Tempo pekan lalu.

Jaksa yang lahir 52 tahun lalu di Manado ini sejak Februari tahun lalu sebenarnya telah dikenai tindakan indisipliner. Tiga bulan kemudian, ia diberhentikan dari tugasnya sebagai jaksa struktural dan hanya menjadi jaksa fungsional. Sebab, ia dituduh memeras empat orang yang sedang beperkara di Papua. Tak tanggung-tanggung, uang yang dimintanya konon sebesar Rp 1 miliar. Dan bulan ini, ia menjadi tersangka.

Arang kembali tercoreng di dahi kejaksaan. Padahal Kejaksaan Agung sampai sekarang masih memeriksa kasus dugaan korupsi lainnya, yaitu jaksa Burdju Ronni dan Cecep Sunarto yang dituduh menerima Rp 600 juta dari terdakwa kasus korupsi PT Jamsostek, Ahmad Djunaidi.

Kasus Hein ini dimulai dari ditetapkannya pemimpin proyek pengembangan bandar udara Waghete, Papua, Servianus Motte, sebagai tersangka pada November 2002. Kejaksaan juga menjerat pemimpin proyek pembangunan jalan antara Madi dan Enarotali, Papua, Azis Purnomo. Kedua proyek bernilai total Rp 9,3 miliar itu ditangani PT Agung Mulia Iriana. Setelah keduanya menjadi tersangka, direktur perusahaan itu, Henny Yones, pun ikut dijerat. Sebulan kemudian, giliran Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Paniai, Petrus Tangke Rombe, menjadi tersangka.

Mereka dianggap bertanggung jawab atas kerugian negara akibat molor-nya penyelesaian pembangunan jalan Madi dan tidak sesuainya pelaksanaan teknis peluasan lapangan terbang dengan lanskap awalnya. Anggaran proyek bandara sebesar Rp 1 miliar (dari anggaran tahun 2001-2002) pun didongkrak menjadi Rp 6,6 miliar dengan mengambil anggaran tahun sesudahnya.

Tiga bulan setelah ditetapkan sebagai tersangka, Petrus sang kepala dinas dipanggil Hein untuk "membicarakan" kasusnya. Hein menjanjikan Petrus dan tiga tersangka lainnya akan mendapat surat perintah penghentian penyidikan dengan imbalan uang. Jumlah spesifik tidak dinyatakan. "Tapi harus besar," kata kuasa hukum PT Agung Mulia Iriana, Hartono Tanuwidjaja, mengutip Petrus. Akhirnya, mereka sepakat pada jumlah Rp 1 miliar. Henny sebagai direktur bersedia menyediakannya.

Tunggu boleh tunggu, sampai setahun janji tinggal janji. Surat pemberhentian penyidikan tidak pernah muncul.

Pada 19 April 2004, didampingi Hartono, Henny pun melaporkan Hein kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. Bagaimana tanggapan Kejaksaan Agung, yang saat itu masih dipimpin M.A. Rahman? Mereka hanya memberikan sanksi internal dan tidak mengusutnya secara hukum.

Baru bulan ini Kejaksaan Agung menyatakan Hein sebagai tersangka penyuapan dan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Jaksa Agung (Abdul Rahman Saleh) sudah mengeluarkan surat izin pemeriksaan (Hein) pada Senin (5 Juni)," kata Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Hein terang-terangan membantah tuduhan memeras atau menerima suap tersebut. "Itu semua fitnah yang ditujukan ke saya dan keluarga saya," kata Hein kepada Tempo. Jangankan diperiksa, ia bahkan mengaku mengetahui dirinya menjadi tersangka dari media. "Saya belum pernah dipanggil untuk kasus ini. Bahkan saya ingin cepat diperiksa agar semua ini selesai."

Siapa yang benar dan salah memang belum terbukti. Hukum akan berbicara, termasuk untuk aparatnya. Dan semoga hukum tetap buta. (Moses Silalahi, Yophiandi, Dian Yuliastuti)

Sumber: transparansi.or.id, Senin, 12 Juni 2006
-

Arsip Blog

Recent Posts