Indramayu, Jawa Barat - Gadis-gadis desa itu didandani dengan busana kebaya lengkap. Rambut mereka dihiasi dengan rangkaian bunga kenanga berwarna-warni. Tak lupa selendang dan kain batik menyempurnakan penampilan mereka. Sementara para jejaka mengenakan baju pangsi warna hitam dipadu dengan celana gombrang dan ikat kepala. Mereka hendak ikut upacara ngarot.
Upacara ngarot ini merupakan bentuk luapan syukur atas hasil panen kedua menjelang musim tanam pertama setiap tahunnya di Desa Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Uniknya, upacara agraria ini juga kerap disandingkan dengan ajang cari jodoh di kampung itu. Di upacara ini, banyak peserta jejaka dan perawan berkenalan hingga berlanjut ke pelaminan.
"Sebetulnya ngarot adalah upacara syukuran atas hasil panen," kata Kuwu Desa Lelea, Raidi, saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu pekan kemarin di Indramayu, Jawa Barat. Kuwu merupakan nama lain dari kepala desa. Sebutan ini masih digunakan di beberapa daerah Jawa di Indonesia, termasuk Indramayu.
Upacara ngarot sejatinya dilakukan setiap tahun di bulan November. Acara ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil panen di Desa Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Prosesi upacara ini ditandai dengan berkumpulnya para muda-mudi peserta ngarot di balai desa. Mereka akan meminta restu kepala desa sebagai orang yang di tuakan supaya mendapatkan berkah dari upacara tersebut.
Usai meminta restu dari kepala desa, upacara ini dilanjutkan dengan arak-arakan keliling Desa Lelea. Pesertanya gadis dan jejaka akan mengikuti kepala desa beserta istrinya di barisan paling belakang. "Nanti kembali lagi ke balai desa," ujar Raidi.
Di sini para gadis dan jejaka duduk saling berhadap-hadapan. Mereka akan disuguhi tarian Ronggeng Ketuk. Selain itu para Gadis dan Jejaka ini akan dikenalkan dengan alat-alat untuk bertani. Mulai dari menggunakan cangkul hingga pemberian bibit.
Kuwu, sebagai kepala desa akan memberikan wejangan kepada para gadis dan jejaka. Sedangkan istri kepala desa memberikan air sebagai simbol kehidupan. "Lalebe akan mengenalkan alat-alat untuk bertani. Contohnya seperti cangkul," tutur Raidi.
Lalebe merupakan orang yang dipercaya memiliki ilmu agama lebih, dalam istilah sekarang seperti ustaz. Dalam masyarakat Desa Lelea, ada dua lalebe. Pertama Lalebe untuk upacara adat dan lalebe untuk hajatan. "Kaya Ustaz lah istilahnya."
Selain bentuk rasa syukur atas hasil panen, upacara ngarot juga bentuk menjalin silaturahmi antar warga sambil menikmati hidangan berupa makanan dan minuman. Ngarot sendiri dalam bahasa sunda berarti minum-minuman.
Karena pelakunya para kawula muda, Kuwu melanjutkan, penduduk setempat menyebutnya kasinoman. Enom berarti anak muda. Jadi ngarot diartikan sebagai pesta minum-minum. Nama itu kemudian diambil sebagai nama tradisi upacara tahunan tersebut. "Bukan minum-minuman keras, tapi artinya minuman," kata Raidi.
Seiring perkembangan zaman, upacara ngarot bukan lagi sekadar pesta syukuran atas hasil panen menjelang musim tanam. Namun ada yang mengaitkan ngarot dengan ajang mencari jodoh. Ada kepercayaan dari warga Desa Lelea jika jodoh diperoleh melalui upacara ngarot bakal kekal dan abadi.
Fendi, salah seorang warga Desa Lelea membenarkan selama ini ada peserta ngarot yang sampai menikah. Namun, kata dia, upacara ini merupakan tradisi Desa Lelea yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk syukur atas panen. "Upacara ini memang sudah turun temurun dan ini dilakukan karena warisan leluhur," kata Fendi di pelataran Kantor Desa Lelea, Sabtu pekan kemarin.
Fendi mengatakan jika sampai saat ini tradisi itu terus dilakukan sebagai bentuk menjaga warisan leluhur. Namun sayang, para gadis dan jejaka di kampungnya kini kurang tertarik mengikuti upacara ngarot. "Anak-anak sekarang zamannya sudah beda, tapi ini tetap dilakukan agar warisan turun temurun ini tetap terjaga," ujarnya.
Sumber: http://www.merdeka.com