Oleh : Richadiana Kadarisman Kartakusuma
1. Manggala
Salah satu faktor menguntungkan Indonesia adalah tatanan (tata) letak geografisnya yang strategis diantara Samudra Hindia dan Pasifik tepat pada titik persilangan jalur lalu lintas menghubungkan anak benua India, Cina, Eropa dan Timur jauh, layaknya titian yang menjembatani bangsa-bangsa di belahan bumi Asia dan Australia. Aroma rempah-rempah dan keramahan penduduk yang mendiami gugusan pulau-pulau membentang ujung barat sampai ke timur telah menarik perhatian bangsa-bangsa belahan bumi lainnya untuk bertandang.
Sejak awal Masehi bangsa-bangsa dari berbagai negeri melakukan kontak harmonis dan selama berabad-abad terjalin persahabatan dalam untaian budaya yang saling mengaliri. Tidak heran jika seorang Kalidasa yang hidup pada masa pemerintahan Chandragupta II, 381-413 Masehi, dalam kakawin Raghuwamsa menuturkan “Dwipantara atau Nusantara adalah negeri subur dan makmur serta sangat populer di Benua Asia karena kaya rempah-rempah dan hasil bumi, telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa di Asia”.
Daerah-daerah pesisir kepulauan Indonesia berperan sebagai kota-kota pelabuhan letaknya tidak jauh dari Semenanjung Malaka yang ramai sejak awal abad I Masehi hingga mencapai puncaknya abad VIII Masehi banyak dikunjungi para pedagang Arab, Parsi, Turki, India dan Cina.
Sumber Arab (Ferrand 1922:69) dan Berita Cina (Dinasti T’ang, 674) menceritakan bahwa sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara terutama di pantai barat Sumatra dihuni koloni-koloni pedagang Arab, India, Cina dan bangsa-bangsa lain di daratan Asia (Khmer, Mon, Campa dan lainnya).
Kendati tidak sepenuhnya, kiranya, peristiwa perdagangan adalah yang paling signifikan diiringi pertukaran kebudayaan. Ditengarai bahwa kebudayaan asing yang datang ke Indonesia pun berlangsung dalam proses pengaruh dan mempengaruhi melalui berbagai peristiwa yang disebut akulturasi.
Paradigma umum menyatakan bahwa kekunaan/sejarah kebudayaan kebudayaan suatu bangsa hampir selalu diukur dengan permulaan adanya berita tertulis dengan corak budaya Hindu-Budha yang berasal dari India. Maka pembicaraan sejarah kuna Indonesia selalu dimulai dengan penetrasi kebudayaan yang kerap disebutkan dengan istilah masa Hindu-Budha.
Dalam proses pemengaruhan kebudayaan Indonesia itu setidak-tidaknya nampak pada enam unsur: 1) bahasa; 2) teknologi; 3) organisasi sosial; 4) sistem pengetahuan 5) agama; 6) kesenian dan 7) sistem mata pencaharian. Namun sangatlah perlu dicatat, kehadiran unsur pengaruh yang akrab disebut Hindu-Budha (India) dan kelengkapan konseptualnya bersifat a less extreme acculturation. Namun tidak memusnahkan budaya-budaya tradisional dan perangkat kepribadiannya yang khas Nusantara (Indonesia).
Meskipun diakui implikasinya memang telah menurunkan kemahiran kemahiran tertentu namun yang terjadi sebenarnya adalah justru lebih mempertegas dan menonjolkan kreavitas dan daya cipta setempat. Sebelum terjadi kontak dengan pengaruh asing, ketika itu bangsa Indonesia telah memancangkan tonggak peradaban dalam tubuh kebudayaannya yang bernilai tinggi dan mantap, maka inovasi luar tidak lebih merupakan zat penyubur saja.
Disebutkan bahwa secara garis besar periode abad ke-4 sampai abad ke-10 Masehi di (Nusantara) Indonesia terdapat dua tipe kerajaan. Tipe pertama adalah kerajaan-kerajaan pantai dengan berdasarkan aktivitas perdagangan yang berkembang sekeliling kota-kota pantai (pelabuhan) dan yang berorientasi pada kebudayaan maritim. Kerajaan tipe pertama tidak mempunyai wilayah atau daerah pedesaan luas dengan mata pencahari penduduk petani yang besar jumlahnya, tetapi juga memiliki perangkat armada perdagangan besar dengan perahu-perahu layar dan bercadik.
Diantaranya kerajaan Sri Vijaya, berdasarkan warisan aktivitas budaya (data tekstual-kontekstual) kerajaan ini tumbuh dan berkembang sekitar abad ke-7 Masehi. Kota-kotanya terdiri dari bangunan kayu dan bambu yang dihiasi ukiran-ukiran indah dengan warna merah dan emas. Namun tentu saja bangunan tersebut kini telah hilang tiada berbekas disebabkan kondisi cuaca dan iklim tropikal yang berpotensi lembab. Ibukota kerajaan Sri Vijaya beberapa kali pindah tempat namun kuat dugaan letaknya pusat kekuasaannya meliputi Semenanjung Melayu dan bagian barat kepulauan Indonesia.
Tipe kerajaan yang kedua di kepulauan Indonesia adalah kerajaan yang di daerah pedalaman, lembah-lembah atau dataran-dataran tinggi di lingkungan kompleks gunung-gunung api yang sangat subur. Masyarakat hidup dari kegiatan dan pertanian dengan orientasi kepada kebudayaan agraris. Dalam tipe kebudayaan ini berkembang konsep khusus mengenai sifat raja yang dianggap sebagai penjelmaan (titisan) dewa gunung atau dewa alam. Mereka memiliki tugas dan kewajiban menjaga keselarasan kosmos dengan meniru susunan alam semesta kerajaannya, kedudukannya melambangkan rajadewa di pusat alam semesta. Konsepsi tersebut di dalam suatu kerajaan kuno memungkinkan untuk memantapkan pemerintahan kerajaannya dengan landasan keyakinan dan kepercayaan rakyatnya.
Kemunculan kerajaan-kerajaan ditandai prasasti-prasasti yang menggunakan aksara dan bahasa yang dikenal di India pada abad ke-4 dan ke-5. Diantaranya prasasti Kutei pada tujuh tonggak (Yupa) beraksara Pallava dan berbahasa Sanskerta ditemukan di Bakulapura (Kalimantan Timur) isinya putra Kundungga bergelar Mulawarman, berputra Aswawarman. Mulawarman adalah seorang pendiri dinasti yang mengadakan kenduri besar bernilai emas sangat banyak terdiri segunung minyak kental, lampu, malai bunga, 20.000 ekor sapi dipersembahkan kepada para brahmana yang bagaikan api yang memberi kekuatan hidup.
Pada abad yang sangat berdekatan, aksara Pallava dan bahasa Sanskerta ditemukan pada tujuh batu di Jawa Barat dikeluarkan oleh Purnawarman dari Kerajaan Taruma (Tarumanagara 450 M). Salah satu prasastinya (Tugu) menerangkan bahwa pada pemerintahannya yang ke-22 tahun ia melakukan karya-karya besar, membuat saluran Gomati dan Candrabhaga guna memperlancar kegiatan pelayaran, dan berfungsi sebagai benteng pertahanan pendirian pusat kerajaan (benteng air).
Keistimewaan prasasti-prasasti kerajaan Taruma disusun berupa syair (Sloka) ke dalam tatanan metrum anustubh dan ada juga yang bermetrum sragdhara. Susunan sloka dan bentuk metrumnya begitu sempurna dan hanya mampu dibuat oleh si pendukung atau pemilik budayanya langsung. Kondisi yang ditunjang oleh peran, kedudukan atau posisi Tarumanagara, kerajaan tertua membutuhkan kekuatan sosial-politik bertaraf internasional untuk memperkuat kekuasaan dan kharismatik raja.
Demi kemantapan pemerintahan dan negaranya menyebabkan timbul kepentingan dan permintaan bantuan konsultasi internasional, selain mengundang para cendekiawan dan para agamawan Hindu (India) yang di kala itu tengah mencapai pamor tertinggi di kawasan internasional di Asia. Sehubungan dengan pengumuman tentang keberadaannya kerajaan Taruma dikabarkan mengirimkan utusan ke Cina tahun 435, 528, 535, 666 dan 669 M.
Kerajaan Kutei dan Taruma adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan yang menandai awal proses akulturasi pengaruh India di Nusantara Raya meskipun terjadi hanyalah di kalangan minoritas para bangsawan istana dan kaum brahmana. Agaknya peran konsultan Hindu itu pun hanya berlangsung sementara saja, karena ternyata terbuti bahwa orang-orang Indonesialah kemudian melaksanakan proses akulturasi tersebut. Kaum cerdik-cendekiawan, kaum agamawan, arsitek, sastrawan serta segenap masyarakat melakukan penyesuaian unsur-unsur pengaruh yang hadir tersebut menurut keperluan kebudayaan mereka sendiri dengan menghasilkan dayacipta kepribadian Indonesia yang mandiri.
Proses penyesuaian pemengaruhan atas unsur-unsur budaya dari luar itu mencapai puncaknya pada abad IX Masehi, antara lain adanya pengembangan sistem aksara India (Siddhamatrka, Pallawa-Grantha) dengan penguasaan bahasa Sanskerta yang lebih canggih dan disusun secara terencana dengan perangkat peristilahan tata bahasanya. Suatu tanda atas peristiwa nyata atas kemampuan dan kegeniusan bahwa kaum pribumi setempat sebenarnya yang berperan sebagai media penuangan pengetahuan ajaran-ajaran keagamaan.
2. Sambandha: Dinamika Kepribadian Nenekmoyang Bangsa Indonesia
Sejak masa Prasejarah masyarakat Indonesia telah mampu membuat arca-arca dan bangunan-bangunan besar, maka tidak sukar jikalau mendirikan candi atau kuil. Lagipula telah dibuktikan bahwa bentuk dan wujud candi di India tidak ada yang merupakan prototype candi-candi di Nusantara. Candi-candi India memiliki ruangan-ruangan luas, sedangkan candi-candi di Indonesia ruangan-ruangannya sempit sehingga secara konseptual fungsi candi pun sangat berbeda.
Di Indonesia candi yang dibangun ditujukan untuk menghormati nenek-moyangnya (pendharmmaan) dengan diberi bentuk dewa (tokoh si mati yang telah diperdewa). Representasi yang didasarkan kepercayaan Indonesia asli yang menjadi ciri telah dimiliki sejak Prasejarah, arca perwujudan atau monolith yang kerap disebut menhir lalu transformasi dengan busana baru, diberi istilah baru – lingga- di ruang pusat candi, tidak lain adalah kelanjutan (continuity) atau bentuk lain dari konsep menhir tersebut.
Dewa, bagi masyarakat pribumi Nusantara sekedar meminjam istilah saja tetapi konsep yang melatarinya tetap konsep asli mereka. Lebih dari itu, jikalau konsep dewa di India adalah superhuman being dalam kaitan antara sang pencipta dan yang dicipta. Maka candi dalam konsep India bahwa candi-candi benar-benar untuk para dewa. Sedangkan di Nusantara, dewa dilandasi kepercayaan yang berkembang pada masa prasejarah, dewa hanya istilah “wadah” sejalan konsep yang melatari menhir (batu tegak) dalam kebudayaan megalitik semata-mata simbol tempat persemayaman (sthana) sementara roh nenekmoyang.
Demikianlah candi Borobudur merupakan bangunan perpaduan punden berundak tradisi budaya megalitik (zigurat) dan stupa dari Indianism, Bangunan Budha Mantrayana yang sangat megah ini merupakan representasi ajaran agama (keagamaan) yang tertera di dalam karya cipta agung cendekiawan Nusantara, Sanghyang Kamahayanikan, abad IX Masehi. Sebuah karya sastra yang dituliskan bilingual (dua bahasa) Sanskerta dan Jawa Kuno, dirumuskan dan disusun cerdik-cendekiawan dari kaum agamawan Indonesia. Kesempurnaan menata, menempatkan relief-relief pada dinding-dinding bangunan menampilkan paduan sangat harmonis yang dijalin dalam Mahakarmmawibhangga, Jatakamala, Awadanajataka, Lalitawistara, Gandawyuha merupakan gambaran tahap-tahap melaksanakan Paramitayana-Mantrayana yang direpresentasikan melalui lima arca Tathagata, pencapaian tingkatan-tingkatan ke-Budha-an yang melambangkan Dharmacakramudra.
Borobudur tiada lain lambang kosmos (mandala) berbentuk “zigurat” dibangun berundak makin ke atas makin kecil hakekatnya merupakan replika gunung, perlambangan tahta persemayaman nenek-moyang. Oleh karena itu Prasasti Kayumwungan (746 Saka/824 Masehi); prasasti Plaosan Lor (764 Saka/842 Masehi) yang berisi informasi tentangnya, menyebut bahwa candi Borobudur sebagai kamulan i bhumi sambhara, tempat- ka-mula-an atau sang mula-mula (sang awal) “arwah leluhur yang abadi di alam kelanggengan’ Menurut hukum tata bahasa Nusantara, istilah kamulan berasal dari ka-mula-an dengan kata dasar mula artinya umbi, asal, dalam arti seluas-luasnya sang pemula atau leluhur, rumuhun.
Masyarakat Nusantara masa pra-Hindu kerap dipandang animis sebenarnya sangat bertentangan dengan studi-studi kebudayaan (etnis) yang membuktikan bahwa suku-suku yang hidup di pedalaman Indonesia ternyata telah lebih awal melandasi diri mengenal dewa-dewa di lingkungan organisasi yang teratur. Seperti kelompok masyarakat Toraja menyeru Boeriro, istilah asli Toraja menyebut dewa yang berbentuk raksasa dan dipercaya sebagai tokoh “sakral” yang memberikan api kehidupan dan makanan. Simbol kepercayaan serupa yang juga berkembang di kawasan kepulauan Pasifik (a.l. Hawaii). Termasuk arca-arca berbentuk dinamis di Nusantara yang kerap dipertautkan dengan pengaruh Hindu itu pun sebenarnya adalah arca asli pribumi, suatu proses kontinuitas unsur kepercayaan sejak masa Prasejarah.
Sejumlah prasasti Sri Vijaya yang dikenal imprecation formula (dokumen persumpahan) hampir selalu diawali seruan kepada Tandrun Luah atau Tandang Luah, dewa yang diyakini melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Demikian pula sejumlah prasasti bertema sima pada masa Mataram Kuno (Jawa Tengah da Jawa Timur) tentang upacara peresmian sebidang tanah, sawah, kebun, rawa dan lain-lainnya yang menjadi bagian bumi menjadi perdikan (otonom). Disertai sumpah, laknat dan kutukan untuk mensyahkan peristiwa upacara itu dengan menyeru roh-roh leluhur, roh raja-raja yang memerintah sebelumnya. Roh-roh para pendahulu yang diyakini secara langsung melindungi dengan merasuk ke dalam jiwa.
Salah satu ungkapan seruan itu dimuat dalam prasasti Mantyasih (907 Masehi): “Sakwaih ta Rumuhun Rahyang ta i Mdang i Bumi Mataram ... umasuki ning ngwang kita kabaih” disusul dewa-dewa yang sebenarnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam kemudian bahasanya telah dibusanai dengan di-Sanskerta-kan. Seruan atas dewa-dewa lokal sebagai saksi dalam upaya mensyahkan segala aspek dan gerak kehidupan hampir selalu dimuat di dalam katagori prasasti-prasasti bertema sima, terutama pada pemerintahan Mataram kuno di Jawa (Tengah dan Timur).
Karena itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan gejala perubahan atas lingkungan alam khususnya, objek utama upacara peresmian sima disimbolkan oleh bentuk lumpang batu (lisung) yang diberi honorefic prefic (ungkapan hormat) Sanghyang Watu Kulumpang simbolisasi persatuan bumi-pertiwi (mandala) atau mikrokosmos dengan pasangannya yang berupa gandik disebut Sanghyang Teas (halu) tiada lain adalah lambang jagat semesta, makrokosmos.
Dikenalnya masyarakat berlapis di Indonesia, caturwarna, (kasta) yang dianggap pengaruh Hindu-Budha (India). Tetapi Soejono (l974) membuktikan bahwa sebelum kedatangan orang-orang India, Indonesia merupakan stratified society, kenyataan ini antara lain dibuktikan hasil analisis sistem penguburan di Bali. Adanya beragam sistem penguburan antara lain kubur tempayan, dalam sarkofagus tanpa wadah. Keragaman bekal kubur tersebut adalah fakta yang menegaskan telah dikenalnya keragaman dalam susunan masyarakat. Dimana kelompok lebih tinggi dikuburkan dalam tempayan (sarkopagus) disertai bekal kubur yang banyak dan beranekaragam, sedang-kan masyarakat umum dikuburkan tanpa wadah. Soejono membuktikan bahwa Gilimanuk (Bali) adalah situs nekropolis yang telah mengenal aktivitas dan kelompok pedagang. Kelompok inilah yang pada saat hadir inovasi Hindu-Budha (India) kemudian dinamai atau diberi istilah baru dari pengaruh India (Sanskerta) dengan istilah ksatrya, waisya, brahmana dan sudra.
Menurut R.von Heine Geldern (l982) kota dan kerajaan-kerajaan di Nusantara-Indonesia dan Asia Tenggara umumnya disusun berdasarkan konsep Hindu-Budha (India):“pusat dunia dikelilingi tujuh benua dan tujuh lautan yang membentuk cincin” dengan dasar kota dan kerajaan tiada lain adalah replika kosmos susunannya pun meniru kosmos. Anehnya, kota-kota awal di Asia Tenggara justru berpola segi empat, bukan seperti cincin. Menurut William Alkire (cf. John Miksic 1982) orang Austronesia (non-Hindu) telah memiliki konsep kosmos dengan bentuk segi empat. Konsep yang didasarkan pengetahuan astronomi yang kini tersisa di Mikronesia, tampak konsep Austronesia asli inilah yang mendasari dan melandasi susunan kota dan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Salah satu kelompok etnis Indonesia yang setia memeluk kepercayan Klasik adalah Bali, agamanya memang disebut Hindu Dharmma tetapi tetap saja tatanan kosmisnya memegang konsep leluhur, hasil pemikiran local development dan berlandaskan kepada keyakinan:
1) atita-nagata-warttamana: setiap perubahan yang terjadi terjalin erat antara masa masa lampau, kini dan masa yang akan datang;
2) desa-kala-patra: setiap perubahan disesuaikan dengan lingkungan/ tempat (desa), waktu (kala) dan suasana/keadaan (patra);
3) tri-hita-karana: setiap perubahan perkembangan berpegang kepada pokok yang tiga (tri), hita (baik), karana (sebab), faktor pawongan (manusia), pallemahan (tanah dan lingkungan hunian), parhyangan (candi atau bangunan suci).
Pengaruh India dalam bidang kesenian dan bahasa juga nampak tidak lebih dari sebatas kulit, dijelaskan oleh Stutterheim, seorang sejarahwan (berkebangsaan Belanda), ketika meneliti epic Ramayana Indonesia membuktikan, meski ceritanya berasal dari (pengaruh) India menyatakan namun betapa dominannya unsur-unsur cerita rakyat Nusantara Indonesia di dalamnya.
Ramayana epic antara lain ditemukan dalam pahatan relief-relief candi Prambanan, ternyata isinya adalah riwayat hidup raja yang didharmmakan di sana (Rakai Pikatan). Begitu pula relief Ramayana dan Mahabharata yang dipahatkan pada candi-candi di Jawa Timur menggambarkan Arjuna yang dianggap sebagai Mintaraga, bahkan Pandawa diidentifikasi sebagai nenek-moyang raja-raja Jawa (Koentjaraningrat l963).
Sejarah mencatat bahwa seni sastra yang menjadi sumber inspirasi atas pemahatan relief-relief yang pada dipahatkan bangunan–bangunan candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur digubah para pujangga pribumi. Sebagaimana kegeniusan seorang Mpu Kanwa meramu dan menggubah bagian-bagian kakawin Mahabharata dan Arjunabhigama, di Indonesia dikenal dengan Parthayajnya Wirataparwan dan Niwatakawacaparwa yang selanjutnya menjadi karya sastra baru atau yang disebut gubahan Arjunawiwaha.
Sejak awal masyarakat kepulauan Indonesia telah memiliki dan mengenal alat komunikasi, lingua-franca, yakni bahasa k’wun-lun (Kunlun). Jenis bahasa pergaulan antar bangsa atau bahasa Malayu yang diwarnai interferensi bahasa Sanskerta dan berkembang di dalam perbendaharaan bahasa Malayu pergaulan. Itu membuktikan bahwa tatkala munculnya prasasti pertama, masyarakat Nusantara sebenarnya telah sejak awal melek baca dan tulis bahkan memahami bahasa-bahasa yang dipakai di dunia “international” (a.l. Sanskerta). Tentu saja tulisan-tulisan yang dikenal waktu itu dan digoreskan pada bahan-bahan yang sangat mudah lapuk (ron [/daun]Tal, bambu, kulit kayu) kenyataan bahwa etnis Batak, Aceh juga etnis-etnis lain di Nusantara memiliki sistem aksara sendiri yang berbeda dengan gaya aksara India.
Sebelum dapat menulis dan membaca mereka sudah mengenal sistem organisasi, dimana ada seorang pemimpin didampingi pendeta, upacara-upacara dalam sistem kepercayaan pribumi, dukun dalam soal magi dan obat-obatan, pasukan tentara, arsitek rumah, kapal dengan para pandai atau ahli cor logam, pemahat, petani dan nelayan yang telah menghasikan komoditi pangan. Ketika terjadi kontak dengan kebudayaan India, raja, pemimpin dan sebagian kecil masyarakat memakai busana atau dandanan baru dengan istilah-istilah Sanskerta (India), dan seakan-akan didominasi kebudayaan India, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Raja-raja dengan gelar abhisekanama (nama tahbis) bahasa Sanskerta pun telah melalui serangkaian upacara dengan bantuan para brahmana tiada lain demi wibawa dan gengsi internasional bagi kawan maupun lawan, tetap saja sifat kesakralannya dianggap memiliki kekuatan sakti “mana” yang dikenal dalam kebudayaan Austronesia. Religi dalam kebudayaan Indonesia berlandaskan pada keyakinan bahwa si pemimpin masyarakat adalah keturunan langsung dari nenek moyang yang pertama mendirikan individu atau kelompok masyarakat bersangkutan serta dianggap hidup sebagai dewa di dunia roh.
Pangkal kepercayaan berkembangnya konsepsi rajadewa dalam kerajaan-kerajaan Indonesia tipe kedua adalah bentuk pemerintahan yang berlandaskan kebudayaan agraris. Pada masa Hindu religi asli berpusat pada pemujaan roh nenek moyang dan kepercayaan pimpinan kelompok masyarakat merupakan keturunan langsung nenekmoyang yang telah menjadi roh disebut penjelmaan dewa. Konsepsi yang dilandasi fungsi sosial-politik untuk mengkukuhkan dan memantapkan kharismatik dari kekuasaan raja berdasarkan agama. Karena dalam wadah itulah ekonomi lebih mendapatkan peluang untuk berkembang.
Menangani kepercayaan asli yang telah sejak awal berkembang di dalam masyarakat, Herman Kulke menuturkan bahwa raja-raja membentuk pasukan tentara khusus dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut guna melindungi dewa pribumi. Diantaranya di kawasan Lebak (Banten, Jawa Barat), terdapat sejumlah situs yang bercorak (tradisi) megalitik juga terdapat prasasti (insitu) di tepi Ci Danghiyang, digoreskan pada bongkah batu alam beraksara Pallava dan bahasa Sanskerta menyatakan kawasan ini berada dalam kekuasaan Purnawarman penguasa kerajaan Taruma sebagai panji segala raja-raja. Simbol-simbol yang dipuja oleh masyarakat pribumi tersebut didudukkan sebagai dewa keluarga dan dewa resmi kerajaan. Sikap kerajaan sebagai pelindung kepercayaan pribumi tiada lain ditujukan memperkokoh kekuasaan dan kedudukan sebagai penguasa yang sah.
Dalam kebudayaan Jawa dan Bali mengenal Tirtha (Toya) Amerta (air kehidupan) yang di India disebut Bhimasena as giver of fertility and rain. Di Indonesia Bima adalah justru tokoh utama di dalam cerita Dewaruci yang justru mencari air kehidupan dengan berbagai istilah seperti tirta nirmala, tirta kamandalu, toya pawitra, toya marta, banyu panguripan, atau amrtanjiwani.
Kronogram pada masa Gupta (IV-VII Masehi) tidak lebih dari deretan kata-kata tanpa memiliki arti tertentu. Di Indonesia kronogram menjadi sengkalan yang terdiri dari kata-kata tetapi disusun sedemikian rupa berupa untaian kalimat yang indah dan luwes serta langsung memaknai peristiwa yang terjadi. Salah satu contoh, pada tahun 1250 Saka (1328 M) ketika raja Jayanagara wafat dibunuh oleh dokter bedahnya yang bernama Tanca, dan Tanca lantas dibunuh oleh Gajah Mada pada tahun “bhasmi [angka 0] bhuta [angka 5] nangani [angka 2] ratu [angka 1]” (hancur lebur siapa berani membunuh penguasa/raja); keruntuhan dan kehancuran kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1487 Masehi) diungkapkan dalam kronogram “sirna [0] ilang [0] kerta [4] ning bhumi [1]” (hilang lenyap makmur negara); juga kubur panjang di Gresik berbunyi “kaya[3] wulan [1] putri [3] iku [1]” (= kecantikan putri itu bagaikan bulan) lambang wafatnya putri Cerme pada tahun 1313 Saka (1391 Masehi).
Tradisi sengkalan berlanjut hingga pengaruh Islam dalam tulisan bahasa Arab dan Sunda (dialek Banten) untuk memperingati pemindahan meriam Demak (Ki Jimat) ke Banten (Ki Amuk) “akibat ul khair salawat al iman” (pangkal kebaikan adalah keselamatan iman) lambang angka tahun 1450 Saka (1528/1529 Masehi).
Islam yang hadir setelah India juga ternyata hanya berfungsi sebagai pembungkus (busana) luar dari kebudayaan asli. Dikenalnya sistem pemakaman pada bukit atau bangunan berundak pada beberapa makam Islam mencerminkan konsep keagamaan Indonesia asli yang merupakan sinkretisme ajaran asli dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam tidak pernah diperkenankan membuat hiasan pola mahluk hidup, tetapi ternyata di Indonesia pola hiasan banyak ditemukan hiasan-hiasan pada makam meski telah dalam bentuk stilir.
Proses akulturasi menunjukkan bahwa kepribadian masyarakat bangsa Indonesia tetap berperan, kebudayaan dari luar tidaklah ditelan menta-mentah tetapi diserap guna memperkaya kebudayaan asli. Proses penyerapan yang berlangsung di dalam peristiwa akulturasi tersebut justru memancarkan daya gerak (stimulus-response) atas kebudayaan pra-Hindu di dalam local development, guna menguatkan dan mendandani (busana) konsep-konsep yang telah ada sebelumnya.
Kekuatan atas kemandirian kreativitas sejak paling awal telah tampil sangat mencolok, diantara pengaruh India yang seakan-akan nampak “kental” itu memperlihatkan adanya suatu ciri pemikiran pribumi yang tidak berubah, pemakaian tarikh Saka dari India pada prasasti-prasasti di Nusantara ternyata dilengkapi sejumlah unsur-unsur pertanggalann pribumi (unsur stempat) yang kemudian dipertahankan hingga ke masa-masa sesudahnya. Unsur pertanggalan yang tidak ada dan tidak pernah dikenal di India.
Semuanya mencerminkan kesiapan mental (self determination) dari bangsa Indonesia yang dilandasi oleh kemampuan untuk menerima dan sekaligus mencernanya secara selektif terhadap unsur asing itu. Budaya yang dihasilkan semata merupakan dayacipta dari kemampuan luar biasa para cendekiawan Indonesia dalam usaha merumuskan serta merealisasi-kannya ke bentuk-bentuk karyaseni. Setelah diseleksi (filter) dan sesuai per-ubahan bentuk serta sifatnya sesuai citarasa kepribadian Nusantara-Indonesia (F.D.K.Bosch 1952). Sejarah membuktikan, penyerapan substansi-substansi baru atau asing terhadap kebudayaan di kawasan Asia Tenggara telah menghasilkan ekspresi budaya dengan karakter kepribadian bangsa. Keanekaragaman ekspresi budaya yang berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai filter pertahanan kuat bagi warisan budaya yang telah dimiliki. Pengaruh asing tidak pernah mampu menggusur tatanan kebudayaan yang dimiliki sebelumnya, melainkan tetap berakar kuat dan tidak pernah kehilangan identitasnya.
Unsur-unsur asing yang bertandang ke kawasan Nusantara sebenarnya tidak membawa perubahan kebudayaan secara kwalitatif atau yang disebut morphogenesis, melainkan cenderung secara kwantitatif (morphostatis), hanya sekedar memperkaya kebudayaan asli. Kemampuan yang semata-mata berlandaskan nilai terbuka selektif, sikap yang dicerminkan dengan adanya unsur kebudayaan bangsa lain yang pernah saling berinteraksi dengan bangsa Indonesia di dalam kebudayaan Indonesia seperti Hindu dan Islam.
3. Pamungkas
Keseluruhan fase kebudayaan yang dipaparkan tersebut sangat erat hubungannya dengan sikap dan kemandirian yang membentuk kepribadian bangsa. Semua materi yang terkandung dalam kebudayaan, diperoleh manusia Indonesia secara sadar lewat proses belajar. Di dalam kegiatan belajar inilah kebudayaan diteruskan dari dan oleh generasi satu ke generasi dan dari waktu ke waktu. Kebudayaan yang telah lalu bereksistensi di masa kini, kebudayaan masa kini disampaikan ke masa datang, hakekatnya kebudayaan memiliki kemampuan mengikat waktu. Jikalau tanaman mengikat bahan-bahan kimiawi dengan akar-akarnya, hewan mengikat ruang, maka hanya manusialah yang mampu mengikat waktu melalui kebudayaan.
Acuan Kepustakaan
Edi Sedyawati 1977 “Tarumanagara: Penafsiran Budaya”, dalam HM.Joesoef dan TA. Soebrata Wiriamihardja (Penyunting), Laporan Diskusi Panel: Menggali Kembali Sejarah Kebudayaan Tarumanagara Sebagai Sumbangsih Universitas Tarumanagara Kepada Nusa dan Bangsa. Jakarta: UPT. Universitas Tarumanagara.
F.D.K.Bosch l952 “Local Genius en Oud Javaanse Kunst” dalam Mededeelingen der Koninklijke Academie voor Wetenschappen.
G. Ferrand 1913-1914 Relations de Voyages et texte Geographiques Arabes, Persians et Turks Relatifs á l’Extréme- Orient du VIIIe au XVIIIe siecle, Paris, 2 Jilid
J.G.de Casparis l950 “Inscripties uit de Cailendra-tijd”, Prasasti Indonesia I. Bandung: Masa Baru- A.C.Nix.
H.G.Quaritch Wales l948 “The Making of Greater India: A Study of Southeast Asia Culture Change”, dalam Journal of the Asiatic Society.
K.C.Kruq 1889 “De Geschiedenis van Heilige Kanon te Banten”, T.B. G. 78
Koentjaraningrat l963 Guna Antropologi untuk Historiografi Indonesia”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISI), Indonesian Journal of Cultural Studies, Djilid I, No.1. Diterbitkan oleh Penerbit Bhratara dalam Kerdjasama Ikatan Sardjana Sastra Indonesia.
Miksic, John l982 “Perubahan Kebudayaan dan Kronologi Arkeologi di Indonesia”,
Makalah Ceramah Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM.
M.M.Soekarto K Atmodjo 1983 “Arti Air Penghidupan di dalam Masyarakat Jawa”, Proyek
Javanologi.
R.P.Soejono l977 Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Disertasi Universitas Indonesia.
R.von Heine Geldern 1982 Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara.
Rajawali Press
Sartono Kartodirdjo 1977 “Agrarian Unrest and Peasant Mobilization of Java in the Nineteen Sixties”, Topic I: Modern Asia : Problem and Prospects, Seventh IAHA Conference Bangkok, 22-26 August7, (Proceedings) Volume 1. Chulangkorn University Press, Bangkok–Thailand. Halaman 21-52.
W.W. Rockhill l915 “ Notes on the Relations and Trade of China with Eastern Archipelago and the Coast of the Indian Ocean in the Fourteenth Century” T’ung Pao, XVI.
_________l983 “Short Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Inscriptions”, The Fourth Indonesia-Dutch History Conference, Yogyakarta, Juli 24-29.
__________l986 “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi” di dalam Ayatrohaedi (Penyunting.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/99/468/wacana-kepribadian-budaya-nusantara