Buleleng, Bali - Masyarakat Dalem Tamblingan di Kecamatan Banjar dan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali masih memelihara tradisi Nyakan Diwang atau memasak di pinggir jalan pada hari Ngembak Geni, yakni sehari setelah hari Raya Nyepi.
"Tradisi ini sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat di Desa Gobleg, Umejero, Munduk, Gesing dan beberapa desa lain di wilayah Kecamatan Banjar," ujar I Nyoman Arya Sidarta, seorang tokoh masyarakat asal Desa Umejero, Kamis (10/3).
Arya mememaparkan, secara filosofis tradisi Nyakan Diwang memiliki arti sebagai rasa wujud syukur, karena sehari sebelumnya dapat melaksanakan catur brata penyepian (empat larangan) dengan baik dan lancar.
Empat larangan dalam Nyepi itu kata dia yakni Amati Geni (tidak menyalakan api). Amati Lelanguan (tidak boleh melaksanakan kegiatan yang berfoya-foya atau bersenang-senang). Amati Lelungan (tidak boleh berpergian, harus tetap diam di rumah). Amati Karya (tidak boleh melakukan pekerjaan).
Lebih jauh Arya mengungkapkan, makna lebih mendalam dari tradisi Nyakan Diwang adalah wujud menyama braya atau menjalin hubungan persaudaraan antarsesama karena ketika memasak di jalan terjalin rasa harmonis antartetangga dan masyarakat satu desa.
"Ketika bersama-sama memasak di pinggir jalan akan muncul suasana kebersamaan, di mana antara satu orang dengan lain saling tegur sapa setelah sehari sebelumnya melakukan brata (pertapaan di rumah masing-masing)," beber Arya.
Seperti diberitakan Antara, masyarakat yang melakukan tradisi Nyakan Diwang bangun pada subuh (Ngembak Geni), sekitar pukul 02.00 WITA. Mereka mulai menyiapkan tungku api berbahan batu-bata atau batako di depan rumah, tepat di pinggir jalan raya.
"Setelah sudah siap, warga mulai memasak berbagai kebutuhan, mulai dari nasi, lauk pauk dan lain-lainnya sambil bertegur sapa dan bercengkrama dengan warga lainnya," sambung Arya.
Arya mengungkapkan, salah satu tradisi tua ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang masyarakat Buleleng, dan terus dilanjutkan hingga saat ini.
"Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil dan tetap ajeg hingga saat ini. Pihak desa pakraman (adat) pun terus berupaya melestarikannya dengan mewajibkan krama (warga adat) membuat tungku masak tiap rumah," pungkasnya.
Sumber: http://www.merdeka.com