Palu, Sulteng - Etnomusikolog Franki Raden mengatakan, budaya gong kakula asal Sulawesi Tengah berpeluang menembus dunia internasional.
"Di Eropa sekarang sudah mulai muncul kebosanan karena sudah ratusan tahun hanya budaya gamelan saja yang muncul. Teman saya di Eropa bilang, apakah tidak ada lagi yang lain di Indonesia selain gamelan?" kata Franki Raden dalam Sarasehan Budaya, di Palu, Jumat.
Pria berambut panjang yang pernah menjadi komponis tamu di New York pada 1986 hadir di Palu dalam kegiatan Pekan Budaya Sulteng IX.
Menurut Franki, budaya gong gamelan di Amerika dan Eropa sudah menjadi bagian dari etnik mereka dan sekitar 300 alat gamelan terdapat di negara itu. "Banyak ibu-ibu yang terlibat dalam gamelan ini sehingga menjadi bagian interaksi sosial mereka," katanya.
Di Toronto, Kanada, alat musik gamelan sudah menjadi kurikulum mereka. Bahkan ada acara tahunan anak-anak sekolah dasar di Toronto yang khusus menampilkan gamelan.
"Ini dinonton ribuan orang," kata guru besar studi seni pertunjukan dan kajian budaya Universitas of Toronto tahun 2004-2007 itu.
Jenis budaya gong asal Sulawesi Tengah seperti kakula, kata Franki, memiliki peluang besar untuk menjadi budaya global karena karakter musiknya lebih pada musik Barat. "Saya latar belakang musik Barat. Setelah saya dengar kakula saya cepat akrab begitu," katanya.
Dia mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan budaya gong yang jauh lebih banyak. Di Filipina misalnya, hanya kulintang satu-satunya budaya gong yang bertahan setelah negara itu didera budaya Eropa.
Di banding Filipina, kata Franki, orang Barat lebih mudah memilih kakula antara lain karena kedekatan karakter musik. "Masalahnya sekarang kita siap tidak memberikan pelajaran kepada mereka. Padahal biasanya mereka lebih siap dari kita," katanya.
Budaya gamelan menjadi besar di Amerika karena dikembangkan oleh tiga guru besar yang ada di sana. Guru besar itu siap mengajarkan gamelan kepada masyarakat Amerika.
Sumber: http://oase.kompas.com