Watu Gilang, Singgasana Mataram Islam?

Oleh Perwiro Haryo Mukti

Menginjakkan kaki di Kotagede, Kota Yogyakarta, terasa berada di masa Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Kotagede, wilayah kecil di selatan Kota Yogyakarta itu, dulu merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.

Tak heran, banyak situs sejarah beserta mitos-mitosnya yang masih terpelihara sampai sekarang. Satu yang menarik dari sejumlah situs bernilai sejarah itu, adalah Watu Gilang.

Menurut cerita yang dipercayai penduduk setempat, batu tersebut merupakan singgasana raja pertama Mataram Islam Panembahan Senopati. Sekilas batu ini tidak tampak istimewa, hanya berupa batu andesit hitam berbentuk segi empat ukuran 140x119x12,5 cm dalam sebuah bangunan segi empat yang terlihat usang.

Namun, batu ini menjadi barang "keramat" yang menarik perhatian orang untuk melihatnya secara langsung. Mereka tidak hanya sekadar melihat-lihat, tetapi juga mencari berkah.

"Orang yang datang ke tempat ini biasanya untuk menjalankan ’lelaku’ atau semacam ritual terkait dengan kepercayaan tertentu," kata juru kunci yang diserahi tugas pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk merawat Watu Gilang, Hastono Utomo.

Ia mengatakan, Watu Gilang di zaman itu pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh menantunya, yang sekaligus musuh bebuyutannya, Ki Ageng Mangir.

"Saat itu Ki Ageng Mangir datang menghadap sebagai seorang menantu. Ketika dia sedang sungkem, Panembahan Senopati membenturkan kepala menantunya ke Watu Gilang," katanya. Bekas benturan kepala tersebut, menurut Hastono, meninggalkan bekas di Watu Gilang berupa cekungan dan retakan di salah satu sisi batu besar itu.

Masih teka-teki
Ada dua versi mengenai riwayat Watu Gilang. Versi yang berkembang di masyarakat, dan versi arkeologis. Anggapan masyarakat bahwa Watu Gilang merupakan bekas singgasana Panembahan Senopati, dibantah secara arkeologis oleh para ahli.

Sambung Widodo dari Balai Arkeologi Yogyakarta belum berani memastikan bahwa Watu Gilang pernah dipakai sebagai singgasana Panembahan Senopati. "Tidak ada data tertulis dari Kerajaan Mataram yang menyebutkan bahwa batu tersebut pernah digunakan sebagai singgasana raja. Fungsi batu itu sampai sekarang masih menjadi teka-teki," kata arkeolog Sambung Widodo.

Namun, Sambung tidak menampik kemungkinan bahwa Watu Gilang memang ada kaitannya dengan Kerajaan Mataram Islam, karena kawasan di sekitar batu tersebut diperkirakan pernah berdiri istana raja.

"Meskipun demikian, tidak dapat dipastikan bahwa itu adalah singgasana. Semuanya merupakan legenda turun-temurun yang mungkin telah berbelok dari kenyataan yang sebenarnya," katanya.

Ia mengatakan, sampai sekarang belum pernah ada penelitian secara arkeologis yang terfokus pada Watu Gilang, sehingga belum dapat dibuktikan kebenaran sejarahnya.

Kurang perhatian
Meski sejarahnya masih simpang siur, Watu Gilang tetap merupakan bagian dari warisan budaya, karena masyarakat masih menganggapnya sebagai peninggalan budaya yang harus dijaga.

"Setiap memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, warga di sini mengecat ulang bangunan tempat Watu Gilang itu," kata salah seorang penduduk di sekitar Watu Gilang, Surajan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Kanthil Muhammad Natsir yang menaruh perhatian besar terhadap cagar budaya Kotagede, mengatakan, Watu Gilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

"Kalau pun ada pemugaran, itu selalu berhenti di Masjid Agung Kotagede dan Makam Panembahan Senopati. Sedangkan Watu Gilang yang juga merupakan warisan budaya tidak pernah dipugar," katanya.

Padahal, menurut dia, seluruh warisan budaya di Kotagede, termasuk Watu Gilang, bukan hanya milik warga Kotagede, Yogyakarta, atau warga Indonesia semata, tetapi juga milik dunia. "Kami mau bangga dengan Kotagede dari apanya kalau situs budayanya tidak terawat," katanya.

-

Arsip Blog

Recent Posts