Oleh Nasrullah Nara
Bulu kuduk Hein Sorongan (55) merinding ketika musik kolintang mengalun di Stadion Maesa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Sabtu (31/10) sore. Mata Petrus Kaseke (67) bahkan berkaca-kaca menyaksikan persembahan massal kolintang dengan jumlah pemain dan alat mencapai 1.223.
Di tengah alunan lagu ”Tembo-temban” dan ”Minahasa Kina Toanku” yang dibawakan mendayu oleh dua gadis Minahasa, ingatan mereka terlontar ke masa kanak-kanak dahulu di Bumi Minahasa. Selain Hein dan Petrus, juga hadir ratusan penggiat kolintang, termasuk pelatih dan pembuat kolintang, baik yang bermukim di Minahasa maupun yang tinggal di sejumlah kota di Jawa.
Malang melintang di dunia seni tradisi, inilah kali pertama opa-opa itu menyaksikan kolintang dimainkan massal. Sebuah kerinduan akan bangkitnya kembali musik kolintang di tatar Minahasa membuncah di sanubari mereka.
Apalagi, pergelaran kolintang untuk dicatat dalam Guinness World Records itu juga dirangkai dengan pentas musik bambu yang dimainkan 3.011 orang. Kolintang dan musik bambu adalah seni tradisi yang tumbuh dan mengakar di tatar Minahasa sebelum kemudian menyebar ke daerah lain di Tanah Air.
Kolintang raksasa yang dipajang dalam acara itu terbuat dari kayu cempaka berukuran panjang 8 meter, lebar 2,5 meter, tinggi 2 meter, berat 3,168 kilogram, dan volume bahan 13,7 meter kubik. Adapun musik bambu berupa seng klarinet berukuran panjang lengkung/lingkar dalam-luar 4-32 meter, diameter mulut 6 meter, dan tinggi 8 meter.
Perwakilan Guinness World Records, Lucia Sinigagliesi, manggut-manggut takjub seraya berucap, ”Wow, it’s very nice….” Pencatatan seni tradisi Minahasa itu pada buku rekor dunia menutup ruang negara lain untuk mengklaimnya.
Diprakarsai Institut Seni Budaya Sulawesi Utara pimpinan Benny J Mamoto, pergelaran itu sarat misi primordialisme dan patriotisme. Diawali dengan seminar dan lokakarya, seluruh rangkaian kegiatan itu dihadiri perwakilan komunitas kolintang dari provinsi di Pulau Jawa. Tujuannya, selain menggapai pengakuan dunia agar tidak diklaim negara lain, juga untuk menyadarkan fenomena pasang surutnya kolintang di Tanah Air.
”Kami ingin membuktikan bahwa akar seni tradisi kolintang dan musik bambu berasal dari Minahasa sebelum kemudian menjadi medium perekat bangsa,” ujar Hendrik J Mantiri (62), penggiat kolintang sekaligus penerima pin maestro musik bambu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009.
Sebutan Minahasa mengacu kepada salah satu suku yang menghuni jazirah utara Pulau Sulawesi, di samping suku Sanger-Talaud, dan Bolaang Mongondow. Entitas budaya itu awalnya menghuni sebuah wilayah yang bernama Kabupaten Minahasa. Belakangan, seiring dengan era otonomi daerah, kabupaten itu mekar dari daerah induknya, yakni Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Utara, Minahasa Selatan, dan Minahasa Tenggara.
Bagi opa-opa penggiat kolintang itu, pulang ke tanah leluhur merupakan kesempatan langka. Biasanya mereka pulang ke kampung cuma dalam rangka Natal. Itu pun tidak rutin karena sudah dibalut kesibukan mengurus anak dan cucu serta aktivitas gereja. ”Torang (kita) bisa bakudapa (ketemuan) begini di Minahasa karena kolintang. Sayang sekali waktunya mepet. Torang nyandak bisa sama-sama keliling kampung halaman,” tutur Hein.
Di balik kegembiraan akan reuni seperti itu, tebersitlah galau. Gempuran budaya pop membuat kolintang tidak lagi rutin dilombakan. Lomba setingkat kabupaten paling banter sekali setahun. Belakangan, di pesta hajatan, kolintang sudah tergantikan organ tunggal (digital).
Redupnya kolintang juga bisa diukur dari kian jarangnya jumlah pembuat kolintang. Bengkel kolintang yang bertahan di wilayah Minahasa bisa dihitung dengan sebelah jari. Salah satunya adalah milik Joudy Aray di Tomohon, pembuat kolintang raksasa yang dipajang dalam pergelaran itu.
Namun, nilai plus dari hajatan itu terletak pada kehadiran putra-putra Minahasa yang merantau dengan bekal kecakapan bermain kolintang dan di tanah rantau konsisten menekuni bidang itu. Mereka telah meninggalkan Minahasa pada usia 20-25 tahun dengan predikat serba bisa: sebagai pemain, pelatih, dan pembuat kolintang.
Hendrik J Mantiri menegaskan, pemain dan pembuat kolintang sekaligus harus paham ukuran tebal-tipisnya serutan perut balok-balok kayu waru atau cempaka di atas peti resonator untuk mendeteksi nada ”tong” (nada rendah), ”ting” (tinggi), dan ”tang” (tengah). Irama-irama itulah yang muncul dari instrumen musik yang minimal terdiri atas enam unit, yakni satu melodi, satu benyo, satu juk, dua gitar, dan satu bas.
Sumber: http://oase.kompas.com