Oleh Sultan
Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang mungkin tak ditemukan di daerah lain Indonesia, dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tradisi yang telah turun-temurun berlaku di tengah orang itu disebut meugang, yaitu membeli, memasak dan makan daging bersama keluarga.
Meugang dilakukan selama dua hari menjelang datangnya ketiga momentum itu. Selama dua hari itu, warga berbondong-bondong mendatangi pasar di seantero Aceh, untuk membeli daging sapi atau kerbau.
Dalam tahun ini, harga daging pada hari meugang melonjak drastis dari hari-hari biasanya, mencapai Rp 100.000 – Rp 120.000 perkilogram. Sedangkan pada hari-hari biasa, harga daging di Aceh berkisar Rp 70.000 – Rp 80.000 perkilogram.
Ameer Hamzah, seorang tokoh masyarakat Aceh, menyatakan, meugang berasal dari kata makmeugang. Gang berarti pasar, dimana terdapat para penjual daging yang menggantung dagangannya di sepotong kayu.
“Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat mendatangi pasar. Tapi, dua hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, dulu warga ramai-ramai datang ke pasar, sehingga ada istilah makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah makmeugang. Tapi, seiring perkembangan bahasa kata itu menjadi meugang,” katanya, beberapa waktu lalu.
Meugang dianggap punya nilai religius karena dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Bagi masyarakat Aceh, Ramadhan dianggap bulan untuk menyucikan diri. Masyarakat Aceh memegang teguh kepercayaan bahwa nafkah yang telah dicari 11 bulan dinikmati selama Ramadhan sambil beribadah, katanya.
Menurut kisah, kata Ameer, awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya.
“Setelah Aceh dikalahkan Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu, rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau guna memeriahkan meugang. Tradisi itu tetap berakar di tengah masyarakat Aceh sampai sekarang,” kata Ameer yang merupakan mantan anggota DPR Aceh itu.
Menurut sejarah, meugang sudah sangat berakar dengan orang Aceh. Tradisi ini malah bisa membantu perjuangan pahlawan Aceh untuk bergerilya, yaitu daging yang diawetkan. Dengan daging awetan, pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan yang tetap berkalori sehingga dapat bertahan selama perang gerilya.
Filosofi lain bisa dipetik dari tradisi meugang itu, katanya, jika dikaitkan dengan Islam yaitu bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki “karena orang Aceh sangat kental dengan nilai-nilai keislaman”.
Selain itu, tambahnya, pada hari meugang banyak dermawan membagi-bagikan daging untuk fakir miskin sehingga terbangun interaksi sosial dan kebersamaan. Dengan begitu, semua warga meski berasal dari keluarga tak mampu bisa menikmati masakan daging pada hari istimewa tersebut, kata Ameer.
Sudah jadi tradisi, setiap kepala rumah tangga membeli minimal dua atau tiga kilogram daging untuk disantap bersama seisi rumah. Pantang bagi satu keluarga kalau tidak memasak daging pada hari meugang, sementara dari rumah tetangga tercium aroma masakan kari daging, sehingga anak-anak dilarang keluar rumah untuk bermain pada hari meugang.
“Malah, bagi seorang pria yang baru menikah seperti diwajibkan untuk membeli daging minimal tiga kilogram untuk dibawa pulang ke rumah mertuanya. Kalau hal itu tak dilakukan, maka aib bagi mempelai pria dan keluarga tersebut, karena mereka akan malu kepada orang seisi kampung,” kata Ameer.
“Kalau di pedesaan yang masih kuat adatnya, mempelai pria itu bisa jadi tidak diterima lagi sebagai menantu kalau tak membawa pulang daging,” katanya menambahkan. []
Sumber: http://www.acehkita.com