Cerpen Linda Christanty
Dimuat di Koran Tempo
Anjing mungil itu rebah di jalan. Serdadu itu menembaknya dengan senapan otomatis.
Kameraku nyaris terlepas. Aku benar-benar kaget.
Baru saja kulihat ia berlari-lari kecil, mengendus-endus pasir, lalu menengok sekelilingnya seperti bingung.
Aku bahkan belum memotretnya.
Tak berapa lama kudengar jerit kanak-kanak, yang jelas datang dari rumah itu, dari bangunan warna coklat pasir yang hanya berjarak 20 meter dari tempatku berdiri sambil memegang kamera ini.
Dengan kalut, bocah laki-laki berusia sekitar enam tahun itu berlari kencang ke arah anjingnya yang sekarat, sedang perempuan yang mengenakan burka biru muda dan kuduga Ibunya memanggil-manggil nama putranya dengan cemas, terdengar seperti “Alef”, tapi yang dipanggil sama sekali tak peduli dan terus berlari. Setelan biru gelap di tubuhnya membuat kulit Alef yang putih pucat semakin pucat.
Perempuan itu kalang-kabut mengejar putranya yang baru saja melesat di depanku.
Alef dirasuki rasa sakit tak terkatakan. Tidak seperti anjingnya yang langsung terkulai lemas, ia meraung histeris. Tidak seorang pun mengejarnya, kecuali perempuan itu. Ibu dan anak membawa rasa khawatir masing-masing. Tidak seorang pun menenangkan mereka, karena semua orang memilih menenangkan diri sendiri.
Sejumlah orang yang ada di sekitarku segera membalikkan tubuh mereka dan memunggungi adegan ini, atau pura-pura tak melihat apa yang baru saja terjadi. Mereka terbiasa memilih buta dan bisu di saat-saat tertentu. Ketika kamu menanyakan apa yang mereka lihat barusan, satu-dua orang yang berani bersuara pasti menjawab serentak, “Kami tidak melihat apa-apa, kecuali langit putih terang. Kami tidak mendengar apa pun, kecuali ringkik keledai.”
Sebelum serdadu tersebut menembak anjing, aku tengah mengambil beberapa gambar, membidik tiap sasaran dengan kameraku.
Aku memotret anak-anak, perempuan dan para ibu, yang berdiri di pintu-pintu rumah mereka atau mondar-mandir di jalanan. Banyak anak-anak di tempat ini. Tadi kulihat seorang bocah perempuan, mungkin sekitar lima tahun usianya, menggendong adiknya yang masih bayi di punggung. Aku tidak melihat perempuan dewasa di dekatnya. Ia berjalan tertatih-tatih dan terbungkuk-bungkuk menahan beban di punggung, lalu berhenti dan menatapku penuh selidik.
Aku juga memotret seorang gadis kecil bergaun merah yang melangkah di lorong sempit, di antara bangunan sewarna pasir itu. Ia sendirian. Rambutnya yang hitam kecoklatan tampak kusut. Ada bercak putih di kedua pipinya yang kemerahan. Kaki-kakinya yang tak mengenakan sandal atau sepatu bersepuh debu. Ia seperti tak memiliki siapa pun di dunia ini. Kameraku menyambarnya berkali-kali dan ia tidak peduli. Ia terus berjalan dengan mata melamun.
Kadangkala aku bertanya dalam hati, apa yang terjadi dengan anak-anak ini kelak, 10 atau 15 tahun mendatang.
Dari potret anak-anak di berbagai tempat di sini kamu akan tahu seberapa besar kekuatan musuhmu atau siapa yang bakal jadi musuhmu di masa depan.
Di satu desa, anak-anak bahkan menatap sinis saat kameraku membidik mereka. Di desa lain, seorang anak perempuan mengintai dari balik pintu rumahnya dengan menodongkan mobil mainan ke arah kami seolah-olah itu pistol, sedang abangnya menyongsong kami di depan pintu besi bercat hijau itu dengan bahasa tubuh seakan-akan musuh yang menggoda dan berkata, “Hai, coba tangkap saya”, meski ia tertawa. Namun, di beberapa desa, anak-anak tersenyum dan melambai ke arahku. Aku akan mengirim beberapa potret mereka untukmu nanti, baik yang bermuka kecut maupun yang ramah.
Potret-potret ini mengabadikan apa yang pasti sirna. Wajah polos para bocah laki-laki suatu saat berganti wajah lelaki-lelaki berjenggot, yang makin lebat dan panjang jenggot mereka makin mereka dihargai. Anak-anak perempuan lambat laun tinggal kenangan. Mereka tumbuh jadi perempuan dewasa yang harus melayani keinginan para lelaki, suka ataupun tidak.
Serdadu itu berdiri di ujung jalan sana, tidak jauh dari anjing yang sekarat dan ia bersikap seolah-olah tak melakukan apa pun yang telah mengguncang jiwa seseorang dan memusnahkan jiwa yang lain.
Ia bersikap seakan-akan anjing mati itu memang sudah terbaring di situ jauh sebelum ia datang, seperti gunung-gunung, hamparan pasir, padang rumput, udara panas, angin kencang musim dingin dan salju yang ada di tempat ini, yang jadi bagian dari hidupmu karena lahir dan tumbuh di negeri ini, yang semestinya ada dan kamu anggap bukan hal penting lagi.
Usia serdadu itu barangkali 19. Aku memalingkan wajahku ketika ia spontan melayangkan pandangannya ke arahku, tepatnya ke arah bocah yang berlari itu, karena kami berada di arah yang sama, dalam posisi sejajar di garis tembaknya.
Aku juga tidak paham kenapa aku harus terkejut menyaksikan prajurit menembak seekor anjing. Bukankah anjing itu hanya binatang, makhluk tak berakal yang bulu-bulu coklatnya bahkan kelihatan kotor tak terurus? Sebutir peluru telah membunuh makhluk yang sama sekali tidak terlibat dalam perang ini. Aku tidak akan melaporkannya pada komandan tertinggi di markas pusat, karena aku tidak berada di bawah wewenangnya. Aku barangkali akan mengabarkan penembakan anjing ini pada atasanku, yang selalu membalas dengan jawaban yang sama tiap keluhanku: Maaf, kamu harus menyaksikan hal semacam ini. Namun, setelah kupikir-pikir, sebaiknya aku tidak usah menulis surat lagi untuk atasanku, selain laporan-laporan resmi. Semakin banyak mengeluh, keadaanku justru makin sulit. Aku bisa dikirim pulang sewaktu-waktu dan itu berarti aku tidak dapat membayar pengobatan ibuku, kuliah Mark dan cicilan rumah. Barangkali serdadu itu juga mempunyai ayah atau ibu yang sakit, barangkali ia tidak punya pilihan masa depan, selain terjebak di tempat ini, seperti aku dan siapa pun.
Kemarin ia dan pasukannya menyelamatkan aku saat konvoi kami melewati kawasan musuh. Aku berada di mobil antipeluru, sedang pertempuran berlangsung di sekitarku. Jantungku berdegup keras. Kerongkonganku kering. Ini pengalaman pertamaku terjebak dalam pertempuran bersenjata sebagai satu dari sedikit orang sipil yang bertugas di sini.
Aku bertanggungjawab untuk mengawasi pembangunan turbin dan tidak pernah pergi ke mana pun tanpa pengawalan ketat. Aku tidur, makan dan bekerja bersama orang-orang bersenjata, yang merintis jalannya pembangunan dengan “membersihkan” tiap wilayah kerjaku sebelum aku datang.
Kalau kamu bertanya di mana musuh yang menyebut dirinya “pelajar” itu berada dan seperti apa wujud mereka, aku tidak bisa menjawab. Serangan mereka begitu tiba-tiba. Mereka pintar bersembunyi. Kamu mendengar tembakan atau ledakan mortir, tapi tidak akan melihat penembak atau pelontarnya. Kamu hanya melihat hamparan pasir dan padang rumput, juga gunung-gunung di kejauhan.
Para “pelajar” melarang anak-anak perempuan bersekolah dan mereka juga memperkosa perempuan-perempuan muda. Di satu desa, aku bertemu anak perempuan, 14 tahun usianya, yang tak ingin hidup lagi. Wajahnya meleleh, seperti coklat mencair. Salah satu “pelajar” menyiram wajah Shirin dengan air raksa, karena ia nekad bersekolah.
Musuh kami menamakan diri mereka “pelajar”, tapi melarang orang belajar dan jadi terpelajar. Dulu mereka bekerja sama dengan kami menghalau tank-tank musuh dari Timur. Namun, tak ada sekutu yang cuma-cuma. Beberapa orang di sini bahkan terang-terangan berkata tak ingin kami ada, juga tak ingin para “pelajar” itu berkuasa. Artinya, mereka tak menginginkan dunia modern juga zaman batu. Dunia macam apa itu? Barangkali dunia di antaranya, dunia di masa mesin cetak baru saja ditemukan dan orang masih bepergian dengan naik kereta batu bara. Tetap saja sebuah dunia yang terbelakang, menurutku.
Begitu suara tembakan berhenti, kami kehilangan tiga prajurit dalam konvoi pasukan gabungan ini. Ketika kami sampai di benteng, aku merasa letih luar biasa dan segera mandi. Setelah itu aku makan. Berat badanku terus bertambah, karena tidak lagi main basket. Katamu, perutku pasti bertambah tingkatnya. Seperti gedung. Dulu dua lantai, nanti tiga atau empat lantai.
Serdadu itu seumuran Mark, adikku. Mark kini tinggal di asrama kampusnya, tidak lagi menyewa apartemen. Kamu tentu sudah melihat potret kami berdua, yang kukirim di hari Thanksgiving. Ayah Elena, pacar Mark, memotret kami di rumahnya. Di belakang kami ada seperangkat drum, kalau kamu melihat potret itu lebih seksama. Ayah Elena gemar bermain musik. Di rumahnya, selain drum, ada gitar akustik, saksofon, harmonika, dan piano. Malam itu aku menyanyi, sedang ayah Elena mengiringiku dengan gitarnya. Suaraku tidak terlalu buruk. Aku melantunkan lagu Tom Waits, “Romeo is Bleeding”. Dan hari ini kulihat darah anjing.
Tubuh anjing kecil itu seperti meringkuk dalam genangan saus tomat. Aku mendadak malas membidikkan kamera. Para serdadu lain di sekitarku tak acuh. Ada yang melayangkan pandangan sebentar ke arah anjing mati, lalu kembali memeriksa rumah-rumah atau mengawasi sekeliling.
Jadi bocah tampan inilah pemilik si anjing malang. Andaikata bukan di sini, aku pasti akan meraih tubuhnya dan memeluknya, membujuknya agar melupakan rasa sedih, seperti biasa kulakukan terhadapmu saat kamu murung atau gelisah. Aku mungkin akan membelikannya mainan atau seekor anjing baru, mungkin Golden Retriever yang ramah dan jinak. Aku juga akan membuatkan makam yang layak untuk anjingnya yang mati, dengan nisan bertuliskan nama anjing itu. Aku akan membiarkannya menangis sampai puas di situ dan mengucap selamat tinggal untuk anjingnya. Tapi di Bala Murghab tidak ada makam yang layak untuk anjing-anjing kesayangan yang mati, tidak ada boneka-boneka di gundukan pasir sebagai tanda kasih dari yang ditinggalkan, tidak ada patung granit berbentuk anjing dan ukiran kata-kata indah untuk yang mati dan dikenang.
Anak laki-laki itu hampir sampai di muka tubuh anjingnya. Tapi serdadu itu tak membiarkannya menyentuh apa yang ia inginkan. Sebelum tangan kecilnya yang pucat menyentuh bangkai anjing kesayangannya, kulihat serdadu tersebut cepat-cepat meraih dan melempar bangkai tadi sejauh mungkin, ke seberang jalan.
Darah anjing menetes ke tanah, juga bersemburat di udara.
Bangkai anjing mendarat di muka seorang lelaki tua. Ia kaget, lalu mundur beberapa langkah dan aku yakin, ujung jubahnya terpercik darah anjing mati. Kulihat ia pun buru-buru masuk rumah.
Alef, namanya memang terdengar seperti “Alef”, menangis keras. Tubuhnya menggigil. Perempuan yang kusangka Ibunya itu telah berada di sisinya, segera memeluk Alef, lalu membawanya menjauh dari genangan darah anjing. Alef terus menangis. Perempuan itu terus membujuk dan tak berani menatap ke arahku saat ia bersama putranya kembali melintas di depanku. Perempuan itu bergegas menuntun putranya yang terisak-isak. Aku tidak memotret mereka. Tiba-tiba aku kehilangan selera memotret.
Lima hari lagi aku kembali ke Herat, kembali ke markas pasukan Italia. Kadangkala aku bisa minum anggur di barak mereka, sedikit mengobati jemu. Tapi di markas pasukan Amerika, tak ada sekaleng bir pun. Jenderal McChrystal melarang pasukannya meneguk minuman beralkohol.
Aku juga tidak bisa sering-sering menulis surat untukmu, Honey. Akses internet tidak selalu ada untuk menulis surat. Satu komputer pun kami pakai bergantian. Sinyal teleponku tidak selalu bagus, sehingga aku jarang menghubungimu.
Aku tidur di ranjang susun. Satu barak tidur kadang berisi sebelas orang. Suara orang buang gas terdengar tiap malam. Baunya membuat akal sehatmu hilang mendadak. Bau busuk menyebabkan aku terkadang ingin berbuat busuk: kubayangkan menggantung sekantong kotoran keledai tepat di depan hidung mereka yang lelap, biar mereka mimpi berenang di kubangannya dan mengigau sepanjang malam.
Empat bulan lagi aku cuti. Aku ingin menonton film komedi dan makan popcorn. Apakah kamu bisa mengambil cuti juga, pulang ke rumah dan kita berkumpul dengan teman-teman lama? Waktu Thanksgiving, kamu tidak pulang….
Kuhela napas panjang tanpa sadar. Aku sedikit lelah. Udara terasa panas menyengat, meski angin dingin bertiup.
Alef dan Ibunya tiada tampak lagi. Tidak seorang pun berani menyentuh bangkai anjing di seberang sana. Serdadu yang menembak anjing tadi tiba-tiba memberi isyarat padaku. Ia minta dipotret. ***
Sumber: http://www.sriti.com