Lelaki Jangkung di Perempatan

Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Coffee Shop
SENANTIASA di perempatan yang sama, ia melihat lelaki separoh baya itu. Berdiri dekat rambu lalu lintas sambil memandang nanar ke arahnya. Manda berdebar. Ah, betapa rasa gelisahnya selalu muncul setiapkali melihat lelaki bertubuh jangkung itu.

Dipergegas langkahnya. Sepuluh meter lagi ia sampai. Sudah pukul tujuh kurang lima, tak ingin ia terlambat muncul di kedai tempatnya bekerja. Atau seperti yang sudah-sudah, ia bakal mendapatkan omelan Mbak Mutia yang selalu disiplin dengan waktu.

Sinar matahari pagi terasa hangat di kulitnya yang lembut. Syukurlah, di depan pintu kaca kedai potongan plastik biru persegi yang tergantung masih menyatakan “CLOSE”. Didorongnya pintu kaca itu. Arum sedang menyapu di tengah alunan syahdu sebuah lagu pop. Lagu siapa, Manda tak ingat. Ia bergegas ke dapur kedai, memakai ceremeknya. Dilihatnya Tom sedang mencuci setumpuk cangkir dan piring. Buru-buru ia beranjak, sebelum pemuda ceking itu mengusilinya. Ketika ia keluar lagi, Mbak Mutia hanya tersenyum kecil dari belakang meja kasir. Entah sejak kapan, perempuan lajang yang sudah nyaris kepala empat itu berada di sana. Padahal ketika ia datang pemilik kedai itu belum kelihatan. Dibantunya Arum menurunkan kursi-kursi bundar dari atas meja panjang, kemudian menuju ke balik meja tempatnya biasa meracik dan menyeduh kopi.

Lima belas menit pertama, baru saja Arum membalikkan potongan plastik biru di pintu kaca, wajah Pak Adi yang ramah sudah nonggol. Lelaki berambut keriting itu seperti biasanya setiap pagi, rutin mampir untuk ngopi sebelum berangkat ke kantor.
“Biasa, Pak?” ia memasang senyum manis.

“Biasa, Manda,” lelaki itu meletakkan pantat di kursi, balas tersenyum dan mengeluarkan selembar surat kabar. Tentu telah dihafalnya menu pagi Pak Adi. Biasa berarti segelas espresso macchiato dalam ukuran tall dan tiga buah donat. Mesin pembuat kopi bekerja dengan cepat. Dalam waktu singkat, espresso yang mengepul wangi dan donat pun terhidang. Kemudian satu persatu langganan berdatangan, susul-menyusul. Sehingga dengan segera kedai kecil itu mulai ramai. Pukul setengah delapan lewat empat puluh menit di Selasa pagi, mereka nyaris kewalahan melayani pengunjung. Begitulah. Sebuah rutinitas yang telah ia jalani sejak enam bulan terakhir.

“Kau kurang sehat ya?” tanya Arum ketika mereka membereskan meja saat pengunjung tinggal sedikit. Ia tersenyum kecil dan menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan, “Nggak Rum, hanya agak lelah saja.”

“Aku lihat dua minggu ini kau sering melamun. Ada apa Da? Ribut lagi dengan pacarmu?” Arum begitu perhatian. Ia melengos, “Ah, kami baik-baik saja kok!”

“Masalah keluarga?”

Ia menggeleng. Tertawa kecil. Sosok lelaki separoh baya yang setiap pagi berdiri di perempatan dekat rambu lalu lintas itu masih terus terbayang. Tubuh yang jangkung, rambut tipis kelabu, mata yang menatap nanar padanya. Dan rasa gelisah yang aneh itu mengusiknya lagi untuk beberapa saat. Sudah lebih dari dua minggu, ia selalu melihat lelaki itu di tempat yang sama, dalam kondisi yang sama.

“Tak ingin cerita, Da?” Arum belum juga menyerah. Sekali lagi, Manda menggeleng, “Benar tidak ada apa-apa kok!”

Ah, di mana dirimu kini, Abah... Ia menggigit bibir. Entahlah, dadanya terasa agak sesak. Tom memutar Frank Sinatra, Killing Me Softly.

Ayunan dan Ladang
SEBUAH rumah panggung sederhana. Berdiri di atas delapan tiang bata, setengah tembok dengan banyak jendela. Begitulah Manda mengenang bertahun-tahun yang lewat itu: di kampung kelahirannya, daerah Ogan Komeling Ilir... Di halaman rumah panggung ada sebatang duku dengan sebuah ayunan tergantung di dahannya yang besar kokoh.

Lelaki jangkung itu sering berayun-ayun di sana, di bawah keteduhan pohon duku yang konon telah berusia hampir seabad. Hampir setiap sore, lelaki itu selalu duduk di ayunan sambil membaca buku, majalah, atau hanya berayun-ayun saja sambil menghisap kretek.

Tentu, Manda juga suka berayun-ayun di sana. Biasanya sepulang sekolah, ia akan membawa boneka kelincinya ke sana. Angin yang sepoi—kadang-kadang lebih kencang, pekarangan rumah yang luas dengan pagar tanaman bonsai tertata rapi, biji-biji kopi setengah basah yang dijemur di atas gelaran tikar pandan. Sering ia bernyanyi-nyanyi kecil sambil terus berayun dan menatap awan-awan putih berarak di langit. Terkadang pesawat lewat di atas bubung rumah dengan meninggalkan bekas asap yang panjang.

“Itu pesawat dari Palembang,” kata si jangkung.

“Dari pesawat, terlihat laut ya Bah?” tanyanya dengan mata berbinar. Lelaki itu akan tersenyum lalu menghisap rokoknya perlahan, “Tentu anak manis. Dari pesawat kita bisa melihat laut yang luas.”

“Orang-orang di pesawat bisa melihat kita nggak, Bah?”

“Tidak Sayang… Mereka terbang terlalu tinggi. Nanti kamu akan tahu, kalau suatu hari kamu naik pesawat.”

Ia diam, membayangkan berada di atas angkasa sana. Pasti indah. Namun ia lebih tertarik pada laut. Laut yang biru dan berombak seperti syair lagu-lagu. Sudah lama ia ingin sekali naik kapal. Bila demikian, ia akan berayun-ayun lebih keras sembari berkhayal dirinya terombang-ambing di atas lautan.

Ah, semuanya memang masih begitu jelas dalam ingatan Manda. Desir angin yang sejuk—yang membuat dedaunan duku yang lebat bergemerisik riuh, wangi aroma biji kopi dijemur, jalan aspal yang keropak di depan rumah, ladang kopi yang terhampar luas di bukit.

Kadang-kadang si jangkung membawanya ke bukit di belakang rumah itu. Dua hari sekali, emak dan Yu Tini selalu pergi ke sana, tapi mereka tak pernah mengajaknya. Padahal ia senang bermain di sela-sela tanaman kopi. Ia suka pada bunga kopi—yang putih mirip melati, dan diam-diam memetiknya tanpa sepengetahuan siapapun. Emak bisa marah besar jika sampai tahu. Tetapi si jangkung hanya tertawa saja saat memergokinya. Ya, hanya lelaki jangkung itulah yang berkenan mengajaknya ke bukit…

“Ayolah Bah! Aku tak usah digendong.”

“Nanti kamu letih. Lagipula sekarang anginnya kencang,” lelaki itu mengusap-usap rambutnya. Jalan ke bukit memang agak sulit. Kendati tak tinggi, tapi banyak tanjakan terjal berliku-liku. Si jangkung biasanya menggendongnya di pundak. Ia senang sekali sepanjang perjalanan. Mereka, ayah dan anak, bernyanyi-nyanyi kecil menimpali kicau burung-burung yang merdu. Beragam pepohonan buah menjulang di kiri kanan jalan setapak: rambutan, manggis, duku, durian, nangka, cempedak… Sebagian warisan mendiang kakek-nenek—orangtua emaknya. Sebagian milik para tetangga yang turun-temurun bekerja pada kakek.
Ya, emaknya memang asli kampung kecil itu. Putri tunggal seorang petani kopi. Konon, emak bertemu dengan si jangkung saat berkuliah di Palembang. Demikianlah Manda diceritakan—Ah, menjelang badai hebat di rumah panggung itu!

Keduanya sama-sama belajar di Fakultas Pertanian, sama-sama duduk di senat mahasiswa, dan mulai berpacaran di tingkat akhir. Tak lama setelah lulus, mereka menikah. Awalnya si jangkung mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan sawit di Lahat. Mereka pun pindah ke kota kecil itu sembari emak mengajar di sebuah SMP sebagai guru honorer. Tapi baru setahun di sana, kakek meninggal. Dan ladang kopi tak ada yang mengurus. Emak sebagai satu-satunya pewaris harus pulang, meski si jangkung mula-mula keberatan.

“Kita bisa mengurus ladang itu bersama-sama. Tapi terserahmu saja mau ikut atau tidak,” begitulah emak berkeras. Tentu saja, mereka akhirnya pulang dan menetap di kampung kecil itu. Kalau tidak, ia tak akan lahir dan besar di sana. Ia tak tahu apa yang membuat si jangkung mengalah. Namun ia ingat ketika suatu hari lelaki itu mengisahkan padanya sejarah kopi.

Kopi, kata lelaki jangkung itu, memiliki sejarah yang sangat panjang: “Kira-kira sekitar abad ke-9, seorang penggembala kambing Abessynia menemukannya sewaktu sedang menggembala.” Lelaki itu lalu bercerita bagaimana tumbuhan itu menyebar ke Mesir dan Yaman, hingga menjangkau Persia, Mesir, Turki dan Afrika utara. Juga cerita tentang Ali al-Shadili yang gemar minum sari biji kopi agar bisa tetap terjaga untuk sholat malam.

Tapi ia paling senang kisah sufi Ali bin Omar dari Yaman yang menjadikan rebusan kopi sebagai obat penyakit kulit dan obat-obatan lain. Sehingga kopi mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat negeri itu. Dari khasiatnya itulah, kopi akhirnya membawa kemakmuran bagi pemilik-pemilik kebun, pengusaha kedai, dan para pedagang.

“Orang Turkilah yang pertama kali meramu kopi mereka dengan cengkeh, kapulaga, adas, dan kayu manis,” lelaki itu menjelaskan, “Waktu itu di sana sempat diberlakukan hukum bahwa seorang istri boleh menceraikan suaminya jika sang suami tak sanggup menyediakan cukup biji kopi untuk diminum sehari-hari.”

Ai, waktu itu ia sempat tercengang. Begitulah.

Tanpa sadar, kedua mata Manda kini terasa agak panas mengenang kembali semuanya. Buru-buru dibawanya cangkir-cangkir dan piring kotor ke dapur sebelum Arum melihat perubahan air muka dan matanya yang berkaca-kaca.

Pelabuhan dan Kapal
SIAPA sebetulnya lelaki separoh baya yang setiap pagi berdiri di dekat rambu perempatan itu? Buat apa ia berdiri di sana dengan kesedihan begitu kentara di wajah? Adakah seseorang yang ditunggunya? Anaknya kah? Laki-laki dan perempuan? Atau seorang kekasih di masa muda yang mengajak bertemu lagi? Ah, sepasang mata yang menatap nanar ke arahnya itu. Serasa menikam langsung ke jantung Manda. Membuat dadanya bergetar. Atau lelaki jangkung itu di sana memang untuk menunggu dirinya? Ai, ia begitu kangen pada lelaki jangkungnya di masa silam...

Suatu malam —ia ingat, ketika itu ia kelas dua SMP— lelaki itu menghampirinya dan menatapnya lekat-lekat. Ia hentikan pekerjaannya merajut baju boneka, “Ada apa, Bah?”
“Kau masih kepingin lihat laut? Mau naik kapal?” lelaki itu tersenyum. Ia kaget dan meletakkan rajutan tergesa-gesa. Dibalasnya tatapan abahnya dengan mata berbinar-binar.
“Mau, Bah! Kapan?” ia mengangguk penuh semangat. Lelaki jangkung itu menyulut sebatang kretek, “Hari Minggu ini, dua hari lagi. Abah mau mengajakmu ke Mentok. Ke tempat mendiang nenekmu.”

Tentu, ia belum pernah ke kota kelahiran abahnya. Setahu Manda kala itu, si jangkung belum pernah sekali pun pulang. Ah, telah belasan tahun! Lelaki itu sudah yatim sejak kecil. Dan nenek—ia tahu—meninggal ketika lelaki itu kuliah semester empat. Dari bisik-bisik sang abah dengan emaknya kemudian, ia mendengar kalau lelaki itu ke sana untuk mengurus semacam warisan. Warisan apa, Manda kurang jelas. Hm, memang tak terlalu peduli ia pada hal itu! Ia lebih tertarik melihat laut dan naik kapal. Ia juga ingin bertemu dengan paman-paman dan bibi. Apakah ia punya banyak sepupu?

Maka pagi-pagi sekali, pada hari Minggu yang dijanjikan lelaki jangkung itu, mereka pun berangkat ke Palembang. Ya, akhirnya ia akan melihat kapal, melihat laut yang biru. Ketek—perahu motor; angkutan dari hilir ke hulu dan sebaliknya itu—membawa mereka bertolak dari sungai Ogan, kemudian menyusuri Musi yang kecoklatan. Betapa dadanya berdebar sepanjang perjalanan. Begitulah. Ia ingat, ketika tiba di pelabuhan Tangga Buntung, ia sampai melonjak-lonjak kegirangan melihat kapal-kapal ferry bertingkat tiga yang bersandar di dermaga, juga kapal-kapal roro sarat muatan.

Dan akhirnya laut! Laut yang biru dan berombak setelah kurang lebih tiga jam kapal ferry yang mereka ditumpangi membelah Musi.

Mentok, kota pelabuhan yang mungil di kaki gunung Menumbing. Dari dermaga, mereka masih harus naik angkot setengah jam lebih untuk mencapai kampung sang abah. Tak ada saudara-saudara sepupu ramah seperti yang Manda harapkan. Di rumah peninggalan nenek, hanya ada seorang bibi. Bi Sania, demikianlah ia diperkenalkan oleh si jangkung pada perempuan berumur 30-an yang cantik namun pendiam itu. Entahlah, ia merasa tidak suka pada perempuan itu. Dan ia rasa demikian pula dengan sang bibi. Dua hari ia berada di sana, mereka hanya bicara seperlunya. Suasana serba kaku itu tentu saja membuat ia mulai tak betah. Untung si jangkung agaknya memahami dan membawanya jalan-jalan. Ia dikenalkan pada sejumlah tempat bersejarah kota tua itu, juga tempat-tempat kenangan masa kecil dan remaja si jangkung.

Hari ketiga, menjelang sore, satu-satunya pamannya, kakak si jangkung datang dari Koba—ratusan kilo di selatan Mentok. Berbeda dengan Bi Sania, Mang Fardi cukup ramah dan menyambutnya dengan hangat. Lelaki berkulit legam yang tak setinggi abahnya itu kemudian mengajaknya mancing di sisi dermaga Mentok yang sepi.

“Dari seberang sana, Tanjung Sungsang, Zammah, isteri tua Sultan Mahmud Badaruddin I melihat kawasan ini dan memohon diijinkan menetap di sini. Amun tok, kalau itu tempatnya sesuailah, konon begitu kira-kira kata puteri Johor itu ketika tahu keluarga Kerajaan Palembang kurang berkenan dengan kehadirannya,” jelas Mang Fardi mengenai asal-usul nama kota padanya. Paman yang murah senyum itu kemudian juga membawanya ke Koba, mengenalkannya pada bibi dan dua saudara sepupunya, Amir dan Desi. Amir tiga tahun lebih tua darinya, dan Desi setahun lebih muda. Ah, barulah saat kelas tiga SMA, ia bertemu lagi dengan Desi.

“Bibi Sania itu bukan adik kandung kami. Ia anak angkat. Abahmu menyukainya. Tapi tentu saja nenekmu menentang. Tidaklah mungkin bagi beliau menikahkan abahmu dengan anak angkatnya sendiri,” demikian rahasia itu diungkapkan Mang Fardi dengan hati-hati kepadanya suatu malam. Entahlah, Manda tak merasa terlalu kaget. Sejak pertama kali bertemu dengan bibinya itu, perasaannya telah mengatakan ada sesuatu antara perempuan itu dengan si jangkung.

“Bi Sania tidak menikah?”

“Menikah. Tapi cerai...”

Bagai kambium, Tahun-tahun Melingkar

“NGGGGUUUIIIINNNNNGGGG..........! Nggguuuuuuuuuuuuuiiiiinnnggg…!”

Ya, suara itu seolah datang dari masa lalu: ketika lelaki jangkung itu mengajaknya naik kapal feri ke Mentok. Dengan gontai, Manda berjalan kembali ke balik mejanya. Belakang lehernya terasa nyeri. Kebiasaan jika ia sedang gelisah.

Ia tahu, warisan sepetak tanah di kampung halaman sama sekali tidaklah berarti bagi abahnya. Lelaki itu memang pulang setelah sekian lama untuk hal yang lain. Tapi sejak itulah, Manda mencintai kota-kota pelabuhan. Menyukai segala hiruk-pikuk bongkar muat dan kesibukan penumpang naik-turun kapal. Dunia adalah tempat yang aneh, pikirnya. Banyak orang datang dari tempat yang jauh, kadang hanya untuk bernostalgia.

Di kedai kopi tempatnya bekerja paroh waktu, ada sebuah lukisan kapal berlambung keemasan yang sedang bersandar di suatu dermaga. Terkadang, jika pengunjung sedang sepi, ia betah memandangi lukisan itu berlama-lama. Dan dari jendela lebar sisi timur kedai, ia pun dapat memandang pelabuhan di kejauhan. Sesekali—sekarang memang kian jarang, Manda suka berjalan-jalan di tepi dermaga itu sore-sore. Sekadar menikmati angin laut sambil melihat kapal-kapal menurunkan penumpang atau membongkar muatan. Aroma bacin, peti-peti kemas berwarna oranye menyala, debur ombak, gemerincing rantai jangkar, entah sejak kapan selalu membuatnya lebih tenang.

Aha, tanpa terasa tiga tahun sudah ia tinggal di kota pelabuhan yang besar ini sambil berkuliah...

Di manakah dirimu berada, Bah?

Belum pernah Manda merasakan kerinduan yang begitu menyiksa. Adakalanya sesuatu atau seseorang memang membangkitkan rasa kangen kita secara keterlaluan. Pulang dari Mentok kurang lebih enam tahun silam itu, segalanya tak lagi sama. Manda bisa merasakan jelas ketegangan merambat diam-diam di rumah panggungnya. Lalu pada malam-malam yang sepi saat ia membaca komik sampai larut, kerapkali didengarnya sang emak terisak. Atau kadangkala ditemukannya perempuan itu sedang menyusut air mata di dapur. Ah, begitulah. Lelaki jangkung itu juga jadi lebih pendiam, jarang mengajaknya ngobrol atau berayun-ayun lagi di bawah pohon duku depan rumah. Tak juga mengajaknya ke ladang kopi di atas bukit.
Hingga suatu hari saat pulang sekolah, ia menemukan rumah panggung itu porak-poranda. Lelaki jangkung itu keluar rumah dengan wajah merah padam, dan emaknya tersedu-sedu di kamar.

“Sudah kuduga... Sudah kuduga!” desis perempuan itu berulang-ulang. Manda hanya bisa tertegun, tak tahu harus berbuat apa. Tangan dan kakinya terasa dingin. Dua hari kemudian, ba’da maghrib, lelaki jangkung itu pulang. Namun hanya untuk mengemas pakaian.

“Abah hendak ke mana?” ia mengejar sampai ke halaman. Namun si jangkung hanya menoleh sekilas, menatapnya dengan mata nanar, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Mentok... Seharusnya ia membenci kota dermaga itu, barangkali juga kota-kota pelabuhan lainnya.

Cinta ternyata tak mudah memudar, pikir Manda. Tapi tahun demi tahun justru kian menebal, lapis-melapis seperti kambium tetumbuhan di hati si jangkung. Ia terkenang ketika suatu sore lelaki itu mengajaknya ke sisi barat bukit yang baru habis ditebang untuk ladang baru. Waktu itu, ia begitu terpesona melihat lingkaran-lingkaran tahun di batang kayu Nyato yang rata terpotong gergaji mesin. Garis-garis pertumbuhan pohon itu tampak menakjubkan baginya. Ai, aroma kayu basah masih terasa santer, dengan bau getah agak menyengat... Begitukah cinta pada Bi Sania membuat lingkaran tahun di hati si jangkung?

Ba’da maghrib itu, dalam keterbatasan cahaya di halaman yang berasal dari lampu teras, ia seolah melihat cinta terlarang itu melingkar-lingkar di wajah abahnya yang penuh kerutan usia, di kening lelaki itu yang berlipat-lipat.

Hujan yang turun deras disertai angin kencang selama tiga hari berturut-turut membuat sebelah barat bukit di belakang rumah itu longsor. Itu erosi pertama setelah puluhan tahun, kata para tetangga prihatin. Tanaman-tanaman kopi hancur. Panen tahun itu pun gagal total.

Ah, empat tahun setelah kejadian itu, ia datang lagi ke Mentok untuk kedua kalinya. Tetapi tiada siapa pun di rumah tua nenek. Rumah itu, seperti tidak terawat selama bertahun-tahun. Berdebu, dan penuh sarang laba-laba.

“Amang juga tidak tahu di mana abah dan bibimu, Nak,” tukas Mang Fardi dengan nada getir saat ia menyambangi pamannya itu ke Koba, “Kami tak bisa membantumu.”

Udara seperti membeku... Angin dengan aroma dedaunan lada berhenti berhembus masuk dari jendela. Ia hanya bisa mengangguk lemah, kecewa dan sedih. Pelan, Desi merangkulnya ke dalam pelukan. Mengusap-usap punggungnya. Kedua bahunya berguncang keras. Terisak, mati-matian ia berusaha menahan suara tangisnya.

Ah, seperti juga waktu itu, kali ini pun Manda benar-benar tak bisa membendung air mata. Buru-buru ia merogoh saku roknya mencari tissue. Saat itulah, belum sempat ia menyeka kedua matanya, pintu kedai didorong seseorang dari luar. Dan ia, dengan rasa sesak di dada, terpana begitu melihat bayangan tubuh itu di kaca... Pluit kapal ferry seperti melengking di kedua telinganya!***

Gaten, Yogyakarta, Maret 2010

Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar senirupa di Institut Seni Indonesia dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta sembari bergiat di Parikesit Institute. Buku kumpulan cerpennya, Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).

-

Arsip Blog

Recent Posts