Sesat Ancaman DPR

Oleh: Hifdzil Alim

DEWAN Perwakilan Rakyat geram terhadap hasil gelar perkara kasus Century yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasalnya, DPR tak puas dengan kinerja KPK. Ketidakpuasan itu menyemburkan niat DPR untuk memangkas anggaran KPK.

Ditambah lagi, Tumpak Hatorangan Panggabean, Pelaksana Tugas Ketua KPK yang baru saja diberhentikan, mengisyaratkan kasus Century akan dilempar ke kepolisian dan kejaksaan bila tidak ada indikasi korupsi di bail out Bank Century. Sepertinya, isyarat ini membuncahkan suhu kemarahan para politisi Senayan. Seakan, apa yang telah mereka hasilkan selama penyelidikan angket tak berarti alias muspro.

Jika benar nantinya tim penyidik KPK tidak menemukan dugaan korupsi dalam bail out Bank Century, tepatkah DPR memangkas anggaran KPK? Tidak!

Blunder

Niat DPR memangkas anggaran KPK adalah hal yang keliru. Apalagi bila dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 14 Ayat (2) mengatakan, setiap rencana kerja dan anggaran negara yang akan digunakan oleh pengguna anggaran negara harus berdasar prestasi kerja yang akan dicapai. Ketentuan UU itu melahirkan konsep anggaran berbasis kinerja (ABK).

Dengan menempatkan ABK sebagai unit analisis, niat DPR memangkas anggaran KPK, setidaknya, melahirkan empat blunder DPR. Pertama, pemangkasan anggaran KPK bertentangan dengan konsistensi konsep ABK, kinerja KPK selama ini boleh dibilang cukup sesuai dengan jalur manajemen ABK.

Tidak hanya itu, KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK) dinilai cukup berhasil mewujudkan tujuan pembentukannya.

Trend Corruption Report Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat Korupsi) pada 2009 mencatat, KPK memimpin jumlah pemeriksaan kasus korupsi sebanyak 58 kasus. Berturut-turut diikuti kejaksaan negeri (35 kasus), kejaksaan tinggi (13 kasus), Kejaksaan Agung (13 kasus), Mabes Polri (1 kasus), dan kepolisian wilayah (1 kasus).

Lalu, bagaimana dengan DPR? Pukat Korupsi merekam hasil yang berkebalikan, misalnya, per Juni 2009, dari 282 RUU yang masuk ke dalam Program Legis- lasi Nasional (Prolegnas) 2004- 2009, DPR hanya menyelesaikan 197 RUU (69,85 persen), sedangkan 85 RUU (30,15 persen) hanya masuk ”daftar tunggu”. Dari RUU yang sudah diselesaikan itu pun, RUU pemberantasan korupsi cuma 6 persen. Padahal, pagu definitif DPR mencapai angka Rp 1,8 triliun.

Dengan rekaman tersebut tentu sedikit yang akan menolak seumpama ada usulan: yang seharusnya dipangkas anggarannya adalah DPR, bukan KPK.

Kedua, mengurangi anggaran KPK secara perlahan-lahan akan membunuh sang pembunuh koruptor. Bagaimana tidak, sejak 2004- 2009, misalnya, jumlah pengaduan yang masuk ke KPK sebanyak 33.658. Dari jumlah itu, pengaduan yang memuat dugaan tindak pidana korupsi sebanyak 7.020. Dengan jumlah pengaduan sebanyak itu, anggaran KPK yang ditentukan oleh negara untuk tiap tahun anggaran hanya berada di kisaran Rp 300 miliar.

Meski demikian, KPK tak surut. Internal KPK berhasil memeriksa 1.017 pengaduan. KPK lulus memaksimalkan anggaran semut untuk mencapai hasil gajah. Bayangkan, apa jadinya kalau anggaran KPK betul-betul dipangkas? Tentu sedikit demi sedikit mendorong KPK jatuh ke liang lahat.

Ketiga, memangkas anggaran KPK saat ini akan bertabrakan dengan usaha meningkatkan kinerja KPK dan pemberantasan korupsi.

Pada 29 Oktober 2009 DPR menerbitkan UU 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dalam UU tersebut, kedudukan pengadilan tipikor ditentukan berada di setiap kabupaten/kota.

Dengan sendirinya, DPR sebagai pemegang kuasa anggaran mesti menambah anggaran bagi KPK agar dapat menginisiasi pembentukan KPK di kabupaten/kota sehingga KPK mudah meningkatkan kinerja memberantas korupsi, bukan memangkas anggaran.

Terakhir, DPR tampaknya lupa bahwa sangat sulit membangun logika untuk memangkas anggaran KPK hanya karena KPK dianggap turun kinerjanya gara-gara tak berhasil menemukan indikasi korupsi dalam kasus Bank Century sebab masih banyak kasus korupsi big fish lain yang berhasil dibongkar KPK, seperti kasus suap yang melibatkan pejabat Kejaksaan Agung dan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.

Bila demikian, tak ayal niat DPR memangkas anggaran KPK sebatas menjadi sebuah ancaman yang sesat, tak berdasar. Tidak lebih.

Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Sumber : Kompas, Rabu, 24 Maret 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts