Oleh: Hasrul Halili
PERSETERUAN antara Susno Duadji (Mantan Kabareskrim Mabes Polri) dengan beberapa petinggi Polri nampaknya semakin memanas. Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa pejabat Polri kepada publik, terindikasi bahwa manuver Susno dipandang tidak saja sebagai serangan terhadap segelintir oknum petinggi di jajaran kepolisian, tetapi juga dimaknai sebagai ancaman serius terhadap citra kepolisian sebagai sebuah lembaga penegakan hukum. Belakangan, perseteruan tersebut semakin melebar, setelah pihak Kejaksaan merasakan hal yang sama dengan Kepolisian.
Konstelasi panggung perseteruan menjadi semakin terpola, ketika Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal ini, secara bersama-sama “mengeroyok” petinggi Polri yang pernah menjadi “simbol tokoh Buaya” dalam konflik panas antara “Cicak versus Buaya” (baca: KPK versus Kepolisian) beberapa waktu lalu.
Puncaknya, Susno Duadji ditetapkan sebagai tersangka terkait laporan Brigjen Polisi Edmon Ilyas dan Brigjen Polisi Raja Erizman dengan dugaan pencemaran nama baik dan dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Sebagaimana diketahui, Susno Duadji menyebutkan nama 2 orang jenderal di Kepolisian, yang menurutnya terlibat dalam praktik makelar kasus, pada saat mereka menjadi anak buahnya ketika dirinya menjabat sebagai Kabareskrim.
Di luar urusan perseteruan personal antara Susno Duadji dengan Kepolisian dan Kejaksaan, penetapan status tersangka tersebut sebenarnya menunjukan sebuah “persoalan klise” dalam ranah penegakan hukum kasus korupsi, yaitu ketegangan (tension) antara mendahulukan proses hukum terhadap adanya pengungkapan/laporan kasus korupsi oleh pengungkap/pelapor di satu sisi, dengan ancaman kriminalisasi terhadapnya pada sisi yang lain, setelah adanya laporan balik dari pihak yang disebut namanya/dilaporkan oleh pengungkap/pelapor.
Ketegangan antara antara 2 hal tersebut secara normatif sebenarnya sudah teratasi dengan diintroducirnya berbagai instrument hukum yang mengindikasikan preferensi kepada masyarakat agar lebih terstimulasi untuk berani mengungkap/melaporkan kasus korupsi daripada menakut-nakuti mereka dengan “mambang” pencemaran nama baik.
Setidaknya, sebuah Surat Edaran Bareskrim Mabes Polri tanggal 7 Maret 2005 No.Pol: B/345/III/2005/Bareskrim perihal Permohonan Perlindungan Saksi/Pelapor, yang ditujukan kepada Kapolda se-Indonesia, yang memberikan himbauan kepada jajaran kepolisian di berbagai daerah di Indonesia agar mendahulukan penanganan laporan kasus korupsi dan menunda laporan pencemaran nama baik dari pihak-pihak yang merasa dinistakan namanya dengan adanya laporan sebuah skandal korupsi, secara jelas menunjukan hal itu.
Surat Edaran yang nota bene merupakan tindak lanjut surat Pimpinan Kpk No.R.200/KPK/I/2005 tanggal 31 Januari 2005 perihal Permohonan Perlindungan Saksi/Pelapor yang ditujukan ke Kapolri ini nampaknya merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari spirit dalam pasal 41 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana di dalam pasal tersebut dibuka ruang partisipasi publik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Adalah absurd membayangkan bahwa pada saat publik diberikan ruang peran serta dalam aktivitas anti korupsi (dalam bentuk mengungkap/melaporkan kasus) tetapi pada saat yang sama mereka “terintimidasi oleh teror” dilaporkan balik dengan sangkaan pencemaran nama baik.
Dengan demikian, jika dirujukan kepada aturan normatif Surat Edaran Bareskrim Mabes Polri dan ketentuan pasal 41 UU Tipikor, persoalan klise tersebut mestinya sudah jelas duduk persoalannya. Tetapi apa lacur, praktik di lapangan menunjukan hal yang berbalikan, setidaknya itulah yang terjadi pada penetapan status Susno Duadji sebagai tersangka.
Menurut hemat penulis, prioritas Kepolisian mendahulukan proses hukum pencemaran nama baik terhadap Susno Duadji dari pada pengungkapan skandal mafia pajak yang diungkapnya, terasa kontradiktif dan paradoks terhadap beberapa hal.
Pertama, jika pilihan semacam itu yang dilakukan, maka tindakan Kepolisian tersebut jelas kontradiktif dengan Surat Edarannya sendiri. Akibat pilihan tindakan tersebut, Kepolisian tidak hanya akan dituduh tidak konsisten, tetapi lebih jauh lagi bisa dianggap “menjilat ludahnya sendiri”.
Kedua, apa yang dilakukan oleh Kepolisian tersebut berpotensi mempunyai efek bola salju terhadap jajaran kepolisian di berbagai daerah di Indonesia, terutama ketika preseden tersebut dibaca sebagai “penanda penting” sedang bergeraknya sebuah pendulum kebijakan, dari kebijakan yang mempreferensikan penanganan laporan korupsi di atas penanganan laporan pencemaran nama baik, menjadi sebaliknya. Singkat kata, sebuah paradoks kebijakan telah dilakukan oleh (Mabes) Polri.
Jika hal ini yang terjadi, maka dampak yang dikhawatirkan ke depan adalah, polisi di daerah akan lebih agresif mengkriminalisasikan pihak-pihak yang mengungkap/melaporkan skandal korupsi dengan jerat pencemaran nama baik dari pada menangani pengungkapan/pelaporan kasus korupsinya. Bisa dibayangkan, jika terhadap Susno Duadji, seorang Komjen Polisi saja hal itu bisa dilakukan, apatah lagi terhadap orang biasa (di daerah) yang berani mengungkap/melaporkan sebuah praktik koruptif.
Ketiga, jika apa yang dilakukan oleh kepolisian saat ini terhadap Susno Duadji diletakkan dalam kerangka perlakuan eksesif terhadap seorang “whistleblower”, maka tindakan tersebut jelas paradoks dengan logika perlindungan yang seharusnya diberikan terhadap seorang saksi/pelapor kasus korupsi.
Alih-alih memberikan ruang kepada Susno Duadji untuk lebih leluasa membeberkan skandal yang akan dibongkarnya, penetapan status tersangka dengan jerat pencemaran nama baik, bisa dimaknai publik sebagai upaya “pembungkaman” agar yang bersangkutan tidak meneruskan “nyanyiannya” mengenai skandal mafia pajak di Kepolisian. Jika benar itu yang terjadi, patut dipertanyakan, apa motif Kepolisian melakukan hal tersebut? Adakah tindakan itu sengaja diambil dalam rangka menutup celah terbongkarnya “jaringan” gurita mafia pajak di jajaran elit kepolisian?
Alhasil, dalam perseteruan Susno Duadji dengan Kepolisian, selain terjadi ketegangan antara penanganan laporan korupsi versus laporan pencemaran nama baik, sesungguhnya masih tersisa berbagai misteri, yang jika diandaikan sebagai sebuah kotak pandora, diharapkan bisa dibuka terkuak lebar kepada publik seiring berjalannya kasus. Semoga!
Hasrul Halili, Dosen dan Kabid. Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian anti (PuKAT) Korupsi FH UGM
Sumber : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010