Bandung - Pencatatan warisan budaya takbenda baik yang lisan maupun tulisan harus menggambarkan hubungannya sehingga pewarisan budaya tetap terjaga, kata pakar antropologi Universitas Indonesia Dr Yopie Septiadi pada sosialisasi pencatatan warisan budaya takbenda di Bandung, Selasa.
"Kadang dalam pencatatan warisan budaya yang lisan dan tulisan itu dibuat terpisah, tanpa mengupas hubungannya. Sehingga banyak nilai dan kaitannya yang tidak tersampaikan," kata Yopie.
Ia menyambut baik adanya upaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang melakukan langkah dan program pencatatan warian budaya yang bertujuan untuk mengetahui kekayaan budaya yang ada dan kondisinya saat ini.
Hal itu, kata dia sejalan dengan langkah Indonesia menjadi Negara Pihak Konvensi 2003 tentang perlindungan warisan budaya tak benda.
Sebagai negara pihak dalam konvensi itu, Indonesia diwajibkan menaati Konvensi 2003 untuk mengatur identifikasi dan inventarisasi warisan budaya takbenda yang ada di wilayah NKRI dalam satu atau lebih inventarisasi yang dimutakhirkan secara berkala.
"Langkah nyata adalah dengan adanya modul dalam pencatatan warisan budaya yang dibagikan ke daerah, kemudian akan disusun menjadi sebuah katalog warisan budaya takbenda yang akan dilaporkan ke UNESCO," kata Yopie.
Ia menyebutkan, kegiatan pencatatan itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tapi seluruh masyarakat harus terlibat dalam program pencatatan sebagai upaya pelestarian warisan budaya takbenda.
"Beragam warisan budaya takbenda seperti tradisi lisan, kesenian, adat istiadat dan ritus, pengetahuan tradisional dan kearifan lokal serta kerajinan tradisional yang ada di Indonesia harus dilestarikan dan dilindungi, sehingga harus dicatat agar tidak diklaim pihak lain," kata Yopie Septiadi.
Berdasarkan data saat ini, kata dia jumlah warisan budaya tak gerak di Indonesia sebanyak 11.627 item, sedangkan benda gerak sebanyak 53.538 item. Khusus untuk budaya lisan dan tulisan sebanyak 2.108 item.
Ia mencontohkan budaya lisan dan tulisan itu salah satunya mantra, gurindam, seloka, gurindam dan lainnya.
"Saya sempat mengkritisi, kadang masyarakat sendiri ada yang enggan memasukan budaya lisannya masuk ke daftar itu dengan alasan takut berdampak negatif, padahal itu harus masuk katalog, itu justru keliru disisi lain ada di masyarakat," katanya.
Inventarisasi dan pencatatan warisan budaya lisan dan tulisan ini, kata dia untuk memperkuat akar budaya dan mendapatkan pengakuan UNESCO sehingga setelah mendapat pengakuan maka keberadaannya bisa lebih terpelihara.
"Dalam proses pewarisan budaya terkadang generasi tua tidak menyampaikan seutuhnya atau menganggap generasi muda tidak siap melanjutkan budaya takbenda. Pemikiran itu harus dirubah, dan generasi muda harus siap transfer budaya takbenda dari lingkungannya," katanya.
Sementara itu Dr Ade Makmur Kartawinata dari Unpad memaparkan tiga kandungan nilai budaya yakni ekspresif untuk seni dan agama, progresif yakni ilmu dan ekonomi dan integratif yang diimplementasikan dalam solidaritas dan politik.
Persoalannya, kata Ade bagaimana ketiga nilai itu berlaku seimbang dalam konteks kebudayaan masyarakat pendukungnya sehingga ketiga nilai itu bermakna bagi kehidupan masyarakatnya.
"Inti soalnya, bagaimana nilai-nilai itu seimbang dan tidak saling mendominasi ketika diaplikasikan dalam kehidupan sosial," kata Ade.
Selain menampilkan pembicara Yopie Septiadi dan Ade Makmur Kartawinata, sosialisasi pencatatan warisan budaya takbenda Indonesia itu juga menghadirkan pembicara Toto Sutjipto dari Balai pelestarian Nilai Budaya Bandung.
Sumber: http://oase.kompas.com