Oleh : Hari Poerwanto
A. Umum
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.
Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa.
Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas. Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengiden¬tifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di Indonesia.
Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
B. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe etnik. Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran yang bersifat positif.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting.
Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidakjelasan dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals.
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur masyarakat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang melatar¬belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilitas vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu prejudice. Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D. Photiadis dan Jeane Bigger di kalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat.
Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negatif yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype.
Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik semata.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa) untuk bersedia menerima norma¬norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.
C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos ("ethnos ") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada yang berkaitan dengan ras.
Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn (1970:12) " as a collectivity within a larger society having real or putative common acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota.
Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan konsep¬konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination".
Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth
(1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society". Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu ditrapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya. Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan
Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas
Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat, di dasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut model paradigma tersebut ditrapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas. Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar.
Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan variabel. Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan penduduk bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan sesamanya.
D. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964:61). Lebih lanjut M.J. Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136).
Selanjutnya, pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735), antara lain " a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life". Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi adalah " comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".
Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-558) mengatakan bahwa “ the adoption by a person or group of the culture of another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari asimilasi.
Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik.
Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence ". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di berbagai negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki ciri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).
Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu tulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.
Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy
C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan identitas golongan minori¬tas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis. Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka.
Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.
Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinat melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.
Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah inkorporasi. Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi di kalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group.
Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
Daftar Pustaka
Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53.
Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons Inc., New York, 1967.
Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107.
Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York,
1964.
Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith, 1958.
Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University Press, 1945.
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill Publishing Company, Ohio, 1973.
Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.
Shibutani T., Kian M.Kwan, Ethnic Stratification: A Comparative Approach, The MacMillan Company, London, 1969.
Toit, Brian M.du (ed.), Ethnicity in Modern Africa, Westview Press, Colorado, 1978.
Wirth, Louis, "The Problem of Minority Groups", The Science of Man in the World Crisis, R.Linton (ed.), New York, Columbia University Press, 1945, Hlm.347-372.
------------------------------
Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber :
Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006.