Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro
Pariwisata juga dapat dijadikan "kendaraan" untuk upaya pelestarian warisan budaya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menegaskan ketika membuka Borobudur Internasional Festival belum lama ini bahwa kebudayaan dan pariwisata adalah hubungan simbiosis mutualisme. Pariwisata tak hidup jika tak ada seni dan budaya. Lampung bisa belajar dari Solo yang mengusung brand pariwisata Spirit of Java. Solo sukses menggelar berbagai hajat wisata internasional, antara lain World Heritage Cities Conference & Expo (WHCCE), Solo Internasional Etnic Music (SIEM), Batik Carnival, Un Habitat dan Internasional Keroncong Festival (IKF) dan berbagai deretan festival nasional lainnya.
Tidak mudah memang "menjual" Lampung. Buktinya, perhelatan akbar Festival Krakatau yang merupakan core event pariwisata belum bisa banyak bicara. Padahal even ini sudah memasuki tahun kesembilanbelas penyelenggaraan. Namun, gemanya tidak seperti festival serupa yang digelar di daerah lainnya. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, mengatakan, dunia pariwisata dapat dijadikan "kendaraan" dalam upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya dan lingkungan. Untuk itu, Festival Krakatau yang digelar setiap tahun dapat dijadikan perangsang tumbuhkembangnya budaya yang bermuara pada pelestarian, perekonomian, dan sektor lainnya.
Budaya (kesenian) dan pariwisata merupakan dua faktor yang saling bersentuhan. Berkaitan dengan itu kesenian tradisi dapat dijadikan aset-aset wisata yang bisa dijual. Sebaliknya, kegiatan pariwisata yang berkaitan degan minat khusus manusia untuk memelihara dan melestarikan warisan budaya tak benda (intangible). Pariwisata merupakan salah satu mobilitas. Perbedaan pengertian mobilitas manusia dengan pariwisata hanyalah perbedaan semua bukan hakiki. Di sini yang dilihat adalah apakah pariwisata jadi tujuan utama atau hanya sampingan.
Kita tahu, motivasi itu akan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia dari daerah yang dijadikan destinasi. Maka kegiatan pengembangan pariwisata mempunyai dampak yang besar terhadap lingkungan kehidupan, baik secara langsung maupun tak langsung. Apalagi objek pariwisata Lampung kebanyakan bersifat alamiah berupa eko wisata dan wisata budaya. Terjadinya kontak langsung antara wisatawan yang mempunyai latar belakang budaya yang lain dengan tempat yang dikunjungi, tentu akan menimbulkan perubahan-perubahan drastis terhadap berbagai seni kehidupan, yaitu sifat manusia dan lingkungan hidup.
Perubahan-perubahan itu mempunyai dua alternatif, yaitu pengaruh ke arah positif atau pengaruh ke arah negatif. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi itu berarti akan mengakibatkan benturan-benturan budaya yang mengubah, mempengaruhi perilaku, tata hidup, tata nilai, perkembangan lingkungan dan budaya. Contohnya Bali. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, kita tahu Bali merupakan daerah subur dan merupakan salah satu lumbung beras dengan sistem subak yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin sebagian besar penduduknya berpindah ke sektor penghidupannya menjadi pematung, penari, perajin cendera mata, dan pramuwisata.
Sebelum kita telanjur menghitung-hitung devisa dengan mengeksploitasi Lampung tanpa memikirkan perkembangan budaya di masa datang. Alangkah baiknya bila sejak dini kita sudah menggagas langkah-langkah yang jitu untuk menghadapi benturan-benturan budaya yang bakal terjadi.
Festival `Pelat Merah`
Festival Krakatau yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dan festival sejenis lainnya yang ditaja pemkot dan pemkab ini sangat potensial untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan potensi budaya Lampung untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan budaya Lampung yang kaya dan beragam. Untuk itu, sebaiknya festival yang ditaja menyajikan potensi-potensi budaya yang ada di Lampung dengan kemasan yang menarik. Tak hanya sekadar pawai budaya, lomba-lomba, dan pergelaran yang dikemas tidak profesional dan bernuansa proyek sehingga kegiatan ini dari tahun ke tahun tidak mengalami kemajuan yang berarti. Seolah kegiatan ini target akhirnya hanya menyelesaikan program yang ditargetkan atau digariskan oleh pemerintah.
Kegiatan festival yang ada selama ini hanya berkesan seremonial dan rutinitas seperti kegiatan-kegiatan "pelat merah" alias pemerintah. lainnya. Lebih parahnya lagi, kegiatan ini tidak didukung promosi yang memadai.
Bagaimana festival ini bisa diminati wisatawan kalau publikasi dan promosi yang dilakukan seadanya dan tak berkesinambungan. Seharusnya, memasuki kedelapanbelas tahun penyelenggaraannya Festival Krakatau bukan hanya menjadi kegiatan yang diminati tetapi menjadi kegiatan yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu masyarakat Lampung. Untuk itu, festival yang digelar harus menyajikan atraksi-atraksi yang lahir dari tradisi-tradisi yang ada di Lampung, yang bisa membahasakan fenomena kegembiraan masyarakat, sehingga festival ini berubah menjadi semacam panggilan dan mengikat emosional masyarakat Lampung.
Karena sesungguhnya sebuah festival digelar agar karakteristik tradisi masyarakat yang unik dan spesifik mendapat atmosfer yang lebih luas di era global yang kembali ingin mencari jati diri. Maka pantaslah, kalau kemudian daerah-daerah mengambil nama dari salah satu unggulan objek wisatanya seperti Festival Tabot (Bengkulu), Festival Erau (Kalimantan), Festival Keraton (DIY), dan Festival Musi (Sumsel).
Pada setiap festival digelar secara eksistensial daerah tersebut sedang berusaha mengukuhkan keberadaan dirinya. Festival yang ditaja ini juga bertujuan membangun kebanggaan masyarakat sebagai putra daerah dan sekaligus juga menandakan adaya kreativitas, pengembangan budaya dan kesejahteraan di daerah tersebut telah meningkat.
Untuk itulah dibutuhkan kuratorial festival yang bertugas mengonsep, merancang, mengawasi secara ketat, dan mengevaluasi agar festival yang digelar berjalan sesuai dengan visi dan misi yang digariskan. Sehingga tak berkesan pula ganti kepala dinas Kebudayaan dan Pariwisata ganti program dan goal festival. Sehingga dari tahun ke tahun festival berjalan seperti siput, kapan sampai tujuan tak pernah pasti.
Digelarnya Festival Krakatau dan berbagai festival pariwisata lainnya di daerah Lampung yang selama ini diharapkan dapat semakin menggesa dan mengokohkan Lampung sebagai salah satu daerah tujuan wisata pilihan. Padahal pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten/kota sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk berbagai event festival yang ditaja selama ini. Tetapi hasilnya masih memprihatinkan. Orang Melayu bilang, “Masih jauh panggang dari api”.
__________
Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat Perjalanan, Tinggal di Bandar Lampung.
Sumber : http://www.lampungpost.com