Banda Aceh, NAD - Kendati tinggal dan menetap bahkan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Banda Aceh dan sekitarnya, dapat dipastikan warga Banda Aceh tidak banyak yang pernah menginjakkan kaki ke Museum Aceh ini. Kalah tenar dengan Museum Tsunami yang dibangun untuk mengenang tragedi tsunami 26 Desember 2004. Masyarakat hanya kerap melintasi bangunan gedung yang persis bersebelahan dengan Pendopo Gubernur Aceh.
Terletak di jantung Kota Banda Aceh, museum yang memiliki ciri khas rumah adat Aceh di depannya itu diapit beberapa bangunan yang berisi koleksi-koleksi penting. Rumah Aceh sendiri dibuat pada 1914 untuk Gelanggang Pameran di Semarang, yang kemudian dibawa pulang ke Banda Aceh dan dijadikan museum.
Pengamatan Kompas.com, rumah tradisional Aceh berbentuk panggung itu memiliki beberapa pintu berukuran sempit dengan barisan jendela cantik di depan dan belakang maupun kiri kanan rumah. Bentuknya yang kokoh kian mempertegas adat-istiadat daerah berjuluk Serambi Mekkah itu, bahwa kebudayaan harus dijunjung tinggi dan dipelihara.
Setiap hari, banyak pengunjung hilir-mudik menikmati wisata sejarah tersebut. Hal itu diakui beberapa petugas yang tampak berjaga-jaga di beberapa sudut museum. Kendati hanya hari Minggu saja rumah adat Aceh itu dibuka untuk umum, hari-hari lainnya pengunjung bisa melihat-lihat koleksi sejarah yang terdapat di bawah rumah adat maupun di bangunan yang terletak di kiri kanan rumah.
“Beberapa koleksi museum yang banyak dikunjungi yakni Lonceng Besar yang diberi nama "Cakra Donya", jingki untuk menumbuk tepung, penyimpan padi serta beberapa kayu andalan asal Aceh yang bisa dimanfaatkan untuk membuat perahu,” ungkap seorang petugas.
Rika, seorang mahasiswi Unsyiah dan bersama tiga rekannya, yang sengaja datang ke Rumah Aceh, mengatakan sudah tiga tahun ia menempuh pendidikan di Banda Aceh, baru kali ini menyempatkan diri berkunjung ke museum tersebut. “Pascatsunami, lokasi kunjungan wisata identik dengan berbau tsunami sehingga museum seperti ini nyaris terlupakan, kecuali mendapat tugas di sekolah atau kampus,” sebut Rika malu-malu.
Begitupun, dia tidak menyangkal keindahan dan nilai sejarah tersimpan rapi dan memiliki daya pikat tinggi bagi pengunjung. Senada diakui Andi, seorang mahasiswa semester akhir yang tengah merampungkan skripsinya. Dalam seminggu Andi bisa dua kali berkunjung ke Museum Aceh untuk menggali informasi dari banyak koleksi yang terdapat di dalamnya.
“Semakin kita tahu semakin bertambah kagum pula kita pada rakyat Aceh tempo dulu yang memiliki nilai seni dan kepekaan terhadap lingkungan mereka,” sebut Andi.
Untuk itu, Andi berharap agar masyarakat Aceh khususnya dan pengunjung luar Aceh umumnya jangan melewatkan wisata sejarah ke museum ini saat bertandang ke Kota Banda Aceh. Pengunjung dijamin akan banyak memperoleh informasi berharga yang bisa dijadikan referensi bahwa Aceh merupakan daerah yang memiliki kebudayaan serta adat-istiadat tinggi, di samping mengedepankan pelaksanaan Syariat Islam.
Sumber: http://travel.kompas.com